Selasa, 26 Maret 2013

Aku Rindu! (Tidak) Padamu

Di lorong rindu aku masih mengigau tentangmu
Terbaring lemas dengan kangen yang menggebu
Kusampaikan lirih doa untuk menyertaimu
Membawa pulang kamu di dekap tubuhku
Menyediakan kembali sandaran kuat bahumu

Aku rindu!
Iya aku rindu padamu!
Tapi kau menyakitiku
Mencincang semua hati yang jatuh padamu
Menginjak-injak semua harga diriku
Menampikkan semua pengorbananku
Mencemooh semua perasaan indahku untukmu

Aku rindu!
Tidak padamu!
Tak ada lagi kesempatan bagimu menyakitiku
Memotong semua kepingan pilu
Melemparkan kenangan pahit bersamamu
Menaburkan formalin pada tiap kenangan manis tentangmu
Mencerca tiap kalbu yang melemah untukmu

Aku pergi, 
tanpa kamu dan
tanpa rindu.

Angin Rindu

     Wajahku basah oleh sinar mentari pagi ini. Dia dengan leluasa menyiramiku bagai air yang dirindukan oleh tanaman layu, iya aku. Tanaman itu pun tak kuasa menolaknya. Ia terlalu lemah untuk menyingkir dan menutup diri. Ia lemah karena terlalu lama merindu. Iya, aku lelah merindukanmu.

     Kemana sayup hadirmu yang merayu? Yang gemar melambai-lambai padaku. Menyibakkan semangatku untuk menyambutmu. Kemana sajakah kamu? Lelah aku menyanyikan lagu rindu. Lelah aku menangis tersedu. Lelah aku menari penuh tipu agar kau datang menyapaku.

     Sosokmu saja aku tak tahu, bagaimana mungkin aku mampu merindukan hadirmu? Konyol! Iya aku memang konyol.

     Sudahlah... lelah aku menggerakkan jemari dedaunan untuk melukis surat ini padamu. Kau juga tak akan tahu. Bacalah segera, sebelum angin menghapusnya. Jadilah peka segera, ada lukisan tanganku di tanah kering itu, menunggu untuk dibaca olehmu. Menunggu untuk kau sambut. Aku rindu.


Bagai Mati Suri

Bagai mati suri
Semua bergerak tanpa hati
Bagai mati suri
Berjalan tanpa imajinasi
Bagai mati suri
Pagi tanpa mentari
Bagai mati suri
Malam tanpa kamu lagi
Tidur saat ayam jantan belum bernyanyi
Mati
Suri
Hanya mampu terus mencari
Suri
yang mati
Hanya mampu terus mencaci dan memaki
Mati
yang suri
Bosan!
Lalu, mati.

Jumat, 22 Maret 2013

Instrumen Penyaji Imajinasi


Sayup-sayup kudengarkan lagu instrument itu. Begitu romantis dan mematikan segala hal indah di dunia untuk sementara. Memancing air mataku untuk menunjukkan eksistensinya yang tak diragukan lagi. Membawaku melayang dan bebas untuk terbang. Membiarkanku terbuai dengan semua alunannya. Dan mendorongku untuk berani berangan-angan dengan bebas. Mengajakku untuk menyelam lebih dalam. Menggandengku menuju imajinasi yang liar tentang dia. Iya, liar! Aku lagi dan lagi, melamun, menyusun perlahan semua pertanyaan. Berharap suatu hari nanti, semua jawaban akan aku temukan, entah bagaimana caranya.

Dia! Siapa dia berani mengganggu pikiranku? Meracuni otakku dengan hanya dia dan dia. Mengasah otakku untuk lebih tajam dan peka tentang dia. Menghujaniku dengan berjuta-juta rasa penasaran. Siapa dia?!
Dan dia! Mengapa dia? Kenapa harus dia yang merangkak di hari-hariku? Perlahan tapi pasti meningkatkan intensitasnya untuk mencampuri setiap tindakanku. Dikit-dikit dia! Lagi-lagi ada dia!  Disetiap obrolan kecil terselip bayangan tentangnya. Dia! Mengapa harus dia?

Tuhan, makhluk seperti apakah dia? Bagaimana kau menciptakan hatinya yang kaya? Bagaimana kau menciptakan ekspresinya yang terbatas namun perlahan mampu berkembang? Bagaimana kau menciptakan fisiknya? Bagaimana kau menciptakan lingkungan keluarganya? Bagaimana kau menciptakan lingkungan sosialnya? Bagaimana? Bagaimana? Dan bagaimana? Selalu saja dia! Yang membuatku bertanya-tanya dan sering bercengkrama dengan Tuhan. Aku menjadi teramat rakus untuk mengetahui tentang dia. Ini akibat dari ulahmu hadir disetiap malamku, tahukah kamu?

Tuhan, apa kau menciptakan hatinya dari sebongkah es yang kau ambil dari planet Mars? Mungkinkah Tuhan? Dia hangat, amat hangat. Namun tak jarang dia juga menjadi teramat dingin. Hatinya Tuhan! Hatinya! Hati yang begitu unik, yang membentuk pribadinya seperti barang antik. Hatinya Tuhan! Yang membuatku jatuh simpati dan seperti disegarkan kembali. Membuang berkas-berkas lama yang membosankan. Sarang laba-laba yang menjadi rumah kemonotonan seperti disingkirkan, jauh! dan jauh! Dia, memperbaharui hari-hariku 3 bulan belakangan ini. Yah, walaupun malam dan pagi yang larut menjadi teman kami hampir setiap hari, aku tak merasa keberatan. Dan ya! Walaupun aku harus rela menambah kantung mata yang berubah warna. Semua hal itu menjadi membahagiakan, ya…karena dia!

Nah Tuhan! Ini hal yang membuatku mati penasaran. Terbaring koma dalam keheranan yang memuncak. Bagaimana dia bisa begitu ‘tanpa ekspresi’? Maksudku, bagaimana dia bisa menahan ekspresi-ekspresi yang sering aku ungkapkan? Seperti tertawa terbahak-bahak, dan… ah! Susah Tuhan, terlalu sudah dia untuk dituliskan. Terlalu rumit untuk digambarkan. Padahal, dia cukup sederhana dalam segala hal, menurutku. Lihat? Lagi-lagi aku tak mampu menyembunyikan rasa gemasku akan kecuekannya. Tapi…dia membuat aku koma. Lalu…bagaimana?

Aku terkadang terlumat dalam lamunan. Membayangkan seperti apa Tuhan menciptakan fisiknya. Apakah dia seorang pria yang perawakannya kurus? Dengan rambut yang sedikit ikal dan dibiarkan panjang menyentuh daun telinga. Lalu, seberapa tinggi dia? Apakah…dia melebihi tinggiku? Atau justru dia berada di bawahku? Mungkinkah dia…mempunyai tinggi badan yang sama denganku? Bagaimana dengan warna kulitnya? Perasaanku bilang kalau dia memiliki kulit berwarna kuning langsat, lebih cerah daripada aku. Benarkah? Mari kita bicarakan area wajah! Aku benci matanya, sungguh. Di dalam gambar kamera hitam putih itu, yang nampak amat menantang adalah matanya. Matanya yang tanpa ekspresi! Tuhan, sungguh dia menyiksa hatiku. Membuatnya kelelahan karena setiap hari harus berloncatan menatap matanya. Lihat! Lihatlah garis tulang pipinya, sedikit tirus, iya kan? Lalu…bagaimana dengan garis bibirnya? Melengkung ke atas atau ke bawah? Ah sudah-sudah! Makin aku merinci dia, makin aku tak dapat tidur nyenyak malam ini.
Jadi, dia anak pertama dari dua bersaudara. Dia memiliki adik yang seumuran denganku tapi sudah mulai masuk bangku kuliah semester pertama. Tak banyak yang aku ketahui tentang lingkungan keluarganya. Karena, ya memang dia bukan tipe yang mudah saja terbuka. Semua hal bertahap dan aku tak ingin memaksakan. Setiap pertanyaan yang tak terjawab adalah peringatan yang berkata, ‘belum, belum waktunya kamu tahu, nanti’. Jadi, ya aku maklumi saja. Tapi sungguh, aku bahagia diukur dari segi apapun aku mengenalnya.

Dia! Lagi-lagi pintar membuatku merasa bahagia. Dia! Malam ini menempelkan sejuta senyum zombie terbaikku pada timeline perkenalan kami. Ah dia itu memang! Teramat menggemaskan. Selalu memancing untuk dihujani rasa sebal karena sifatnya yang-iya-mematikan.

Dia, selamat pagi!

Inspired by : Kenny G-Innocence

Selasa, 19 Maret 2013

Kritik Kritis Hujan



Bisakah kamu merasakan hal ini? Otakku mulai menari-nari. Memaksaku untuk segera beranjak dari titik nyamanku berada. Menuntunku untuk menuliskan aroma tanah yang terguyur air hujan. Membantuku untuk menggambarkan gelapnya langit dengan udara yang lembab. Merasakah kamu?
Dapatkah kamu mendengarnya? Rintik-rintik air hujan membentur atap rumah. Ramai berlomba menciptakan nada yang indah. Meninabobokan hati yang lelah. Dan dapatkah kamu mendengar suara burung yang bersahutan? Melantunkan lagu ketakutan karena angin tidak menunjukkan persahabatan. Melagukan nada-nada kegelisahan karena suara deras air hujan.
Hey, mungkinkah kamu melihat semua itu? Hebatnya Sang Kuasa menciptakan cuaca? Menakut-nakuti siapa saja yang masih tak percaya padaNya. Merobohkan dinding hati yang keras karena ia telah buta. Kamu melihatnya kan? Jangan jadi buta, kau tak ingin kan? Maka lihatlah!
Rasakanlah!
Angin bergerak diantara pori-pori pakaian yang kau kenakan. Air membasahi hati yang terlanjur kering karena dikhianati manusia. Rasakanlah!
Dengarkanlah!
Suara daun yang bergesekan satu sama lain. Ribut-ribut dan berlomba untuk menjadi yang terbaik dalam menantang angin. Dengarkan atap rumahmu yang mulai genting. Memendam rasa was-was akan terbanting. Maka dengarkanlah!
Lihat! Lihatlah!
Tuhan memelukmu erat dengan kitab yang selalu kau sanding. Satu manusia menyerukan nama besar, ‘Allahu Akbar’ dan satu manusia lainnya menggumamkan nama anak Maria, Yesus Kristus. Tidakkah kau lihat? Tuhan menjagamu dari dan untuk perbedaan. Tidakkah kau lihat? Tuhan berkali-kali mengatakan kalian sama-sama anak manusia dan indah dalam hal berbeda cara memujaNya?
Dengan demikian, pekalah kalian! Tuhan sudah sering sekali memberi kesempatan. Menjaga perdamaian dan mengindahkan perbedaan. Bukankah cinta anak manusia juga suatu keindahan?


Seseorang, di suatu tempat saat hujan
J    
Ditulis tangan

Senin, 18 Maret 2013

Lonceng Kecil



Wanita itu duduk sendiri di bangku yang terbuat dari semen. Suasana taman peristirahatan yang sepi semakin membuatnya kalut. Semakin tenang ia akan semakin terhanyut, terlarut. Angin kecil menggerakkan lonceng perak kecil yang sedari tadi ia gantungkan di jari manis. Rambutnya yang lurus sebahu tertiup mesra oleh udara yang bergerak dan menutupi sebagian wajahnya. Pipinya basah, dihujani air mata yang sudah ia coba agar berhenti, namun ia gagal. Kedua bibirnya terlihat dipaksakan mengatup, memperjelas getaran yang ia tahan. Ia menyingkirkan rambut yang menutupi wajahnya kemudian mengambil nafas dalam-dalam. Sangat terlihat ia berusaha untuk benar-benar diam. Ia tarik lembar putih tipis terakhir di atas bangku. Ia seka air mata yang melunturkan bedak tipisnya.
“Maria…”,seorang lelaki paruh baya mendekatinya, mengusap lembut bahunya yang bergetar menahan tangis.
“Kau masih perduli juga ternyata!”,sahut si wanita.
“Tentu saja aku perduli, kalau tidak aku…”
“Perduli katamu?! Kemana saja kamu selama ini?!!!”
“Aku sama sekali tidak tahu jika…”
“Memang apa yang kamu tau?? Ha!! Selain menyakiti hati yang mencintaimu?!!”
“Maria, sungguh aku minta maaf. Aku berharap kamu mau memberiku…”
“Apa?! Kesempatan? Yang macam apa?!! Semua macam kesempatan sudah kau dapatkan! Sudah kami tawarkan! Tidakkah kau sadar?!!”
“Aku…sungguh menyesal sudah…”
“Ya! Hiduplah terus dalam penyesalanmu! Tenang saja, kau tak sendiri.”
“Maksudmu? Maria, kamu tidak…”
“Aku juga menyesal, telah memberikanmu kepercayaan untuk menjadi pengganti sosok ayah bagiku dan sosok suami bagi ibuku. Salahku! Percaya pada laki-laki sepertimu!”
Wanita itu pergi, meninggalkan pria yang membawa seikat mawar putih sendiri. Dia lari melewati gerbang pemakaman dengan hati hancur dan penuh penyesalan. Ia menyesal karena telah mengijinkan lelaki yang jauh lebih muda disbanding ibunya itu masuk ke kehidupan mereka. Pria bejat yang akhirnya membuat ibunya harus dirawat di rumah sakit jiwa.
Wanita it uterus berjalan hingga melewati tengah jembatan. Ia tatap air yang lebih tenang dari keadaannya sekarang. Ia semakin benci pada wanita yang tergambar di permukaan air sungai itu. Ia tatap lonceng kecilnya yang sedari tadi bergemerincing. Ia tak kuat mengingat cerita ayah ibunya. Ia terhanyut dalam kisah romantis orangtuanya. Bagi orangtuanya, kehidupan sama seperti lonceng. Hidup akan indah jika ada gejolak masalah yang menggetarkan hidup yang datar, seperti lonceng yang akan terlihat lebih indah saat suara nyaringnya muncul karena getaran dan gerakan. Semua hal akan indah jika ada perubahan.
                Untuk terakhir kalinya ia kecup lembut lonceng itu, ia menatapnya dan melemparkannya ke sungai. Dia tak pantas memiliki hal yang indah, batinnya. Ia pun melanjutkan langkahnya ke tengah keramaian kota. Mencoba mengubur masa lalunya, walau suara lonceng terus berdengung di telinganya.

 ♥  ♥

Lelaki itu menggeram dan menahan emosinya. Ia letakkan mawar putih di atas tanah merah yang masih basah. Ia renggangkan otot-ototnya yang kaku karena menahan jutaan emosi yang menerpa. Ia peluk batu nisan yang bertengger di atas gundukan tanah merah.
“Kanya…maaf aku tidak bisa menjadi suami yang baik untukmu. Entah apa maksud Tuhan mempertemukan kita. Maaf kehadiranku telah menghancurkan keluarga kecilmu. Tapi kau pernah berkata padaku, jika sesakit apapun kejujuran itu, kita harus berani mengungkapkannya. Dan, iya Kanya…aku menyayangi Maria! Kan, seharusnya kala itu aku tak jujur padamu, ya? Tapi sudah terlambat semua.”
                Tanpa lelaki itu sadari, air matanya sudah mengalir pada batu nisan, membasahinya, menambah beban wanita yang bersemayam di dalamnya. Ia pun berdiri kemudian melihat sekeliling yang tetap saja sepi. Hanya ada seorang pengurus makam yang sedang beristirahat di bawah pohon kamboja, sibuk dengan makan siangnya. Dengan langkah yang berat ia paksa kakinya beranjak. Terus melangkah dan berhenti di pinggir sungai yang jernih. Ia gulung lengan bajunya dan berjongkok mendekat. Ia tangkupkan kedua tangannya untuk mengambil air lalu mengusapkannya pada wajah yang sembab. Ia melongok ke permukaan air, melihat wajahnya yang semakin ia benci, ia jijik pada orang itu. Matanya terpaut pada benda kecil perak yang tersangkut di dasar sungai. Ia sangat mengenal benda itu. Ia melihat ke sekitar dan mengamati lagi benda itu.
“Maria…”

Lyric "Tonight The Street Are Ours"


Tonight The Streets Are Ours

Songwriters: HAWLEY, RICHARD WILLIS



Do you know why you got feelings in your heart
Don't let fear of me then fool you, what you see sets you apart
And there's nothing here to bind you, it's no way for life to start
Do you know that
Tonight the streets are ours
Tonight the streets are ours
These lights in our eyes, they tell no lies

Those people, they got nothing in their souls
And they make our tvs blind us from our visions and our goals
Oh the trigger of time it tricks you so you have no way to grow
But do you know that
Tonight the streets are ours
Tonight the streets are ours
And these lights in our hearts, they tell no lies

And no one else can haunt me the way that you can haunt me
I need to know you want me, I couldn't be without you
And the light that shines around you
No nothing ever matter more than my darling
But tonight the street are ours

Do you know how to kill loneliness at last
Oh there's some much there to heel dear and make tears things of the past
But do you know that
Tonight the street are ours
Tonight the street are ours
And these lights in our street are ours
And tonight the street are ours
And these lights in our heart, they tell no lies

Ada Sesuatu



Ada sesuatu
Yang tak terungkap
Menunggu sigap
Meminta diungkap

Ada sesuatu
Yang mengganggu
Mengusik kalbu
Mengetuk setiap pintu

Ada sesuatu
Yang memaksa kencang
Dengan berani menantang
Tak takut dengan rintang

Ada sesuatu
Yang bersembunyi dalam sepi
Mengisi celah kecil
Bersiap untuk disentil

Ada sesuatu
Tarikannya amat kuat
Membunuh akal sehat
Diri pun makin terjerat

Ada sesuatu
Yang menampik lelah
Mengubur dalam amarah
Meningkatkan resah

Ada sesuatu
Di balik senyum manja
Dibalik mata terpejam
Dibalik semua diam

Ada sesuatu
Mengintip penuh ragu
Ragu ditendangnya biru
Biru mengelabuhi syahdu

Ada sesuatu!
Iya! Ada! Sesuatu…
Dibalik paragraph rindu
Dibalik kalimat yang berdebu
Dibalik kata-kata sendu
Dibalik huruf-huruf pilu
Dibalik suara yang bergetar merdu
Dan angin malam pun merayu

Aku…
Ingin bertemu
Aku…
Menahan berat mencintaimu
Aku…
Ingin berbisik di telingamu
Aku…
Ingin menggenggam erat tanganmu
Aku…
Ingin menatap matamu
Aku…
Ingin mencumbu mesra pipimu
Aku…
Ingin dipeluk hangat olehmu
Menyandarkan sejenak semua ragu
Menempelkan tanya pada sebuah bahu
Aku…
Ingin menetap di hatimu
Tanpa ragu
Itulah,
Sesuatu…

Senin, 04 Maret 2013

Namaste


Sunrise menyeruak dibalik lesung pipit si lembah
Embun pagi menempel pada daun resah
Kulihat senyum tipismu disana
Tertutup samar oleh awan yang merona
Aku berdiri mengamati
Dan kau membuatku teringat akan melati
Mungkinkah kamu akan mendekati 
Mantapkan langkahmu jangan tertatih

Namaste?
Kusapa kamu pengingat melati
Putih suci seberbak wangi
Namaste?
Salam sapaku padamu
Mengulurkan tangan menunggu
Namaste?
Tiga kali aku menegurmu
Sekian kali datang si ragu
Namaste?
Lelah aku membujuk rindu
Menyapa manis penuh rayu
Apa kamu tidak mengerti aku
Namaste, artinya tidakkah kau tahu?

Namaste kuartikan sebagi rindu
Rindu berbicara pada sesamaku
Sesamaku yang mengecoh ragu

Namaste adalah sepucuk salam perkenalan
Menggantikan kata 'hallo' dan 'hai' kawan
Kini dapatkah kau mengerti lawan?

***

Namaste
Kau menyambutku bagai melati
Menebar wangi yang putih nan suci
Namaste
Salam sapamu padaku
Kau ulurkan tangan tetap menunggu
Namaste
Genap tiga kali kau menegurku
Kemana dia? Kenapa tak datang saja si ragu?
Namaste
Kulihat kau lelah membujukku
Manis tapi tak cukup merayu
Aku sungguh tak mengerti kamu
Namaste, tolong jelaskan padaku, apa itu?

Namaste,
Mungkinkah nama seseorang dari masa lalumu
Yang tercermin di wajahku
Merefleksikan semua rindu
Menghujam jantung paras sapamu

Namaste,
Mungkinkah sebuah pertanyaan?
Mungkinkah sebuah sapaan?
Lalu, siapakah dia Tuhan?
Kawan... ataukah... lawan



SEPUCUK PENJELASAN
Namaste secara singkat diartikan sebagai sebuah sapaan, berfungsi seperti kata 'hai' dan sebuah jabat tangan. Namun namaste dikenalkan sebagai suatu sapaan yang tidak menggunakan kontak fisik. Namaste adalah sebuah sapaan yang berasal dari India dan dilakukan dengan cara menangkupkan kedua telapak tangan depan dada.
Jadi, Namaste Kawan ♥



Minggu, 03 Maret 2013

Cinta



Bagaimana bila cintaku ini berbeda?
Bagaimana bila cintaku ini hanya lantunan doa?
Doa yang secara tidak sengaja terucap

Aku menengadahkan tangan untuknya
Dan dia menangkapnya dengan jemari mengepal

Bagaimana bila cintaku ini ditanyakan?
Bagaimana bila cinta tak dapat aku sampaikan?
Nyanyian malam mampu membuktikan
Rekaman udara menghantarkan

Aku menggenggam tasbih
Melantunkan syair cinta untuknya 
yang jauh disana
Sedangkan dia
Menggariskan salib di depan dada
Menggumamkan nama Yesus dan Maria

Aku mencintainya 
Tapi tak lebih dari besar cintaNya
Aku menjaganya
Namun tak seaman Dia menjaganya
Aku mencintainya
Untuk diserahkan kepadaNya
Aku mencintainya
Untuk memberikan Dia ruang

Lalu apakah yang namanya cinta bagiku?
Lalu mampukah aku meluluhkannya?
Sedikit mengisi ruang hatinya
Yang lebih dulu dicintai Tuhan

Apa benar?
Hanya aku yang sadar?
Terkadang perbedaan kami memudar
Terkikis gelak tawa dan tulus canda
Tergerus senyum bahagia dan marah sayang

Apa salah?
Jika aku bersedia mengalah
Demi mencari jalan tengah
Waktu dan ruang yang memisahkan
Membuatku belajar memperjuangkan

Cinta, 
Bagiku adalah suatu cara
Yang unik dan tak tertebak
Yang tak menyatukan dua kepala yang sama
Yang menyatukan dua kepala berbeda
Mencari jalan tengah
Memang banyak mengalah
Tapi bukan berarti kalah
Cinta,

-Aku yang beda-

MUSIKALISASI PUISI
Silahkan mendengarkan versi saya mencinta dengan puisi ini, disini
Bagi yang ingin mencinta dengan puisi ini lebih jauh, silahkan...
men-dengarkan cinta
men-mahami cinta
men-meluk cinta
men-ngerti cinta
dan mencinta yang lainnya