Jumat, 22 Februari 2013

Aku dan Malaikat Lift



Aku masih diam. Melihat lurus kedepan tanpa kedipan selama beberapa menit. Menatap lekat pada pintu besi yang berdiri kokoh sedari tadi aku berdiri. Aku terdiam dalam kengerian yang dihasilkan  imajinasi bayanganku sendiri. Aku menakut-nakuti diriku sendiri. Aku mencoba mencari seseorang untuk menemani. Tapi lagi-lagi aku harus menghela nafas kecewa karena aku harus benar-benar sendiri. Berharap Tuhan memberikan sedikit kebaikan, aku maju satu langkah ke depan. Karena Tuhan juga telah menunjukkan aku satu alasan. Dia, iya dia yang datang bagai sentilan kecil dari belakang. Tak mau tampak, tak mau menemani. Hanya sentilan kecil.
            Jika “n” adalah tempat aku berdiri memulai atau sama dengan nol, “m” adalah banyak langkah aku menuju “X” yaitu akhir dari langkahku ke depan. Maka X=n+m. Dan X merupakan hasil pencapaian keberanianku menghadapi dunia dan kehidupan yang “keras”. Maka  X sekaligus menjadi awal mula aku bersiap untuk berada di atas, di bawah atau malah terjebak. X sebagai tolak ukur ketahananku dihempas dan dilepas. Sebagai tempat aku menangis, bersedih, terdiam, tersenyum bahkan tertawa. X adalah kotak kecil dari besi yang akhir-akhir ini sering menguntit di belakangku. X adalah lift.
            Pintu itu tidak menunjukkan kehidupan sama sekali. Tak ada yang datang maupun pergi melewati. Aku penasaran, bagaimana bisa dia begitu tenang? Menambah hawa dingin yang memeluk tubuhku saja. Menambah jelas bahwa aku sedang sendirian dengan sebuah ketakutan yang mungkin cukup besar. Angin baru saja berlari kecil di sekitarku, saat Tuhan mengirimkan malaikat yang tak banyak bicara. Jelas terasa hangat saat malaikat itu datang dan menyelimuti tubuhku dengan kata-kata indah yang terangkai manis. Tapi tetap saja, dia tak banyak bicara. Kata-katanya besar dan cukup tebal untuk aku gunakan sendiri. Aku hanya tersenyum kecil kepadanya dan berharap ia tak melihat wajahku yang pucat seperti tanpa daya. Iya, hanya seperti tanpa daya. Karena aku tahu aku punya daya hanya saja aku tak tahu dimana. Kupikir dia akan melihatku tersenyum berterima kasih. Jauh dari harapan. Dia bahkan tak bergeming setelah menyelimutiku. Dia diam dan menjadi setenang si lift.
            Aku masih diam. Aku masih berdiri di tempat yang sama,n+1. Masih dengan selimut yang malaikat itu beri. Malaikat itu pun masih saja terus menemani. Aku pandangi dia dari atas ke bawah, lalu dari bawah ke atas. Mungkin jika ia tahu aku memandanginya, ia akan berkata padaku, “Kau sedang mengamati atau menelanjangiku?”. Tatapan mata ini begitu tajam dan teliti. Mencari tahu siapakah malaikat yang berdiri di sampingku ini. Setiap detail kecil yang bisa aku cermati pasti akan aku pelototi hingga beberapa menit. Dan hal itu terus berulang setiap 19 menit sekali.
            Semua hal yang aku lakukan kepada malaikat tersebut tak nampak membuatnya risih. Aku semakin penasaran. Entah ini sudah 19 menit yang keberapa. Belum banyak yang aku dapatkan dari pengamatan sekaligus penelanjangan identitas diri ini. Ah Tuhan memang paling mengerti isi hatiku! Tiba-tiba saja angin jahil memutari tubuhnya. Menerbangkan kertas usang kecil yang terlipat. Dengan sigap aku raih kertas itu. Aku tak perlu ijin kepadanya, toh dia tak menunjukkan reaksi apapun saat kertas yang keluar dari saku kemejanya terbang ke arahku.
            Saat membuka lipatan kertas usang tersebut, malaikat itu menggenggam tangan kananku. Dia menarikku sehingga aku berjalan satu langkah lebih dekat lagi dengan pintu besi. Aku sedikit terkejut dengan tindakannya. Bukan karena dia menyakiti tanganku. Tapi karena dia berhasil membuatku melangkah tanpa pemberontakan. Dan bahkan dia hanya memerlukan tenaga minimal untuk melakukan hal tersebut. Membuatku sedikit lupa ingatan tentang imajinasi ngeri akan ruangan besi dengan dua opportunities. Aku tatap wajahnya. Tidak dari depan, mana mungkin aku berani. Hanya dari samping dan melirik kecil. Eh tidak, terkadang aku juga melirik besar sehingga mungkin akan lebih mirip dengan melongok ke samping kanan. Dia terlihat sangat-sangat tidak keberatan. Ingin sekali rasanya aku menonjok dia dengan sejuta omelan. Tapi kesunyian ini mengurungkan niat usilku itu.
            Hampir saja aku lupa dengan si kertas usang karena terlalu banyak melongok si malaikat. Aku buka perlahan namun dengan perasaan yang jelas tidak sabar…(membaca,diam,tersenyum kecil, melipat kertas kembali,menyimpannya)
            Hanya nama. Dan itu adalah nama yang begitu berarti untuk keadaan seperti ini. Tuhan mau aku memecah keheningan dengan memanggil namanya mungkin? Aku berada di n+2. Entah harus berapa “m” lagi agar aku sampai ke X.
            Aku buka mulutku perlahan dan pelan-pelan memanggil nama malaikat itu. Sangat pelan hingga mungkin angin malas membawa pesan itu agar terdengar oleh si malaikat. Tapi tidak. Malaikat itu mengalihkan pandangannya dari pintu besi yang mungkin sudah mati. Mati karena ditatap tanpa henti oleh malaikat ini. Aku yakin. Iya, aku yakin pintu itu ketakutan sama seperti aku yang ketakutan karenanya. Aku tertawa kecil dalam hati, menertawai si lift. Tapi tidak lama-lama, aku tak mau terlarut dan berkutat pada pintu besi. Aku kembali dalam tatapan hangat sang malaikat. Dan dia masih melihat mataku dengan tepat.
(Depapepe with Kazamidori is now playing)
            Entah bagaimana waktu, langkah dan angin menuntunku dan malaikat tersebut di X. Iya, aku sudah berada dalam ruang besi ini. Hangat masih menjalari tubuh kami. Malaikat itu tanpa ragu dan dengan sadar masih melingkarkan tangannya pada tubuhku, begitu pun aku. Ada rasa ketidakrelaan untuk melepas tangan mungilku dari tubuhnya. Dan ada rasa keyakinan dan kemantapan yang aku rasakan dari sang malaikat. Dia begitu yakin berada di dalam ruang besi ini. Seperti tak takut dan sudah biasa jika harus naik-turun mengikuti kata Tuhan. Sudah biasa jika kadang bosan menjemput dengan segudang godaan. Menawarkan “penyerahan diri” atas keterjebakan. Dia, sang malaikat, tak bergeming dan khawatir. Membuatku berani dan lebih berani bahkan jika aku harus sendiri lagi nantinya.
            Aku masih memeluknya, menenggelamkan kepalaku di dadanya. Kadang aku terlelap dalam peluknya dan kembali lagi membuka mata dan masih saja dalam peluknya. Dan dia? Dia hanya memelukku. Sepintar mungkin mengatur detak jantungnya agar tak membangungkanku saat aku tertidur. Sebisa mungkin menguatkan tumpuan kakinya untuk menahan semua beban yang aku berikan. Sepintar mungkin mengatur kekuatan tangannya untuk memelukku. Kadang aku bisa merasakan dia kelelahan menahanku saat aku tertidur. Tapi dia tak pernah mengeluh di depanku. Walau kadang pelukannya harus merenggang, ia tak akan lama-lama membiarkanku merasakan perubahan.
            Kami belum sampai tujuan yang sebenarnya. Kami masih memeluk satu sama lain. Dan mungkin kami sedang sama-sama berdoa kepada Tuhan untuk memiliki satu tujuan, yang sama tentunya.
(kembali ke depan pintu besi yang sepi)

Aku dan Malaikat Lift, tak nampak dan tak menemani.
Aku sendiri adalah apa yang terlihat
Dan aku bersamanya adalah apa yang aku rasakan
Ketjil : maaf ya yosi jelek gambarnya. anggep aja lift. *malu


Kamis, 21 Februari 2013

Madison Violet-If I Could Love You

     Hanya iseng awalnya Saya mencoba mengetahui lagu-lagu yang "dia" dengarkan. Dan iya, lagu pertama yang Saya unduh saat itu adalah If I Could Love You dari para wanita cantik Madison Violet. Para? Iya para. Saya juga baru tahu kalau mereka adalah duo. Yang satu bertugas menulis lirik dan menciptakan nada, yang satu lagi sebagai penyanyi. Duo wanita Kanada, Brenley MacEachern dan Lisa MacIsaac.

     Madison Violet berkonsentrasi pada genre folk. Mereka sudah menjadi duo sejak tahun 1999. Sebelumnya mereka bertemu pada suatu event di tahun 90-an. Sebelumnya mereka berbentuk band yang bernama Madviolet, namun setelah bubar mereka berubah menjadi duo dan meresmikan Madison Violet sebagai namanya. Yang membuat mereka lebih menarik adalah, 3 album pertama mereka yang dirilis secara indie di Kanada. Tapi karena lagu mereka easy-listening, maka pada album ke-empatnya, No Fool For Trying mereka ada di bawah naungan perusahaan rekaman "True North Records".

     Banyak penghargaan yang telah mereka dapatkan tak lantas membuat mereka malu untuk mengakui sesuatu yang mungkin tabu untuk beberapa orang. Apa itu? Mereka mengakui bahwa mereka adalah seorang lesbian kepada publik. Salut banget ini! Karena mereka berani mengambil resiko yang besar. Sungguh beda dengan saya yang selalu mencari zona aman. Kalau sudah keluar dari zona aman, pasti hanya berani sebentar untuk berada di atmosfer bahaya. Namun sepertinya setelah ini saya akan pikir-pikir lagi untuk menjadi lebih "liar" dalam arti yang positif. 

     Nah! Silahkan berkenalan dengan wajah mereka ...

Here they are! Kinda duo epic


Look! Just if ...


So cute!


Oh iya, kalo ada yang penasaran sama lagu If I Could Love You, kalian bisa download disini atau bisa juga disini. Tapi kalo mau yang lebih yakin lagi dengan mengambil resiko Chrome ngadat, ya disini juga bisa...

If I Could Love You

Silence sits between us
like a stranger
Throwing caution to the wind

We are
looking in the same direction
But I'm afraid 
your heart is looking 
Another way

The river has all but dried up now
But I will always feel it there 
I'll always hear it flicker in my prayer
I paint it red
I'll paint in white
i won't give up this fight

if i could love you 
one more time
i would love you right

it's not deliberate
but we went wrong
i got used to feeling nothing
til you came along

now i'm begging you
drop your guard
take all of our mistakes 
and bury them in the yard

Selasa, 19 Februari 2013

Cerita Dalam Satu Malam


Malam itu Bintang kembali mengganjal pipinya dengan kepalan jemari tangan kiri. Tidak mengantuk, ia mencari inspirasi seperti biasanya. Tak hanya ditemani malam,  bahkan pagi pun ikut perduli dengan apa yang ia lakukan.

Tiba-tiba Bintang sesak dihadapan laptop kesayangannya. Ia tak kuasa menahan rasa gemas karana membela sang tokoh dalam lift yang Layang tulis. Ia memutar otak berkali-kali. Menyaring kata demi kata agar ia tak salah membela sang tokoh. Tiap karakter yang menyusun kalimat argument dan pembelaan si Bintang bagai pisau bermata dua. Kalau ia tepat atau mendekati benar bisa saja Layang mempertimbangkan nasib sang tokoh yang Layang tulis. Tapi kalau ia meleset, ia akan melukai dirinya sendiri dengan rasa malu yang mungkin mampu membakar otak. Tak hanya melukai dirinya sendiri, ia akan tambah meyakinkan Layang kalau nasib sang tokoh di lift memang pantas demikian adanya.

Semuanya berjalan alot, Layang tak begitu saja menerima dan membenarkan apa yang Bintang katakan. Layang  justru semakin membuat gila si Bintang walau hanya dengan beberapa suku kata. Bintang merasa seperti sedang diuji. Nyalinya hampir benar-benar menciut saat ia mampu meraih kembali kehidupan nyata dan keluar dari emosi cerita yang Layang tulis. Sesak. Tiba-tiba sesak yang biasanya Bintang rasakan karena penyakit lama pun berubah alasan. Sesak datang karena Bintang merasakan hawa lift yang terasa begitu sempit dan semakin sempit seiring berjalannya waktu. Bintang makin tak mampu meneruskan. Tapi ia tak mau menyerah, ia terus menjungkir-balikkan otak agar ia dapat menemukan kelemahan lift.

Emosi. Kali ini Bintang merasa emosi yang lebih dari gemas. Siapa yang membicarakan cinta? Batin Bintang. Daritadi ia hanya berkutat pada tiap kata yang Layang sampaikan. Berusaha hampir mati-matian agar nasib sang tokoh bisa sedikit beruntung. Setidaknya jangan tewas ditempat, pinta Bintang. Berikan sang tokoh alasan untuk tersenyum senang, bukan senyum miris. Senyum yang ditujukan untuk Sang Maha Adil karena mampu melihat kembali cahaya dan udara kebebasaan.

Lega. Bintang mulai menarik nafas panjang kembali dan menghebuskannya ke depan layar laptop. Sedikit embun di layar membuat Bintang tersadar bahwa pagi sudah menemaninya sejak 60 menit yang lalu. Memang dingin, tapi tertutupi hangatnya bayangan udara di lift. Layang memberikan Bintang “lega” karena sang tokoh nantinya akan tewas di tempat namun sembari tersenyum, senyum senang. Bintang penasaran, berapa lama waktu yang sang tokoh dapatkan untuk tersenyum sebelum akhirnya tewas di tempat? Apakah cukup untuk berkata maaf pada Tuhan? Apakah cukup untuk menitipkan salam kepada orang-orang yang ia kasihi? Apakah pinta Bintang itu terlalu duniawi? Entahlah, Bintang belum menanyakan pada Layang.

Bintang kembali berpikir namun dengan perasaan yang lebih tenang. Ia sedikit bingung. Memangnya siapakah para tokoh dalam kisah yang Layang tuliskan? Kenapa Bintang repot-repot memperjuangkan nasib mereka? Sang karyawan kantor yang pemabuk, namun tak sedang mabuk saat terjebak di lift. Ia tewas di tempat dalam kebosanan. Kebosanan karena berusaha untuk keluar dari lift itu. Kasihan. Bahkan seseorang yang berusaha untuk hidupnya dengan keras saja tak diberi kesempatan untuk hidup lebih lama oleh Layang. Sadis. Lalu, sang wanita karir yang kata Layang ia adalah seorang wanita yang spesial. Mempunyai modal untuk keluar dari lift tersebut, pisau lipat dan handphone. Tapi tetap saja, Layang tidak memberikan ia hidup. Bahkan Bintang bingung, kenapa Layang seperti tak ingin memberikan kesan jika mereka dapat keluar bersama-sama? Apakah karena Layang takut nantinya kalau hidup mereka akan jatuh cinta? Seperti tergambar di atas air. Bintang tahu, Layang memang tak seperti yang lainnya. Bintang diam namun tetap berusaha mengobrol dengan Layang.

Malam sudah terlarut. Bintang dan Layang larut dalam malam yang makin terhanyut waktu. Pagi menyambut sedari tadi. Namun antara Bintang atau pun Layang seperti perduli tapi tidak perduli. Saling mengingatkan dan saling membayangi. Bintang merasakan atom menggantung dan menggelayuti matanya namun ada perasaan ingin sekali menemani Layang dalam hati. Jadi Bintang bertahan dengan keras hati.

Layang kembali menemukan kekuatan dan kelemahan si lift berkat si Bintang. Ada sedikit perasaan tersipu malu karna Layang mengatakan hal tersebut. Bintang seperti merasakan ada suntikan materi Planet Venus yang membuat ia merasa terang dan lebih terang dari mentari pagi kala itu. Bintang tetap mencoba kalem dan diam.

Pagi cepat sekali berlari menjemput Bintang dan Layang. Akhirnya Layang menutup percakapan dengan “Selamat pagi lagi Bintang”. Off.

Tuhan Maha-



Tuhan Maha Esa
Dia memang satu tak terganti namun muncul dengan berbagai cara yang bervariasi
Tuhan Maha Tahu
Dia tak pernah memejamkan mata dan menutup telinga dalam setiap hal di dunia
Tuhan Maha Adil
Dia letakkan titik keseimbangan antara hak dan kewajiban manusia di dunia
Tuhan Maha Kaya
Dia letakkan perbedaan di setiap cara manusia berusaha untuk meraihNya
Tuhan Maha Indah
Dia berikan estetika tak terhingga di setiap perbedaan anak manusiaNya
Tuhan Maha Bijak
Dia berikan hasil keputusan dari setiap pilihan yang kita tawarkan padanya dalam doa
Tuhan Maha Sederhana
Dia tak pernah memaksa anak manusia bersikap berlebihan dalam memujaNya
Tuhan Maha Tepat
Dia membuat keputusan bukan berdasarkan kemauan manusia, namun apa yang tepat bagiNya
Tuhan Maha Hebat
Dia buktikan semua kehebatan dalam merangkai setiap peristiwa di bumi
Tuhan Maha Agung
Dia telah bertutur dalam kitabNya, semua keagungan telah ia bocorkan pada manusia
Tuhan Maha …
Dia selalu Yang Maha
Maha Segalanya

Senin, 11 Februari 2013

Untitled Poem


Tunduk
Tusuk
Dan meringkuk

Dendam
Pendam
Dan diam

Kandas
Lemas
Dan tuntas

Luka
Lama
Terbuka

Miris
Bengis
Mengiris

Duduk
Suntuk
Dan takhluk
Aku
Kamu
Membisu

Malam
Dalam
Temaram

Air
Mengukir
Akhir

Bintang
Gersang
Dan layang

Aku
Kamu
Untitled


Tanya Tanpa Jawab


Apa yang kamu lakukan disana
Menatap lekat padaku tanpa jeda
Sembari kau bawa pecut
Tak kau biarkan aku menjadi pengecut

Apa yang kamu lakukan disini
Duduk berdiri dan kembali lagi
Menggenggam setiap jemari
Tak kau biarkan aku kecil berlari

Apa yang kamu lakukan disana
Membawa lagi semua suka dan duka
Mencoba menarik lagi semua
Titik nyaman yang aku coba lupa

Apa yang kamu lakukan disini
Member isyarat tak boleh pergi
Memberi isyarat kepada bumi
Aku tak boleh disentuh serasa duri

Apa yang kamu lakukan disana
Apa yang kamu lakukan
Apa yang kamu
Apa yang
Apa
Apa yang kamu lakukan disini
Apa yang kamu lakukan
Apa yang kamu
Apa yang
Apa

Lelah merasa terikat
Lelah merasakan dikekang
Lelah merasa terkandang
Lelah merasakan pukat

Aku
Merasa
Lelah
Merasakan
Membutuhkan
Layang
Untuk
Terbang
Melayang
Menghilang
Sayang 

Minggu, 10 Februari 2013

Kau


Lagu ini diperkenalkan oleh temanku, ya dia hanya seorang teman yang penting tak penting. Dia sedikit banyak mempengaruhi selera musik yang aku dengarkan. Oh iya, kenalkan nama dia Adhi Wirawan Dwi Pamungkas. Tak perlu buru-buru ingin mengenalnya jika tak kuat patah hati :p There you are the lyric ...

KAU
by : Dua

Lelahku mencari penggantimu penggantimu
Tetap kan kembali kepadamu kepadamu
Mungkin ini pertanda engkaulah cintaku cintaku

reff :
Kau
Tiada yang lain yang pantas untukku
Yang seharusnya ku cinta
Bolehkah lagi kuminta hatimu
Kembali seperti dulu

Bayangmu selalu menggelapkan dihatiku
Hingga ku tak mungkin mengganti yang lain selain dirimu
Mungkin ini pertanda seharusnya cintaku cintaku

Kau
Tiada yang lain yang pantas untukku
Yang seharusnya ku cinta
Bolehkah lagi kuminta hatimu
Kembali seperti dulu
Kuingin kau slalu yang jadi milikku ooh
BACK TO REFF

Kuingin kau slalu yang jadi milikku ooh

Sabtu, 09 Februari 2013

Tentang Dia

Tak sepantasnya aku melupakan kamu
Iya, kamu yang beberapa tahun lalu
mampu membuatku menangis tersedu
yang mampu membuatku malu
yang mampu membuatku menjadi layu
Iya kamu yang menyakitiku

Masih kah kau ingat?
Saat itu kau menyapaku hangat
Waktu-waktu kamu menemaniku dengan semangat
Kau mampu membuatku mengira
kalau kamu itu hebat

Tapi akhirnya waktu menjawab semuanya
Kau tak sehebat yang aku kira
Kau tak sehangat matahari yang aku puja
Ya, kamu pergi meninggalkan sebuah bekas luka

Jangan khawatir
Dan janganlah kau fikir

Aku hari ini hanya ingin sekedar menyapa
Menyapa kamu di masa lama
Menyapa kenangan yang untung saja masih tersisa
Menyapa lembut semua luka yang sudah pudar lama

Oh iya!
Apa kabar kamu?
Semoga baik-baik saja kamu
Dan semoga langgeng dengan kekasih barumu
Sungguh, aku menunggu momen itu
Momen dimana aku akhirnya bisa melihatmu
Dimana aku akhirnya bisa memanggilmu
Aku akhirnya bisa menyapamu
Akhirnya bisa menjabatmu
Bisa memeluk kenanganmu
denganku

Senin, 04 Februari 2013

MENUNGGU!


Aku benci menunggu
Menunggu yang tak hanya dihitung detik atau menit
Kau telah membuatku menunggu dalam hitungan jam
Mau berapa lama kamu menelantarkan aku bersama dengan si bosan?
Mau berapa lama lagi kamu mau sadar aku sekarat dalam kejenuhan?!
Aku benci menunggu

Aku tak suka menjadi akrab dengan menunggu
Menunggu memiliki hidup yang amat monoton
Menunggu memiliki hidup yang amat pucat tak menarik
Menunggu memiliki hidup yang amat aku benci
Aku tak suka menjadi akrab dengan menunggu

Aku dendam atas menunggu
Dendam ini muncul akibat menunggu kepastianmu
Dendam ini muncul akibat menunggu kata-kata sial darimu
Dendam ini muncul akibat menunggu perginya sisi pengecutmu
Aku dendam atas menunggu

Aku tak suka menjadi sahabat menunggu
Dia amat tak komunikatif
Dia amat pasif
Dia terlalu statis
Dia terlalu teoritis,
dengan alasan sebagai korbannya
Aku tak suka menjadi sahabat menunggu

Jangan!
Jangan!
Dan jangan!
Jangan buat aku menunggu untuk ke yang seribu delapan ratus sembilan kalinya!
Aku muak!
Kali ini tak kuberi kesempatan untukmu mengulur waktuku
Aku pergi,
dengan benci
Selamat tinggal,
Broken Key!