Aku masih diam. Melihat lurus kedepan tanpa
kedipan selama beberapa menit. Menatap lekat pada pintu besi yang berdiri kokoh
sedari tadi aku berdiri. Aku terdiam dalam kengerian yang dihasilkan imajinasi bayanganku sendiri. Aku menakut-nakuti
diriku sendiri. Aku mencoba mencari seseorang untuk menemani. Tapi lagi-lagi
aku harus menghela nafas kecewa karena aku harus benar-benar sendiri. Berharap Tuhan
memberikan sedikit kebaikan, aku maju satu langkah ke depan. Karena Tuhan juga
telah menunjukkan aku satu alasan. Dia, iya dia yang datang bagai sentilan
kecil dari belakang. Tak mau tampak, tak mau menemani. Hanya sentilan kecil.
Jika “n” adalah tempat aku berdiri
memulai atau sama dengan nol, “m” adalah banyak langkah aku menuju “X” yaitu
akhir dari langkahku ke depan. Maka X=n+m. Dan X merupakan hasil pencapaian
keberanianku menghadapi dunia dan kehidupan yang “keras”. Maka X sekaligus menjadi awal mula aku bersiap
untuk berada di atas, di bawah atau malah terjebak. X sebagai tolak ukur
ketahananku dihempas dan dilepas. Sebagai tempat aku menangis, bersedih,
terdiam, tersenyum bahkan tertawa. X adalah kotak kecil dari besi yang
akhir-akhir ini sering menguntit di belakangku. X adalah lift.
Pintu itu tidak menunjukkan kehidupan
sama sekali. Tak ada yang datang maupun pergi melewati. Aku penasaran,
bagaimana bisa dia begitu tenang? Menambah hawa dingin yang memeluk tubuhku
saja. Menambah jelas bahwa aku sedang sendirian dengan sebuah ketakutan yang
mungkin cukup besar. Angin baru saja berlari kecil di sekitarku, saat Tuhan
mengirimkan malaikat yang tak banyak bicara. Jelas terasa hangat saat malaikat
itu datang dan menyelimuti tubuhku dengan kata-kata indah yang terangkai manis.
Tapi tetap saja, dia tak banyak bicara. Kata-katanya besar dan cukup tebal
untuk aku gunakan sendiri. Aku hanya tersenyum kecil kepadanya dan berharap ia
tak melihat wajahku yang pucat seperti tanpa daya. Iya, hanya seperti tanpa
daya. Karena aku tahu aku punya daya hanya saja aku tak tahu dimana. Kupikir dia
akan melihatku tersenyum berterima kasih. Jauh dari harapan. Dia bahkan tak
bergeming setelah menyelimutiku. Dia diam dan menjadi setenang si lift.
Aku masih diam. Aku masih berdiri di
tempat yang sama,n+1. Masih dengan selimut yang malaikat itu beri. Malaikat itu
pun masih saja terus menemani. Aku pandangi dia dari atas ke bawah, lalu dari
bawah ke atas. Mungkin jika ia tahu aku memandanginya, ia akan berkata padaku, “Kau
sedang mengamati atau menelanjangiku?”. Tatapan mata ini begitu tajam dan
teliti. Mencari tahu siapakah malaikat yang berdiri di sampingku ini. Setiap detail
kecil yang bisa aku cermati pasti akan aku pelototi hingga beberapa menit. Dan hal
itu terus berulang setiap 19 menit sekali.
Semua hal yang aku lakukan kepada
malaikat tersebut tak nampak membuatnya risih. Aku semakin penasaran. Entah ini
sudah 19 menit yang keberapa. Belum banyak yang aku dapatkan dari pengamatan
sekaligus penelanjangan identitas diri ini. Ah Tuhan memang paling mengerti isi
hatiku! Tiba-tiba saja angin jahil memutari tubuhnya. Menerbangkan kertas usang
kecil yang terlipat. Dengan sigap aku raih kertas itu. Aku tak perlu ijin
kepadanya, toh dia tak menunjukkan reaksi apapun saat kertas yang keluar dari
saku kemejanya terbang ke arahku.
Saat membuka lipatan kertas usang tersebut,
malaikat itu menggenggam tangan kananku. Dia menarikku sehingga aku berjalan
satu langkah lebih dekat lagi dengan pintu besi. Aku sedikit terkejut dengan
tindakannya. Bukan karena dia menyakiti tanganku. Tapi karena dia berhasil
membuatku melangkah tanpa pemberontakan. Dan bahkan dia hanya memerlukan tenaga
minimal untuk melakukan hal tersebut. Membuatku sedikit lupa ingatan tentang
imajinasi ngeri akan ruangan besi
dengan dua opportunities. Aku tatap
wajahnya. Tidak dari depan, mana mungkin aku berani. Hanya dari samping dan
melirik kecil. Eh tidak, terkadang aku juga melirik besar sehingga mungkin akan
lebih mirip dengan melongok ke samping kanan. Dia terlihat sangat-sangat tidak
keberatan. Ingin sekali rasanya aku menonjok dia dengan sejuta omelan. Tapi kesunyian
ini mengurungkan niat usilku itu.
Hampir saja aku lupa dengan si
kertas usang karena terlalu banyak melongok si malaikat. Aku buka perlahan
namun dengan perasaan yang jelas tidak sabar…(membaca,diam,tersenyum kecil,
melipat kertas kembali,menyimpannya)
Hanya nama. Dan itu adalah nama yang
begitu berarti untuk keadaan seperti ini. Tuhan mau aku memecah keheningan
dengan memanggil namanya mungkin? Aku berada di n+2. Entah harus berapa “m”
lagi agar aku sampai ke X.
Aku buka mulutku perlahan dan
pelan-pelan memanggil nama malaikat itu. Sangat pelan hingga mungkin angin
malas membawa pesan itu agar terdengar oleh si malaikat. Tapi tidak. Malaikat itu
mengalihkan pandangannya dari pintu besi yang mungkin sudah mati. Mati karena
ditatap tanpa henti oleh malaikat ini. Aku yakin. Iya, aku yakin pintu itu
ketakutan sama seperti aku yang ketakutan karenanya. Aku tertawa kecil dalam
hati, menertawai si lift. Tapi tidak lama-lama, aku tak mau terlarut dan
berkutat pada pintu besi. Aku kembali dalam tatapan hangat sang malaikat. Dan dia
masih melihat mataku dengan tepat.
(Depapepe
with Kazamidori is now playing)
Entah bagaimana waktu, langkah dan
angin menuntunku dan malaikat tersebut di X. Iya, aku sudah berada dalam ruang
besi ini. Hangat masih menjalari tubuh kami. Malaikat itu tanpa ragu dan dengan
sadar masih melingkarkan tangannya pada tubuhku, begitu pun aku. Ada rasa
ketidakrelaan untuk melepas tangan mungilku dari tubuhnya. Dan ada rasa
keyakinan dan kemantapan yang aku rasakan dari sang malaikat. Dia begitu yakin
berada di dalam ruang besi ini. Seperti tak takut dan sudah biasa jika harus
naik-turun mengikuti kata Tuhan. Sudah biasa jika kadang bosan menjemput dengan
segudang godaan. Menawarkan “penyerahan diri” atas keterjebakan. Dia, sang
malaikat, tak bergeming dan khawatir. Membuatku berani dan lebih berani bahkan
jika aku harus sendiri lagi nantinya.
Aku masih memeluknya, menenggelamkan
kepalaku di dadanya. Kadang aku terlelap dalam peluknya dan kembali lagi
membuka mata dan masih saja dalam peluknya. Dan dia? Dia hanya memelukku. Sepintar
mungkin mengatur detak jantungnya agar tak membangungkanku saat aku tertidur. Sebisa
mungkin menguatkan tumpuan kakinya untuk menahan semua beban yang aku berikan. Sepintar
mungkin mengatur kekuatan tangannya untuk memelukku. Kadang aku bisa merasakan
dia kelelahan menahanku saat aku tertidur. Tapi dia tak pernah mengeluh di
depanku. Walau kadang pelukannya harus merenggang, ia tak akan lama-lama
membiarkanku merasakan perubahan.
Kami belum sampai tujuan yang
sebenarnya. Kami masih memeluk satu sama lain. Dan mungkin kami sedang
sama-sama berdoa kepada Tuhan untuk memiliki satu tujuan, yang sama tentunya.
(kembali
ke depan pintu besi yang sepi)
♥
Aku dan Malaikat Lift, tak nampak dan tak menemani.
Aku sendiri adalah apa yang terlihat
Dan aku bersamanya adalah apa yang aku rasakan
Ketjil : maaf ya yosi jelek gambarnya. anggep aja lift. *malu