Wanita itu duduk
sendiri di bangku yang terbuat dari semen. Suasana taman peristirahatan yang
sepi semakin membuatnya kalut. Semakin tenang ia akan semakin terhanyut,
terlarut. Angin kecil menggerakkan lonceng perak kecil yang sedari tadi ia
gantungkan di jari manis. Rambutnya yang lurus sebahu tertiup mesra oleh udara
yang bergerak dan menutupi sebagian wajahnya. Pipinya basah, dihujani air mata
yang sudah ia coba agar berhenti, namun ia gagal. Kedua bibirnya terlihat
dipaksakan mengatup, memperjelas getaran yang ia tahan. Ia menyingkirkan rambut
yang menutupi wajahnya kemudian mengambil nafas dalam-dalam. Sangat terlihat ia
berusaha untuk benar-benar diam. Ia tarik lembar putih tipis terakhir di atas
bangku. Ia seka air mata yang melunturkan bedak tipisnya.
“Maria…”,seorang lelaki paruh
baya mendekatinya, mengusap lembut bahunya yang bergetar menahan tangis.
“Kau masih perduli juga
ternyata!”,sahut si wanita.
“Tentu saja aku perduli, kalau
tidak aku…”
“Perduli katamu?! Kemana saja
kamu selama ini?!!!”
“Aku sama sekali tidak tahu
jika…”
“Memang apa yang kamu tau?? Ha!!
Selain menyakiti hati yang mencintaimu?!!”
“Maria, sungguh aku minta maaf.
Aku berharap kamu mau memberiku…”
“Apa?! Kesempatan? Yang macam
apa?!! Semua macam kesempatan sudah kau dapatkan! Sudah kami tawarkan! Tidakkah
kau sadar?!!”
“Aku…sungguh menyesal sudah…”
“Ya! Hiduplah terus dalam
penyesalanmu! Tenang saja, kau tak sendiri.”
“Maksudmu? Maria, kamu tidak…”
“Aku juga menyesal, telah
memberikanmu kepercayaan untuk menjadi pengganti sosok ayah bagiku dan sosok
suami bagi ibuku. Salahku! Percaya pada laki-laki sepertimu!”
Wanita itu
pergi, meninggalkan pria yang membawa seikat mawar putih sendiri. Dia lari
melewati gerbang pemakaman dengan hati hancur dan penuh penyesalan. Ia menyesal
karena telah mengijinkan lelaki yang jauh lebih muda disbanding ibunya itu
masuk ke kehidupan mereka. Pria bejat yang akhirnya membuat ibunya harus
dirawat di rumah sakit jiwa.
Wanita it uterus berjalan hingga
melewati tengah jembatan. Ia tatap air yang lebih tenang dari keadaannya
sekarang. Ia semakin benci pada wanita yang tergambar di permukaan air sungai
itu. Ia tatap lonceng kecilnya yang sedari tadi bergemerincing. Ia tak kuat
mengingat cerita ayah ibunya. Ia terhanyut dalam kisah romantis orangtuanya.
Bagi orangtuanya, kehidupan sama seperti lonceng. Hidup akan indah jika ada
gejolak masalah yang menggetarkan hidup yang datar, seperti lonceng yang akan
terlihat lebih indah saat suara nyaringnya muncul karena getaran dan gerakan.
Semua hal akan indah jika ada perubahan.
Untuk
terakhir kalinya ia kecup lembut lonceng itu, ia menatapnya dan melemparkannya
ke sungai. Dia tak pantas memiliki hal yang indah, batinnya. Ia pun melanjutkan
langkahnya ke tengah keramaian kota. Mencoba mengubur masa lalunya, walau suara
lonceng terus berdengung di telinganya.
Lelaki itu
menggeram dan menahan emosinya. Ia letakkan mawar putih di atas tanah merah
yang masih basah. Ia renggangkan otot-ototnya yang kaku karena menahan jutaan
emosi yang menerpa. Ia peluk batu nisan yang bertengger di atas gundukan tanah
merah.
“Kanya…maaf aku tidak bisa
menjadi suami yang baik untukmu. Entah apa maksud Tuhan mempertemukan kita.
Maaf kehadiranku telah menghancurkan keluarga kecilmu. Tapi kau pernah berkata
padaku, jika sesakit apapun kejujuran itu, kita harus berani mengungkapkannya.
Dan, iya Kanya…aku menyayangi Maria! Kan, seharusnya kala itu aku tak jujur
padamu, ya? Tapi sudah terlambat semua.”
Tanpa
lelaki itu sadari, air matanya sudah mengalir pada batu nisan, membasahinya,
menambah beban wanita yang bersemayam di dalamnya. Ia pun berdiri kemudian
melihat sekeliling yang tetap saja sepi. Hanya ada seorang pengurus makam yang
sedang beristirahat di bawah pohon kamboja, sibuk dengan makan siangnya. Dengan
langkah yang berat ia paksa kakinya beranjak. Terus melangkah dan berhenti di
pinggir sungai yang jernih. Ia gulung lengan bajunya dan berjongkok mendekat.
Ia tangkupkan kedua tangannya untuk mengambil air lalu mengusapkannya pada
wajah yang sembab. Ia melongok ke permukaan air, melihat wajahnya yang semakin
ia benci, ia jijik pada orang itu. Matanya terpaut pada benda kecil perak yang
tersangkut di dasar sungai. Ia sangat mengenal benda itu. Ia melihat ke sekitar
dan mengamati lagi benda itu.
“Maria…”