Kamis, 11 April 2013

Hanya Cerita Kecil, sungguh.

Pagi ini aku dibangunkan oleh suara ketukan pelan di pintu kamar. Oh sudah pukul enam lebih sepuluh menit pagi. Segera aku bekerja keras untuk membuka mata dan menyadarkan diri. Sembari menata bantal yang berserakan, aku coba ingat-ingat percakapan kita semalam. Hanya sekedar memeriksa ulang, apakah yang aku ucapkan semalam dengan atau tanpa sadar. Aku matikan laptop yang ternyata dari semalam masih menyala. Kasian sekali dia, tak istirahat seharian. Ditambah canduku yang tak bisa jauh darinya. Jariku selalu saja ingin mengetik tentang seseorang walau pagi buta sekalipun. 

Aku kesiangan dan ini hari terakhir aku mendapatkan tumpukan kertas soal bimbingan intensif dari sekolah. Dan menjadi awal rasa khawatir pada yang lain. Iya, ujian nasional. Ah, tidak kamu tidak ujian sekolah sama saja. Memenuhi otakku. 

Seperti biasa, aku pasang dua kabel di telinga. Melantunkan hanya dua lagu dari Tulus (re:nama orang). Akhir-akhir ini, dua lagunya yang berjudul Sewindu dan Teman Hidup gemar sekali membuat telingaku jatuh cinta. Semacam narkoba untuk telinga-hingga entah kapan. 

Sun bathing! Tumben sekali hari ini mentari berkilauan lebih cerah dari biasanya. Lebih jingga dari yang seharusnya. Aku sengaja menikmati cahayanya berlama-lama. Aku pelankan kecepatan motor yang aku setir. Sembari menatap mentari di timurku dan melantunkan lagu Sewindu. Untung saja hanya jalan kecil tanpa keraiman kota jalan yang aku lalui. Sehingga aku bebas merasa aman walau pikirannya melayang, berimajinasi. 

Jalan 'mandi matahari'ku hampir berakhir. Susah payah aku kembalikan lagi konsentrasi ke jalanan. Meliuk-liuk menghindari lubang-lubang yang bervariasi dalam dan lebarnya. Payah, aku terjebak satu lubang. Lumayan terasa menyakitkan dan berisik, apalagi dengan motor ini-yang shock breakernya tak bisa diandalkan. Maklum sajalah, motor tua. 

Kembali aku memacu kecepatan di jalan raya, di lingkar selatan kota Jogja. Selayaknya wanita yang lebih persis pria, aku fokuskan mata pada kaca. Aku lirik kanan, memastikan jalanan aman dan bebas kendaraan. Begitu seterusnya hingga aku sampai di tempar parkir sekolah. Kira-kira hari ini aku menghabiskan dua puluh menit di pagi hari untuk menyusuri jalanan dari rumah menuju sekolah. Lain kali harus lebih cepat, biar lebih terlihat pria, bisa jadi.

Aku matikan mesin motor dan pelan-pelan melepaskan pelindung kepala. Kenapa pelan-pelan? Ya karena hari ini aku sedang bertingkah layaknya wanita. Aku memakai bandana berwarna biru di kepala. Entah, sedang kerasukan ratu demit darimana. Aku tak mau menjadi berantakan, jadi aku harus perlahan melepasnya.

Kunci sudah terlepas dari tempatnya, aku lempar keatas dan aku tangkap lagi lalu aku masukkan di saku rok samping, seperti biasanya. Penutup hidung masih terpasang, begitu pula kabel handsfree. Sesampainya depan pintu kelas, aku lepas sepatu, seperti yang seharusnya. Kulangkah kakiku dan segera menuju tempat duduk favoritku, meja kesayanganku. Hari ini aku tidak terlalu banyak bicara, lebih mirip cuek pada segala hal. Aku lepas penutup hidung. Lalu kulepas handsfree yang memutar lagu Sewindu, hilanglah dunia kecilku.

Tanganku mencari-cari suatu benda bergerigi, berwarna biru dan panjang. Aku merasa sudah meletakkannya di dalam tas tadi, hanya sedikit kesulitan untuk menemukan. Akhirnya, sisir! 

Aku sudah bilang, aku seperti sedang dirasuki ratu demit. Aku menenteng sisir itu ke kaca yang ada di dalam kelas. Aku tata rambutku sebegitu rupa hingga menurutku sudah cukup rapi. Tak terlewatkan, bandana biru tentu saja aku benahi. 

Aku masih tak tahu apa yang ingin aku lakukan selagi menunggu bel berdentang. Berat hati akhirnya aku keluarkan map biru bertuliskan 'Matematika' di depannya. Kuputuskan untuk menyelesaikan soal-soal yang tak sempat aku jamah di hari sebelumnya.

Bel pun berbunyi nyaring, speaker kelas dengan volume keras menginstruksikan untuk menyiapkan diri. Iya, tiap pagi kami harus berdiri dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Dasar mental nasionalisme yang ala kadarnya, aku pun cuek, aku masih duduk sambil menatap soal terakhir. 

Sekolah dimulai, dan aku harus berhenti berdongeng. Untuk kali ini cukup sekian, see ya! soon.

###


Rabu, 10 April 2013

Seakan-akan Kau Milikku

Hai, -malam hingga pagi butaku- 

Banyak sore yang aku lewatkan tanpamu di sampingku. Banyak senja yang aku sia-siakan tanpa kehadiran bahumu di sisiku.

Melewatkan begitu banyak pemandangan jingga di barat sana-yang seolah-olah. Melewatkan semua udara panas yang berganti giliran dengan udara yang lebih dingin. Makin dingin, makin pekat langit malam, makin basah.

Banyak kursi kosong di tempat-tempat favoritku yang aku lewatkan. Aku berhenti mendudukinya semenjak kamu ada, tapi tidak di sampingku. Sengaja memang aku siapkan jika suatu saat nanti kau hadir. Sekiranya kau sudi menyisihkan waktu denganku. Barang lima belas menit atau lebih dan lebih. Untuk sekedar berbagi secuil cerita hidupmu disana dan hidupku disini-yang kita lalui tanpa kehadiran ragaku maupun ragamu. Iya, bahkan kalau kau mau, akan kuajak kau berbagi dentingan gelas yang bertemu, memadu rindu. Bukan, bukan beer, aku tak mau mabuk dan melewatkan raut wajahmu barang sedetik. Isinya gelas itu bisa kau pilih, kau suka apa? Kalau aku, akan ku isi dengan segelas penuh coklat panas.

Mentari sore lama-lama menghilang juga. Dan aku masih menunggumu sembari menatap langit luar dari jendela kamar. Gelap, sebenarnya. Tanpa bulan dan tanpa bintang. Mungkin karena awan cumulus nimbus tadi mampir sejenak di berandaku. 

Kutengok layar dengan papan kunci berwarna putih yang duduk manis diatas bantal kecil kesayanganku. Masih, kamu belum muncul. Terkadang, aku memilih untuk jatuh cinta pada malam saja. Setidaknya dia hadir selalu tepat waktu. Tapi, dia bukan kamu. Baiklah, ku-urungkan niatku. Aku tetap jatuh cinta padamu.

Entah pukul berapa, speaker dari rumah-Nya memanggil dan memberi tanda untuk menghentikan sejenak duniaku yang penuh kamu dan menunggu. Aku sentuh air yang sebelumnya sudah aku rapal. Berharap aku tidak melewatkan satu pun urutan. Berharap aku tidak terlalu melupakan.

Sudah sekitar empat bulan ini, namamu tersemat di akhir doaku. Bahkan kadang mungkin aku lupa untuk berdoa demi kelancaran ujianku. Bagian akhir dari doaku selalu menjadi bagian yang aku tunggu-tunggu. Tak sabar memberitahukan Tuhan. Tentu saja aku menyebutkan keluargamu dalam doaku jua. Dan tiap akhir dari doaku-yang tentang kamu-itu, aku sampaikan padaNya agar kau juga tidak jauh-jauh dari Tuhanmu. Aku tidak pernah berharap kita sama. Aku berharap kita dapat meleburkan beda dan menjaganya agar selalu berbeda namun dalam bahagia. 

Empat jam dari pukul enam sore kau baru memunculkan tanda-tanda kehidupan. Kamu ini, selalu saja minta dirindukan. Sapamu adalah hal yang paling aku tunggu. Dan kau mengabulkan apa yang aku tunggu. Kamu memang juaranya!

Lagi-lagi aku bertemu pagi, seperti hari-hari sebelumnya yang sudah kita lewati. Empat bulan akhir-akhir ini menjadi hari-hari menyambut pagi buta yang tak sia-sia. Karena ada kamu, apalagi kalau bukan itu. 

Hai, laki-laki kurus dengan rambut ikal.

Iya aku sedang menulis tentangmu. Bersikaplah tak tahu apa-apa, karena itu yang membuatku tetap menyematkan kamu dalam tiap karya.

Hai, laki-laki dengan sejuta rahasia.

Tetaplah menjadi rahasia terbesarku. Agar aku terus berimajinasi dan menerka-nerka. Tapi suatu saat, kamu sudah menganggap waktunya tepat, beri tahu aku apa yang perlu aku tahu ya. Kau sudah jatuh cinta pada wanita lain, misalnya.

Selamat Bekerja dengan embun, editor--yang seakan-akan punyaku.









Note untuk Si Malam-hingga-Pagiku (seakan-akan)
' jangan mudah menyerah, pada ; jarak, waktu, dan perbedaan.
' jangan udah bosan, pada ; aku, pagi, hingga malam kita.
' jangan menjadi seperti dia yang suka ; menyerah dan bosan.
' jangan dibaca note ini kalau ini bukan buat kamu.

Senin, 08 April 2013

Tanpa Tema, Tak Terarah

Tidak semua dongeng berakhir manis, dan tidak semua dongeng berakhir menyedihkan. Seperti yang kalian sudah tahu, dongeng bisa saja berakhir dengan sebuah teka-teki atau bahkan misteri. Sederhananya, tidak semua cinta yang terbalas itu indah dan akan berujung pada sebuah hubungan yang manis. Tentu saja, berlaku juga untuk cintanya yang tidak terbalas. Belum tentu mereka tidak bahagia. Mereka sedang dijadikan suatu pilihan, sengaja menunda bahagia atau bahkan berkeinginan mendapatkan hal yang lebih membahagiakan. Itu terserah kita bagaimana menanggapinya, mau dengan emosi atau dengan hati. Mau bereaksi atau beraksi. Memilih menjadi bijaksana atau menjadi dewasa. Semua hanya tentang sebuah dan beberapa buah pilihan yang sering kali memusingkan. Tentang, bagaimana kita bisa merelakan suatu kebaikan untuk menyambut dengan terbuka kebaikan lainnya. Dan menurutku, tidak ada hal yang bernama keburukan di dunia ini. Hanya mengenai, baik dan lebih baik atau bahkan paling baik. Subjektif dan objektif.

Kala sang pangeran mengadakan sayembara pesta topeng di kerajaan, bisa saja kita mengubah bukan Cinderella yang akan menikah dengan pangeran. Kita bisa mengubahnya menjadi, misal Cinderella jatuh cinta pada kaki-tangan pangeran yang amat setia dan sering menyampaikan pesan pangeran kepada Cinderella.

"Witing tresno jalaran seko kulino"

Iya, cinta dapat hadir karena suatu kebiasaan yang sering dilakukan bersama. Sering bertemu, misalnya. Atau, katakanlah yang lebih simple, sering mengobrol. Ya, sang kaki-tangan pangeran jatuh cinta karena sering mengantarkan pesan pangeran kepada Cinderella. Dan Cinderella pun makin hari makin sadar kalau cintanya bukanlah kepada pangeran, namun kepada si kaki-tangan pangeran. Entah bagaimana caranya, mereka nanti akan dapat hidup bersama, dan bahagia tentunya. 

Skenario manusia. Dongengku memanglah hanya dongeng biasa. Yang penuh dengan cerita kehidupan manusia yang fana dan tak habisnya meminta bahagia. Kehidupan dongeng yang tak pernah merasa puas. Benar-benar murni karya anak Adam dan Hawa. Yang ada hanyalah nafsu untuk berburu. Berburu kepuasan yang tak terbatas di tengah keadaan yang serta terbatas. Kehidupan manusia yang bebas tetaplah akan ada batasnya, sama seperti jagad raya. Selalu berkembang, seperti nafsu manusia yang selalu berkembang mencari kepuasan. Jagad raya luas namun bukan berarti tanpa batas, nantinya tetap akan ada tepi yang membatasi. Iya, sama dengan kehidupan manusia yang mungkin kita anggap, "ah hidup ini bebas". 

Dongengku makin tak beraturan. Arahnya mulai tak jelas. Tapi dongeng ini tahu, dia sedang menguatarakan mengenai kehidupan, manusia tentunya. 

Dan si pencerita, sedang jatuh cinta karena sebuah kebiasaan. Iya, kebiasaan mengobrol, berbincang dan bertukar pikiran dengan seseorang. Seorang pria yang hanya dia yang tahu bagaimana sifatnya. Seorang pria yang mulai gemar memenuhi dunianya. Seorang pria, yang masih dalam imajinasinya. Seorang pria maya, tapi si pencerita yakin, pria itu bukanlah salah satu dari hal-hal fana. 

Selamat berpartner mimpi dan bergelut dengan selimut, AVE.

Sabtu, 06 April 2013

Gadis Dongeng

Dongeng pukul lima lebih tiga puluh menit sore merangkul sebuah pertemuan. Langit di luar sana sudah gelap sejak pukul dua lebih karena hujan tiba-tiba saja sudah datang duduk di ruang tamu saat aku membuka mata. Pantas saja kulitku terasa dingin dan basah, ternyata atmosfernya yang menyenggolku. Guling yang sedari siang tadi aku peluk terasa dingin dan menyenangkan. Kasur yang hangat karena tertindih berat tubuhku menenggelamkan aku dan menggodaku agar tak beranjak. Lagu yang sedari tadi menemaniku menambah sayup sebuah pertemuan. Entah apa pengaruhnya.

Seorang gadis beranjak dari bantalnya. Mengangkat kepalanya agar tegak duduk diatas kasur. Dia senderkan punggungnya perlahan di tumpukan bantal yang ia susun tinggi dan pas. Ia memulai lagi khayalan tingkat tingginya. Ia merindukan lelaki itu.

Selalu, malam yang mempertemukan mereka, dalam maya tapi bukan suatu hal yang fana. Dan selalu menunggu pukul delapan sore untuk memulai percakapan adalah hal yang berat. Sebentar lagi, iya sebentar lagi aku yakin kau hadir.

Seorang gadis penantang jarak menggantung harapan sebuah pertemuan pada Sang Maha, ia berdoa.

Jumat, 05 April 2013

Ada Malam

Ada malam, dimana aku sadar akan suatu kehadiran. Kerinduan. Tak tahu apakah kau tampan rupanan serta menawan. Yang aku tahu, hadirmulah yang sedang aku rindukan. 

Ada malam, ketika langit tanpa bintang dan bulan. Langit kosong, hanya pekat dan gelap. Sesekali pesawat terbang melewati atmosfer di atasku mewarnai langit yang kosong dengan lampunya. Cukup indah.

Ada malam ketika aku teramat penat dengan udara yang bersikulasi di sekitarku. Mendorongku untuk lebih memilih dingin dan angin malam sebagai teman bersembunyi dari kesedihan. Bersembunyi dari rasa kehilangan. 

Ada malam, dimana aku merasa udara memelukku terlalu erat. Merebus suasana menjadi hangat dan lembab. Menjatuhkanku jauh dalam keramaian yang fana, yang maya.

Ada malam dimana aku berharap memiliki ruangan di luar sana. Beratapkan langit sepi dan bertikar tanah basah. Berteman dengan dedaunan yang mengembun. Berselimutkan udara yang segar dan mungkin menyesakkan. Bersahabat dengan halusinasi berat. Bercinta dengan air mata dan kain yang basah karenanya. 

Ada malam, ketika halusinasi mencapai puncak tertinggi. Membayangkanmu berdiri di hadapanku dan menggumamkan namaku dengan nada sederhana nan bersahaja. Memelukku dengan hangat yang takkan pernah kutolak. Membisikkanku kata rindu yang selalu aku harap. 

Ada malam, ketika penyesalan hanyalah segumpal kotoran yang tak bisa kau olah untuk menjadi suatu kebaikan. Ada malam, ketika kerinduan hanyalah satu dari berjuta-juta cara membunuh diri sendiri. Menguburkannya dalam peti. Akhirnya sang tokoh mati. Dongeng selesai.

Sementara, Ini Kado Istimewa.


Banyak hal yang bisa aku tulis tentangmu. Banyak, bahkan... menurutku terlalu banyak. Terlalu menjemukan bagi mereka-mereka yang tak mengerti tentang kamu, aku, maupun kita. Terlalu romantis untuk diungkap, bahkan lebih romantis daripada surat cintaku kepada seorang kekasih-yang mana belum pernah aku tulis. Terlalu penuh rahasia yang disimbolkan dari sebuah kata. Segala hal tentangmu, atau bahkan kita sepertinya memang terlalu, ya? Pasti kau akan bilang aku ini berlebihan? Sejak kapan aku perduli pendapatmu yang 'berlebihan' itu jua? Sejak kapan aku akan menggubris pendapatmu 'yang itu'? Kau tahu, aku akan tetap menulis ini dan membuat ini 'berlebih' dan 'lebih' lagi. Jadi untukmu, diam saja. Tak perlu banyak cakap. Siapkan snack merah rasa balado yang biasa kita cemil berdua. Dan jangan lupa air putih satu botol di sampingmu. Ditambah bantal kecil penyangga dadamu kala kau sedang tengkurap dan membaca ketikan ini di layar pc barumu. Selamat menggumamkan sumpah serapah, sahabatku!

***

Berawal dari Taman Kanak-Kanak bertitle "Taman Kanak-Kanak ABA Mubarok" yang berlokasi di Yogyakarta. Lebih tepatnya di samping Masjid Mubarok yang bersebrangan dengan SMP Bopkri 1 Yogyakarta. Tentu saja kau tak akan lupa tempat itu kan? Kuhajar saja kalau kau lupa! 

Di tempat ini, kita berkenalan. Pastinya kala itu kita masih sangat kanak-kanak. Jujur saja, aku tidak ingat bagaimana kita bercengkrama dulu, apalagi kamu, iya kan? Aku hanya ingat, kalau kita sering dan terlalu sering berdua. Bahkan, saat kita belum kenal terlalu akrab, kamu sudah mengajakku kerumahmu-yang tidak jauh dari TK itu. Betah! Iya, aku merasa sangat betah dengan rumahmu itu. Betah dengan isi rumahmu-yang penuh kaos dan cat sablon. Betah dengan ibumu yang begitu cantik dan masih sangat muda-hingga sekarang. Betah denganmu dan sifatmu yang...entahlah kala itu aku menilaimu apa. Aku merasa betah dengan menu makan siang sup-tempe-tahu-sambal-rempelo dan ati. Ah menu favorit keluargamu! Dan menjadi favoritku juga, karna terlalu sering menyantapnya bahkan hingga kini aku hampir-tapi masih lama-berusia 20 tahun. Sumpah! Tua banget sih gue.

Singkat cerita, aku hampir setiap hari me-mampirkan diri kerumahmu. Tidak banyak yang kita lakukan. Dan bahkan seingatku tidak ada permainan yang kita lakukan saat bersama. Hanya menonton televisi, membicarakan seorang-atau lebih pria, makan dan tidur. Sampai sekarang! Monoton banget lho ngomong-ngomong, tapi aku suka! ♥ (hatinya besar)

***
Kita bertambah umur, tapi entahlah bertambah kepintaran atau tidak. Yang jelas kita berhasil lulus dari surga sementara, TK. Kita masuk ke neraka tahap 1 tanpa kita sadari, Sekolah Dasar. Iya, entah kesialan atau entah namanya jodoh, kita masih satu SD. SD Lempuyangan II Yogyakarta, menjadi teman 6 tahun yang begitu bergejolak buatku. Dan di dalamnya, terdapat kamu-yang masih belum aku sadari bahwa kamu adalah calon sahabatku-kala itu. 

Kelas 1, menjadi sentakan awal malaikat galak, Bu Sri. Masih ingat? Beliau mempunyai tubuh yang berukuran yaa lumayan besar. Kau ingat tidak? Dulu aku ditegur beliau dan penyebab utamanya adalah kamu? Pasti tidak! *sumpah serapah*. Aku terlalu cerewet kala itu-sampai sekarang juga iya. Aku berniat jujur, aku mengadu dan mungkin aku terlalu sering mengadu. Akhirnya beliau jenuh dengan suara cemprengku yang merengek tiap waktu dan menyentak, "Ba-bu-ba-bu wae! Yosi anteng!". Kepada Bu Sri, saya masih ingat sampai sekarang bukan berarti dendam, berkesan. Terimakasih kelas satu yang baik! 

Kelas 2 lalu kelas 3. Ah! Dikelas 3 ini aku mulai menyadari potensi merengekku lebih dari hebat. Bu Sumarah alias Bu Sum menyanyikan kita sebuah lagu, kira-kira seperti ini...

"Wiwit aku iseh bayi, wong tuwo sing ngopeni
 Nganti tumeko saiki, tetep iseh gemati
 Mangkat sekolah disangoni
 Sandhang pangan wes mesti

 Mulo aku wajib bekti
 Mbangun turut ngajeni"

NB: mungkin kamu lupa nadanya, bisa denger deh nanti aku kasih voicenote. Oh iya, aku mau jujur. Aku sedikit lupa lirik lagu jawa itu, akhirnya aku harus googling. Alhamdulilah ada, Indonesia ngga buruk-buruk amatlah.

Tepat setelah Bu Sum selesai menyanyikan lagu jawa itu, kamu langsung menangis dan mendekati Bu Sum di mejanya. Beliau memelukmu dan memintamu agar tidak menangis karena itu sudah jam pulang sekolah. Beliau takut kalau nanti harus mendapat serangan bertubi-tubi dari orang tua siswa dengan pertanyaan yang sama, "kenapa anak saya 'nangis?". Tapi gagal! Aku justru membantumu untuk menambah Bu Sum kebingungan. Aku menangis, terisak dan tersedu-sedu, berlebihan? Diam saja! Disusul dengan teman-teman yang lain, tapi kalau yang putra tentu saja gengsi walau akhirnya ada yang ketahuan juga sedang menangis, si Feri. 

Asal kamu tahu, aku membawa airmataku sampai tempat kerja mamaku dengan berjalan kaki. Sepanjang jalan aku hanya diam meresapi lagu. Sampai di kantor mamaku bukannya tenang, justru meledak hebat (lagi) tangisku. Karena teman mamaku yang bertanya kenapa aku menangis. Aku ceritakan dari awal, dan ditengah-tengah aku mulai sesenggukkan. Teman mamaku malah memangkuku dan memelukku agar tidak menangis. Gila! Hal itu justru membuatku makin hebat menangis. Cengeng, iya itu aku. Kamu juga cengeng, hanya tak pernah mengaku dan suka mengangkat gengsimu. Oh dam* you, my bestfriend. 

Kelas 4, konyol. Aku suka dengan salah satu teman kita yang tidak naik kelas, tapi beda kelas. Iya, Yudi. Bahkan sempat 'sok pacaran'. Semoga hanya aku dan kamu yang tahu aib ini. Amin.

Kelas 5 dan kelas 6. Terlalu banyak hal spesial yang terjadi di tingkat ini. Seperti, kita mendiamkan salah seorang teman kita hingga dia mogok sekolah dan ayahnya datang ke kelas kita untuk menuntut penjelasan. Lalu, ada Aldi-Si Penancap pulpen di ruas jarimu. Lucunya, lucunya nih ya. Awas aja ngga lucu! Hm yang nangis itu bukan kamu, malah dia, boleh dijelaskan kenapa begitu? Oh iya, coba diliat, masih ada ngga lukanya? Itu loh di antara jempol dan jari telunjukmu. Aku tidak mau kalah! Aku juga mau bikin kontroversi dengan bertengkar. Ingat saat Feri mengamuk karena ulahku? Sungguh kala itu aku berada di situasi galau. Antara senang karna dia dimarahi dan takut dengan amukannya. Dia mengamuk seperti bayi singa yang kehilangan botol susunya. Dia dorong meja dan kursi kesana-kemari. Akhirnya aku dan dia dibawa oleh guru bahasa inggris ke ruang kepala sekolah. Aku nakal, kamu juga!

Kelas 6 kenapa aku bilang neraka tahap 1, ya karena itu. Kita mengembangkan sifat-sifat jahil dan keras kepala disana. Dan kita bumbungkan dengan bangga nilai Ujian Nasional yang pas-pasan. Kala itu nilaiku 21,27 dan setahu aku, kamu ada di bawahku. Benarkan? Ah aku kangen momen itu, menyampaikan pidato kelulusan di depan teman dan orang tua kita semua. Aku dipilih juga karena menjadi juara 1 di sekolah. 21,27! Membanggakan yang memalukan, ya? Berdoa saja tak ada orang lain yang tahu. Amiiiin!
Kita lulus, berniat mencari bahagia dan neraka tahap 2.

***

SMP Negeri 15 Yogyakarta menjadi atmosfer 3 tahun yang kulewati tanpa kamu di samping kursiku. Tapi kita masih sering komunikasi bahkan masih sering aku menghabiskan makanan di rumahmu. Pernah juga aku menjemputmu di SMP Muhammadiyah 1 Yogyakarta, di sekolahmu. Intinya, 3 tahun di SMP ini aku sedikit merasa kehilangan kamu. Kamu menjadi lebih sibuk dengan temanmu, tapi tidak denganku. Tapi aku tahu kamu tidak akan mau mengakuinya, jadi yaa sudahlah! cemil lagi saja keripik itu. 

***

Masa SMA kalau kata orang masa paling indah. Entahlah... yang jelas dimasa-masa ini kita menjadi sering tersaikit dan menyakiti. Bukan aku menyakiti kamu atau sebaliknya. Tapi ini tentang 'pria'. Iya, aku lembek soal ini. Paling benci kalau kau sudah mengomel tindakanku salah kalau terus mengalah. Iya, aku sebenernya juga tahu ngga baik terlalu sering mengalah, tapi itulah hal yang menjadikanmu lebih mengenal karakterku. Kamu hapal apa yang akan aku lakukan jika menghadapi situasi tertentu, begitu juga aku ke kamu. 

Belum, kita belum keluar dari neraka tahap 3 ini. Akan, iya sebentar lagi kita akan selesai berjuang untuk keluar dari neraka ini dan pindah ke neraka selanjutnya. Miris, sadis, apapun itu. Berdoa dan berusaha saja, kita akan dipelihara semangatnya oleh Tuhan dan diberkati dalam segala hal. Amin. 

***

Akhirnya selesai juga aku bercerita. Tidak semua hal bisa aku tulis, banyak, banyak sekali hal yang aku lewati. Intinya, kita selama berbelas-belas tahun belakangan ini tidak serta merta indah, banyak hal terutama dari SD yang aku dendamkan ke kamu. Tapi melebur juga seiring waktu. Tapi jengkel juga kalau ingat lagi. Mungkin sama saja denganmu, mengaku saja! 

Sudah habis camilannya? Dadanya sudah panas? Mandi sana, biar nanti kalau skype-an sama calon mantan udah cantik. Selamat berjengkel ria!

Rindu Rindu Riiiiindu


Dan lagi-lagi kamu
Lagi-lagi tentangmu
Lagi-lagi kamu

Tak bisakah kamu meninggalkanku?
Tanpa harus meninggalkan rindu
Tak bisakah kau pergi dariku?
Bawalah rindu ini bersamamu

Aku yang salah
Membawa pikiran tentangmu terlalu jauh
Menggenggam kisahmu terlalu erat
Membawa perasaan ini terlalu dalam
Padahal, belum tentu kamu mengizinkan

Aku menyesal mengenalmu
Tak pernah sebelumnya aku seperti ini
Menyatakan penyesalan pada sebuah perkenalan
Tapi mungkin inilah kenyataan

Kau datang terlalu cepat
Membuatku kembali pada suatu pukat
Lagi-lagi aku terjerat
Lagi-lagi langkahku berat

Kenapa kau tidak pergi saja waktu itu?
Tak perlu lagi-lagi menghubungiku
Menghilanglah kalau hal itu perlu
Aku coba dan aku pasti mampu
Lagi pula, kau bukanlah milikku

Kamu tahu?
Semua filosofi yang saling taut menaut
Semua filosofi yang bergulat dalam raut

Aku mempelajari terlalu banyak hal darimu
Hingga isi otakku hanya filosofi tentangmu
Layang dan bintang
Lilin dan sunrise
Malam dan senja
Coba kau sebut sisanya!
Mampukah kau mengingatnya?
Kenapa? Kau sudah lupa?
Tak apa, wajar.
Kenapa? Kenapa kau masih perduli?

Kau menyukai kehangatan
Dan kau menyukai rasa saat kunyahan pertama
Kau penuh kekakuan
Penuh kesulitan untuk mengekspresikan

Dan penuh cambuk rindu kenikmatan
Sungguh, kau keterlaluan!

'Hai Maret' yang Terlambat


Senja kala itu tak seindah yang sudah-sudah. Matahari bersembunyi dibalik senyummu yang coba kuingat kembali. Mendung turun merangkak ke bumi dan menggelapkan senja. Senja tak pergi bersama si jingga. Kasian si jingga. Aku menatap keluar jendela masih dengan secangkir coklat panas, masih dengan minuman yang kamu suka. Entahlah mengapa sore ini lagi-lagi aku mengingatmu. Menerawang jauh ke kotamu dibalik jendela kamarku yang berembun. Ini Februari akhir yang cukup manis untuk merasa miris.

Aku masih menunggu suaramu yang nyaring di teleponku. Menanti dan terus menanti sedetik dua detik suara yang manis. Dan aku lagi-lagi terbuai dalam kenangan tentangmu. Aku yakin kita menatap atap yang sama namun dengan cara yang berbeda. Kemana kamu? Sudah hampir dua bulan berjalan, kau masih saja tinggal dalam rumah yang bernama diam.
"Kau sudah hampir satu jam hanya berdiri saja menatap hujan disitu."
"Eh mama..."
"Kano, kalau kau memang lelah menanti, lalu jemputlah dia nak."
"Mah..."
"Mama tahu perasaan dia. Dia juga sedang bingung. Percayalah mama, kalau kau datang ke kotanya, dia akan lebih mantab memutuskan."
"Aku sudah terlanjur berkata."
"Tak apa kalau kamu memang harus menjilat ludah sendiri. Lihatlah kamu pada kaca itu, itu bukan Kanoditya yang Mama kenal."
"Aku..."
"Kamu merindukannya, iya Mama tahu. Tapi kamu sudah terlanjur bilang tak akan menghubunginya hingga ia mendapatkan keputusan. Tapi, kalau Mama jadi dia, buat apa memperjuangkan kamu yang bahkan terlalu gengsi untuk mengucapkan rindu padanya?"

Aku hanya diam selagi Mama menuturkan kata-kata yang menyejukkan hati di depan pintu kamar. Aku letakkan cangkir yang masih berisi coklat dingin. Segera aku buka lemari dan aku tarik ransel hitam yang lama aku simpan, masih untung tak berjamur.

"Kamu mau kemana?"
"Jogja Mah."
"Kamu yakin? Naik apa?"
"Kereta, sekarang masih jam empat, masih ada kereta jam 5 Mah."
"Kamu bisa pergi besok pagi nak, kenapa harus terburu-buru?" Mamah mendekatiku dan duduk di kasur membantuku melipat baju-baju yang aku lemparkan tak teratur dalam koper.
"Karena sekarang akhir Februari."
"Lalu kenapa?"
"Aku berjanji padanya akan berhenti menunggu hingga awal Maret, lalu dia bisa benar-benar melupakan semuanya."
"Cinta mengenal batas waktu?"
"Tenggat mah, bukan waktu. Limit. Dan aku sedang mengejar si tenggat agar aku tak lebih lama lagi kehilangan dia." 

Aku bersimpuh di kaki Mama dan menggenggam tangannya.
"Mah, doakan aku. Pastikan mama terus memberkatiku. Aku jera menyiksa batin. Sudah cukup perbedaan kota dan cara kami memuji Tuhan datang sebagai cobaan."
"Tentu nak. Yasudah, kamu berhati-hatilah. Jangan terlalu emosi dalam perjalanan. Pastikan, perjalananmu nanti juga akan membawa suatu pembelajaran."
"Iya mah."

Aku tenteng koper dan beranjak pergi, aku tahu mamah sudah menyiapkan taksi. Aku langkahkan kaki sekali lagi. Aku tepat berada di luar sekarang, aku harus meninggalkan Jakarta dan menjemput cintaku di Jogja. Payung merah yang dulu ia berikan masih tersimpan rapi dan kini aku gunakan lagi. Aku akan mengembalikan semuanya, Senja. Kukembalikan semuanya! Kenangan kita, payung merahmu dan hatimu yang aku simpan dalam belenggu.
"Kano, tunggu"
"Ya mah?"
"Bawa serta kalung salib ini untuk menjagamu"
Aku raih kalung salib itu, aku simpan dalam genggaman dan segera menutup pintu taksi. Aku lambaikan tanganku kepada dia yang telah melahirkanku dan memberikan restunya yang tulus untuk mengerjar bahagiaku. Senja, aku dalam perjalanan, pastikan kamu menungguku dengan sabar, tak lama lagi Senja...tak lama.

***

Hai Maret! Kau telah datang pada kami disini. Menjuntaikan semua rangkaian manis yang tersusun rapi di hati. Kamu menjadi saksi, aku mampu membuktikan setia yang terjaga bahkan hingga...
Oh iya! Hai Senja! Kau terlihat sangat cantik hari ini. Senyum bahagiamu, masih sama seperti dulu. Senyum yang manis dan mengandung candu. Tapi kamu sedari tadi hanya diam. Memejamkan mata dan menghayati rasa. Kamu membiarkan aku berlama-lama duduk disini dan menatapmu lekat. Semoga aku tak dimarahi oleh malaikat.
"Senja, maafkan aku... Kau pasti sangat-sangat lelah menunggu."
 
"Senja, jangan hanya diam. Tolong ucapkan sesuatu padaku."
Aku diam, lalu mencoba dengan keras untuk melanjutkan...

"Senja! Bicaralah padaku!" aku peluk nisanmu sembari menahan isak tangisku.
"Senja! Lihatlah awan disana! Indah! Senja ini indah! Tapi aku lebih menyukaimu, Senja! Aku lebih memilihmu!"
"Senja! Pukul saja punggungku sama seperti dulu, saat kamu merasa kecewa padaku. Tampar aku kalau perlu, walau kau pernah melakukan hal itu. Senja! Marahlah se-marah maumu. Tapi satu... jangan tinggalkan aku Senja..."

Tak terasa peluh keringat dan tetes airmata hampir membasahi tempat istirahat terakhirnya. Segera aku keringkan tetes itu dengan kaos putihku yang lusuh meratapi nisanmu. Pada akhirnya aku kehilangan Senja selamanya, aku kehilanganmu. Dan aku berhasil menang dengan kecewaku, berkat ego konyolku. Aku kalah telak, Senja. 

Aku menjauh pergi. Menentang tas punggung yang berisi rencana pertemuan kita. Ternyata kau lebih mengejutkan dari yang aku duga, Senja. Iya, aku kalah telak. Kutinggalkan semua jiwa disana, suatu saat entah kapan akan ku jemput. Dengan kereta kencana, dengan malaikat di samping kiri dan kanan. Kan kubawa kamu jua kesana. Tunggu aku, Senja.

Kamis, 04 April 2013

Dongeng di Jaman Modern (lagi)


Seperti putri kecil yang sedang berimajinasi tentang pangerannya, aku layangkan semua bayangan agar terbang dan membumbung tinggi ke atas. Polosnya aku imajinasikan pangeran itu, walau tak pernah kulihat dengan nyata. Aku bayangkan betapa sempurnanya dia untukku. Dengan mata indah berbicara pada mataku, merapalkan kata bahwa dia tulus menyayangiku. Dengan pipi yang sebegitu rupa sangat pas untuk kucium nantinya kalau bunda ratu dan ayah raja sudah memperbolehkan aku. Bibir yang entah seperti apa, yang akan memanggil namaku dengan mesranya-saat putri sudah boleh mengenal rasa cinta. Tangan yang pas menggenggam jemari rapuhku agar menjadi lebih kuat dan yakin melangkah menjadi putri dewasa yang bijaksana. Bahu yang tepat untuk kusenderi dengan berbagai macam beban dan kasih sayang kala raja dan ratu mengijinkan. 

Iya, sosok itu. Sosok yang entah seperti apa. Yang putri tahu jika dia untuknya, dialah yang paling sempurna. Saat Sang Maha mempertemukan dan membantu mereka merajut cinta. Iya, saat sang putri kecil sudah menjadi lebih dewasa. Iya, saat sang putri sudah mampu menyisir sendiri helai demi helai rambutnya. Saat sang putri sudah bisa mengatur barisan awan diangkasa agar menjadi lebih bersahaja. 

Aku, hanya seperti putri kecil itu, bukan berarti akulah putri kecil itu. Dan tentu saja kamu bukanlah pangeranku, kita tidak hidup di lingkungan keluarga istimewa kerajaan maupun keraton manapun. Tapi aku tahu, nantinya kita akan membangun sendiri keluarga istimewa dengan bangunan kerajaan yang sederhana. 

Iya, ini hanyalah masalah waktu. Ah, dongeng yang bernuansa istanasentris di siang hari. Lagi-lagi dongeng khayal di jaman modern ini. 

*tutup buku*

Rabu, 03 April 2013

KAMU


Kamu adalah sepotong kotak yang tak bertepi. Yang bergaris sempit biru dan putih. Dengan warna pastel lembut dan tipis. Yang muncul dengan suara tak merdu tapi menenangkan hati. Menepikan sepi dan menampar jauh rindu bermimpi.

Kamu adalah mini persegi. Yang terpampang manis di samping kanan saat kita berbagi canda. Yang muncul kala sang surya sudah kembali ke sarangnya, menuju dunia lain yang belum pernah aku jamah. Yang selalu muncul bersamaan dengan dihantarkannya sore menuju malam. Dengan atau tanpa bintang. Dengan atau tanpa bulan. Dengan atau tanpa hujan. Namun pasti kau datang dengan sebuah lekuk senyuman.

Kamu adalah bergudang-gudang imajinasi. Yang menjejal diantara ingatan materi ujian kini. Teramat sering datang dan pergi. Kadang dengan atau bahkan tanpa permisi. Membuat jemari tak lelah menari diatas pencetan huruf yang terbaris rapi. Menciptakan berbagai karya yang tersusun dari semua abstraksi.

Kamu adalah sebuah lagu. Yang tak pernah bernyanyi namun selalu mendendangkan syair dan lirik yang menenangkan nurani, merilekskan semua beban duniawi. Berlagu lewat canda lugu dan memeras hawa biru serta kelabu, menghujani aku kembali dengan warna merah dan kadang muda bersemu malu.

Kamu adalah gulungan rekaman yang panjang dan mungkin tak akan berhenti memanjang. Merekamkan semua ingatan kecil yang sebelumnya aku sepelekan. Menenggelamkan aku dalam memori berbagai rasa dunia bahkan surga, yang tak mudah terlupa. Tak ada letihnya menggulung dan merekam. Tak ada matinya merekam dan menyimpan.

Kamu adalah dunia lainku. Mengajakku berlibur dengan berbagai caramu. Berkeliling seisi otakmu. Menjamah semua pikiranmu. Namun juga memberikanku kunci beribu untuk membukanya. Membuatku menyeleksi, alam mana yang akan aku pijak kali ini.
Dan kali ini, aku pilih alam mimpiku. Bergelut dengan tumpukan batal dan gulingku. Mejauhkanku dari selimut tebal kesayanganku. Memberikanmu ruang untuk berada disampingku, memelukku, dengan imajinasimu. Selamat malam, kamu-ku.