Jumat, 31 Mei 2013

bagaimana?

entah bagaimana aku kemarin, sekarang dan nanti bertahan
ditengah jarak yang membentang
ditengah kesibukan yang mengekang
ditengah perbedaan yang jelas terpampang
katamu sih, santai
tapi untukku itu masih "andai"

kau tahu, ah tidak, belum tentu kau tahu
aku selalu menyukai kehadiranmu
aku nyaman untuk tahu kamu berada di dekatku
aku aman untuk tahu kamu berada di sampingku

aku selalu
dan mungkin terlalu sering
merindukanmu

bagaimana aku-kamu atau kita bertahan?

Selasa, 28 Mei 2013

Ini Puisi (tapi) Cerita Tentang(mu) Kamu

semenjak hari itu, hanya sikap bahasa kitalah yang dapat menjadi cermin
memberikan pandangan seberapa tertariknya kita akan hidup satu sama lain
menerka dan menebak
sudah menjadi aksesoris yang setiap hari melekat
mungkin aku berlebihan
misalnya, dalam mengartikan
sering kali aku kewalahan
sikapmu yang dingin membuatku terbayang rasa penasaran
sering kali jua aku heran
sampai mana kau mampu bertahan

lima ratus dua puluh delapan kilometer membentang
memang, itu adalah jalan aspal yang panjang
bukan "antara" yang dapat dibilang dekat
tapi kita tetap harus mau melihat kenyataan

kau
dan
aku
jauh dalam pandang
dibedakan oleh dua kota menawan
terpisah oleh ratusan kilometer jalan

lalu lalang kendaraan
merah-hijau-kuning-merah
pemandangan sebelah

lampu kota menyoroti tiap kendaraan yang melintas
surabaya-bali-bandung-solo-jakarta
jakarta-jakarta-jakarta
jakarta-jakarta
jakarta
terlalu banyak plat kendaraan dari kotamu melintas
membuatku rindu
membuatku sesak
sayang,
kau tak ada disini
menikmati udara dingin dini hari ini
berdua
           bersama
                        aku
                              sendiri

Sabtu, 25 Mei 2013

Ada Rindu, yang bergerilya

Lalu ada sebuah pertemuan yang amat aku nanti
Menebak-nebak harus berapa kali tenggelam mentari
Menunggu sajak-sajak kata pasti

Gadis kecil diatas bangunan tua
Menggenggam erat sebuah balon merah muda
Tersenyum ceria pada sorot kamera

Aku kembali memikirkan kamu
Menyama-nyamakan si gadis dengan diriku
Sayang namun takut akan kehilangan balonnya, kehilangan kamu

Kala pertemuan yang dinanti telah terlaksana
Dan akhirnya dua mata beradu pandang
Sebuah tanda tanya besar menyerang
Lantas kapankah kau akan pulang
Meninggalkan aku sendirian di kota pelajar
Bercinta pada sebuah rasa yang menyesakkan dada


Rindu bergerilya-

Rabu, 22 Mei 2013

Gaun Lumpur Wanita dan Gereja

Maka berkatalah seorang wanita pada langit, "apakah Tuhan-ku mau aku merasa cukup? Menyudahi apa yang telah Ia pertemukan?". Runtuhlah tanggul kokoh yang ia gunakan untuk menghalangi matanya membanjir. Ia hela nafas dalam-dalam, mencoba menahan airmatanya meluap semua. Mencegah matanya kering. "apakah hati yang Tuhan pertemukan ini lagi-lagi tak diizinkan mencoba? Aku masih mau! Walau tertatih menujunya, Tuhan". 


Duduk tersungkur pada rumput yang berembun, lagi-lagi ia lakoni. Tak perduli dingin udara pagi menjeratnya. Ia tetap disana, sendiri.



Lama, terlalu lama ia terdiam. Tak mengucapkan satu pun kata hingga ia tertidur di atas pulau hijau penuh lumpur. Ia dekapkan kedua tangannya di depan dada, menahan dingin. Susah payah dia bangunkan dirinya sendiri. Melawan lemahnya, melawan egonya. 



Ia duduk, dengan mata berkantung hitam dan membengkak. Rambutnya basah, bekas hujan. Gaun putihnya kotor dimana-mana. Lumpur telah mengambil alih kecantikan gaun putih suci tersebut. Dadanya sesak, merindukan seseorang. Hatinya penuh luka, menantikan kehadiran seorang manusia. Bibirnya yang tipis dengan balutan lipstik warna peach telah pudar. Makin eratlah pelukan tangannya kepada gaun tersebut. Ia tak perduli sedikit pun pada lumpur yang basah itu. Ia remas kuat-kuat kakinya. Ia paksakan berdiri, walau menggigil dan sesekali terjatuh keras.



Lonceng gereja berdentang, suaranya memanggil manusia dimana-mana. Ia naikkan kepalanya yang sedari menunduk, memerhatikan kakinya yang telanjang. Ia lupa dimana dan kapan terakhir kali mengenakan sepatunya. "Tuhan, hati manusia yang akan kau satukan sedang sendiri, biarkan ia sendiri."
Sang wanita berjalan anggun, seperti yang seharusnya ia lakukan. Ia sambut dengan senyum wajah-wajah yang mengkhawatirkannya. Ia gandeng ayahnya, membisikkan kata untuk mengantarkannya sampai di pelataran gereja. Tanpa satu pun kata, mereka jalan perlahan. Melewati manusia-manusia yang penuh dengan mimik terheran-heran. Ia makin erat memegang tangan ayahnya, lalu pintu gereja ramai, oleh seorang pria.

Senin, 13 Mei 2013

Peraduan Cinta Wanita dan Gadis

Dia terlihat seperti wanita yang lain. Sorot matanya tajam. Pipinya tirus menyatu dengan bentuk wajahnya yang bulat telur. Rambutnya yang pendek seleher ia kuncir kuda berantakan. Tak ada sedikit pun poni yang ia tinggalkan untuk menutupi dahinya. 

Dia duduk di teras luar sebuah cafe. Ia memilih meja kecil dengan tiga kursi yang menghadap jalan raya. Lilin yang bergelas, remang-remang memberi cahaya pada senyumannya yang hambar pada seorang gadis. Gadis itu membawakannya buku menu yang sebesar buku tulis biasa. Menawarkan menu spesial untuk makan malam pada hari itu. Si gadis mendengarkan dengan baik tiap kata yang wanita itu ucapkan. Ia tulis sedikit berantakan pada CO yang ia genggam di tangan kiri. Dengan senyum yang ramah ia mengambil kebali buku menu dan berterimakasih. Si gadis pergi, membiarkan si wanita kembali sendiri.

Syal yang melilit lembut pada leher wanita itu sepertinya tidak mampu menghalangi angin malam. Ia rapatkan kembali jaket jins hitam yang ia kenakan. Sebentar-sebentar, ia dekap kedua tangannya di depan dada. Ia tatap lurus ke depan.

Sebotol besar beer dingin menyambutnya, bersamaan dengan senyum ramah si gadis. Ia ucapkan terimakasih sembari menuangkan beer pada gelas kosong. Lalu si wanita kembali diam dan sang gadis hanya dapat berlalu pergi. 

Sang gadis menatap wanita itu dari kejauhan. Dibalik kaca yang membatasi ruang dalam dan teras, si gadis terus menatap setiap gerakan kecil yang wanita itu lakukan. Si gadis berharap dapat menemani sang wanita menenggak minuman beralkhohol tersebut. Menghangatkan tubuh dan melumerkan kekakuan yang tercipta diantara mereka. Tapi tidak, ia tidak bisa. Ia tidak bisa membantu sang wanita menciptakan dentingan gelas yang bertautan. Maka diamlah si gadis. Ia tatap meja kosong di utara, mengalihkan pandangan ke segala arah.

Mata sang gadis berhenti menerawang ke segala arah. Berhenti pada seorang wanita lain yang datang menghampiri wanita berjaket jins hitam. Mereka mengadu pipi dan memeluk satu sama lain. Ia raih ponsel yang ada di sakunya. Ia ketikkan sebuah pesan singkat lalu pergi meninggalkan semuanya. Benar-benar semua hal.

"Jelaslah sudah, aku tidaklah lagi ada disitu, disampingmu, dipikiranmu. Kupikir kau akan mengajakku bercengkrama, memintaku untuk membuat denting gelas walau bukan beer yang berada pada gelasku, namun hanya lemon tea dingin. Dia cantik, dan terlihat lebih mampu menjagamu. Selamat."





note: cerita ini terinspirasi oleh seorang wanita yang selalu datang dan duduk meramaikan sebuah cafe di Yogyakarta. Terimakasih.

Sabtu, 04 Mei 2013

Sang Gadiskusi Hati

Pernah suatu ketika seorang gadis menantang kemampuannya sendiri. Dalam segala hal ia coba, ia belah-belah dan pisah-pisah semua perbedaan membentuk pattern baru yang mungkin asing untuk dirinya sendiri. Ia mencoba bertahan, demi sebuah alasan, demi sebuah fakta yang tak bisa ia hindari. 

Lalu sampai ia mendengar sebuah kata-kata dari seorang pria paruh baya, "Saat kau berjalan dalam ruang gelap, jadilah cahaya yang terang dan menerangi. Jangan justru kamu terlena dan redup akhirnya menjadi satu dengan gelap". Ia ingat, semenit yang lalu tepat ia akan menyerah akan semua tantangan yang tidak ia bayangakan. Tidak lagi kini, ia tersenyum, hampir menangis karenanya. Ia memang tak begitu menyukai pria paruh baya ini, tapi apa ia katakan benar adanya. Tentu saja pria ini sudah pernah berkali-kali tenggelam dalam lautan garam pengalaman. Ia tulis keyakinan dan kepercayaannya pada selembar kecil kertas. Ia pilih tinta warna merah sembari membayangkan mimpinya, ambisinya, yang tak pernah memaksa. 

Malam ini, sang gadis sedang memikirkan yang lain. Memikirkan seorang lelaki yang sekitar lima tahun lebih tua secara umur darinya. Isi otaknya yang misterius selalu menjadi favorit sang gadis. Tak pernah si gadis mampu menerka apa yang ada dalam pikiran lelaki itu. Sangat tidak bisa, selalu sekaligus kadang terlalu out of the box. Sang gadis terkungkung dan menikmati ada dalam tengah-tengah otaknya. Sang gadis jatuh cinta.

Sang gadis terkadang merasa sangat ingin menyambut si lelaki di pelukannya. Kalau perlu, saat si lelaki lelah akan panggung yang digarapnya, si gadis akan memijat lembut tiap jengkal lelahnya. Melemaskan kembali otot yang muak akan keramaian dunia. Menenggelamkan si lelaki dalam syahdu sepi cintanya. Memeluknya hangat dan menenangkan otaknya dari keriuhan yang tak ia harapkan. Sang gadis ingin si lelaki menganggapnya rumah. Si lelaki bisa kembali kapan saja, hatinya terbuka tiap waktu hanya untuk dia.