Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Selasa, 24 Februari 2015

Open My Heart.

                                         


Pukul lima sore di bandara internasional Adisucipto Yogyakarta, seorang pria gagah dengan tampang yang rupawan menghampiriku. Ia berjalan sedikit cepat sambil terus mendorong trolley yang penuh dengan barang bawaan. Mungkin itu buah tangan dari negeri Paman Sam atau mungkin setumpuk kenangan lama yang aku biarkan tersisa walau tinggal maya.

"Hai!". Tangannya melambai cepat ke arahku dan tersenyum merekah seperti orang yang baru pertama kali bertemu dengan kekasihnya setelah lama berkelana.

"Hai, Tom! Sepertinya Amerika sangat ramah kepadamu."
"Hah? Memangnya kenapa?"
"Kau tidak sadar? Kau sekarang terlihat lebih segar dan yaaa makin menawan..."

Dia diam menatap mataku lama dan dalam. Mungkin dia hampir tenggelam di sana atau malah sengaja menyelam untuk menarik aku balik.

"Kau ini! Hahaha."

Seketika jantungku berdegub kencang kala ia mendaratkan tangannya ke kepalaku, dan mengusap-usap rambutku dengan cara lama. Tak puas mendebarkan jantungku, ia kini membuat aliran darahku berhenti karena mendekapku lembut dalam tubuhnya.

"Aku rindu sekali padamu, Laras."

Sebuah kecupan manis berhasil merontokkan seluruh amarahku karena kebodohannya dulu; pergi tanpa pamit dan sempat takkan kembali.

"Lalu, apa kau masih Laras yang dulu?"
"Hehe masih Tom. Hanya sekarang aku mempunyai rumah baru, pintu baru dan halaman baru."
"Kau... membeli sebuah rumah baru?"
"Hahahaha kau ini! Bukan. Bukan itu.."
"Lalu? Emmm... aku tak mengerti.."
"Aku berbicara tentang hatiku Tom..."

Dia hanya diam dan aku lebih diam darinya.

"Dapatkah aku pulang kembali?"
"Tentu..."
"Kalau aku ketuk sekarang, maukah kamu membukanya untukku, lagi?"
"Tergantung."
"Maksudnya?"
"Kau tak akan mencintaiku dengan cara lama, iya kan?", "Seperti, melambungkanku dan lalu meninggalkan aku jauh-jauh dan sempat tak mau kembali."
"Aku..."
"Kalau kau tidak mencintaiku dengan cara yang baru dan hati yang masih sama, maaf aku tidak bisa."
"Laras...aku..."
"Tom, kau tahu hatiku membuncah riang hari ini namun hatiku lebih tahu, esok ia akan mati suri kembali."

Anak kecil dengan balon warna jingga mengalihkan pandangan kami. Ia berjalan mendekat ke arahku lalu memeluk kakiku.

"Mama, kan Rasla udah request tadi jangan lama-lama...". Wajahnya berkerut-kerut sambil menahan tangis di bibirnya. Aku menunduk dan mencium keningnya, "Bentar ya Rasla cantik... Mama lima menit lagi deh nyusul ke mobil."
"Bener ya. Kalo mama bohong?"
"Emmm Rasla masih suka ice cream coklat kan?"
"Asiikkk! Okay Mom!", Rasla mencium pipiku lalu berlari kecil menuju mobil yang ku parkir tak jauh dari tempatku berdiri.

"Kenapa hanya diam, Tom?"
Aku melanjutkan..
"Umurnya besok April sudah 5 tahun. Kurasa kau dan dia harus berkenalan secepatnya. Dan segeralah membuat keputusan, sadarkan dirimu sendiri apa yang selama ini kau tinggalkan. Siapa saja yang sudah kau tinggalkan. Tentu saja sebelum kau berkelana kembali dan meninggalkan kami."
"Laras, kau tak pernah bilang tentang semua ini."
"Aku pulang, Tom. Sisanya kurasa kau sudah bisa menjawab sendiri. Bye!", "eh... see you?"

Aku pun melangkah pergi.

Jumat, 19 September 2014

Sepatu Boots Merahku

Seorang pria paruh baya lewat tepat di depanku. Entah sadar atau tidak, ia sedang menutupi pandangan mata kameraku untuk merekam langit siang ini. Sosoknya tak terlalu kekar namun ia tak jua kurus. Badannya diselimuti kulit berwarna coklat gelap dengan berhiaskan keringat yang membuat kulitnya nampak bersinar. Wajahnya terlihat masih rupawan walau banyak kerut membaluti, kerut yang bercerita tentang kehidupannya selama di bumi. Kepalanya yang botak di depan membuat mataku sedikit silau dan berimajinasi tentang sosok pria tangguh berpikir ala professor.

Aku matikan kameraku sejenak sambil duduk diatas rongsokan televisi yang tergeletak disana. Wajah tua itu mencari-cari sesuatu, matanya menelisik kesana kemari. Dengan lembut dan mata sedikit menyipit ia lambaikan tangan ke arah anak laki-laki yang sedang bermain dengan tumpukan botol bekas.

"Jo, Bejo! Ayo bali! Bapak sudah dapat yang kamu mau Jo!"
"Iya to pak? Asiiikkk!!"

Anak laki-laki itu dengan segera melempar semua mainan botol bekasnya. Berlari kencang diatas timbunan sampah yang sedikit menyulitkannya.

"Mana pak pesenanku?", wajahnya girang dan berbinar-binar menunggu.
"Nyoooh kiiii. Koe ki cen bejo tenan kok!". Pria itu tertawa sembari mengambil sesuatu di balik kaos lusuh warna putih yang ia kenakan. Sebuah sepatu boots yang sedikit kusam namun masih bagus berwarna merah menggemparkan tempat pembuangan akhir itu. Si anak laki-laki berteriak senang dengan kencang dan berlari kesana kemari dan berakhir pada gendongan di pundak sang ayah.

"Pak, terimakasih ya! Aku sueeeneng tenan loh pak! Aku janji aku bakal kerjo sing ruajin, mbantu bapak ngumpulke botol bekas wes!"

Ayahnya tertawa terbahak-bahak bersama sang anak dan melangkah pergi, meninggalkan aku yang sibuk sendiri; entah sadar atau tidak, aku menangkap mereka dalam kameraku.

Ternyata, banyak hal yang tak aku ketahui. Seperti, betapa berartinya sepatu boots bekas berwarna merah yang sudah aku buang kemarin hari.

Jumat, 05 April 2013

'Hai Maret' yang Terlambat


Senja kala itu tak seindah yang sudah-sudah. Matahari bersembunyi dibalik senyummu yang coba kuingat kembali. Mendung turun merangkak ke bumi dan menggelapkan senja. Senja tak pergi bersama si jingga. Kasian si jingga. Aku menatap keluar jendela masih dengan secangkir coklat panas, masih dengan minuman yang kamu suka. Entahlah mengapa sore ini lagi-lagi aku mengingatmu. Menerawang jauh ke kotamu dibalik jendela kamarku yang berembun. Ini Februari akhir yang cukup manis untuk merasa miris.

Aku masih menunggu suaramu yang nyaring di teleponku. Menanti dan terus menanti sedetik dua detik suara yang manis. Dan aku lagi-lagi terbuai dalam kenangan tentangmu. Aku yakin kita menatap atap yang sama namun dengan cara yang berbeda. Kemana kamu? Sudah hampir dua bulan berjalan, kau masih saja tinggal dalam rumah yang bernama diam.
"Kau sudah hampir satu jam hanya berdiri saja menatap hujan disitu."
"Eh mama..."
"Kano, kalau kau memang lelah menanti, lalu jemputlah dia nak."
"Mah..."
"Mama tahu perasaan dia. Dia juga sedang bingung. Percayalah mama, kalau kau datang ke kotanya, dia akan lebih mantab memutuskan."
"Aku sudah terlanjur berkata."
"Tak apa kalau kamu memang harus menjilat ludah sendiri. Lihatlah kamu pada kaca itu, itu bukan Kanoditya yang Mama kenal."
"Aku..."
"Kamu merindukannya, iya Mama tahu. Tapi kamu sudah terlanjur bilang tak akan menghubunginya hingga ia mendapatkan keputusan. Tapi, kalau Mama jadi dia, buat apa memperjuangkan kamu yang bahkan terlalu gengsi untuk mengucapkan rindu padanya?"

Aku hanya diam selagi Mama menuturkan kata-kata yang menyejukkan hati di depan pintu kamar. Aku letakkan cangkir yang masih berisi coklat dingin. Segera aku buka lemari dan aku tarik ransel hitam yang lama aku simpan, masih untung tak berjamur.

"Kamu mau kemana?"
"Jogja Mah."
"Kamu yakin? Naik apa?"
"Kereta, sekarang masih jam empat, masih ada kereta jam 5 Mah."
"Kamu bisa pergi besok pagi nak, kenapa harus terburu-buru?" Mamah mendekatiku dan duduk di kasur membantuku melipat baju-baju yang aku lemparkan tak teratur dalam koper.
"Karena sekarang akhir Februari."
"Lalu kenapa?"
"Aku berjanji padanya akan berhenti menunggu hingga awal Maret, lalu dia bisa benar-benar melupakan semuanya."
"Cinta mengenal batas waktu?"
"Tenggat mah, bukan waktu. Limit. Dan aku sedang mengejar si tenggat agar aku tak lebih lama lagi kehilangan dia." 

Aku bersimpuh di kaki Mama dan menggenggam tangannya.
"Mah, doakan aku. Pastikan mama terus memberkatiku. Aku jera menyiksa batin. Sudah cukup perbedaan kota dan cara kami memuji Tuhan datang sebagai cobaan."
"Tentu nak. Yasudah, kamu berhati-hatilah. Jangan terlalu emosi dalam perjalanan. Pastikan, perjalananmu nanti juga akan membawa suatu pembelajaran."
"Iya mah."

Aku tenteng koper dan beranjak pergi, aku tahu mamah sudah menyiapkan taksi. Aku langkahkan kaki sekali lagi. Aku tepat berada di luar sekarang, aku harus meninggalkan Jakarta dan menjemput cintaku di Jogja. Payung merah yang dulu ia berikan masih tersimpan rapi dan kini aku gunakan lagi. Aku akan mengembalikan semuanya, Senja. Kukembalikan semuanya! Kenangan kita, payung merahmu dan hatimu yang aku simpan dalam belenggu.
"Kano, tunggu"
"Ya mah?"
"Bawa serta kalung salib ini untuk menjagamu"
Aku raih kalung salib itu, aku simpan dalam genggaman dan segera menutup pintu taksi. Aku lambaikan tanganku kepada dia yang telah melahirkanku dan memberikan restunya yang tulus untuk mengerjar bahagiaku. Senja, aku dalam perjalanan, pastikan kamu menungguku dengan sabar, tak lama lagi Senja...tak lama.

***

Hai Maret! Kau telah datang pada kami disini. Menjuntaikan semua rangkaian manis yang tersusun rapi di hati. Kamu menjadi saksi, aku mampu membuktikan setia yang terjaga bahkan hingga...
Oh iya! Hai Senja! Kau terlihat sangat cantik hari ini. Senyum bahagiamu, masih sama seperti dulu. Senyum yang manis dan mengandung candu. Tapi kamu sedari tadi hanya diam. Memejamkan mata dan menghayati rasa. Kamu membiarkan aku berlama-lama duduk disini dan menatapmu lekat. Semoga aku tak dimarahi oleh malaikat.
"Senja, maafkan aku... Kau pasti sangat-sangat lelah menunggu."
 
"Senja, jangan hanya diam. Tolong ucapkan sesuatu padaku."
Aku diam, lalu mencoba dengan keras untuk melanjutkan...

"Senja! Bicaralah padaku!" aku peluk nisanmu sembari menahan isak tangisku.
"Senja! Lihatlah awan disana! Indah! Senja ini indah! Tapi aku lebih menyukaimu, Senja! Aku lebih memilihmu!"
"Senja! Pukul saja punggungku sama seperti dulu, saat kamu merasa kecewa padaku. Tampar aku kalau perlu, walau kau pernah melakukan hal itu. Senja! Marahlah se-marah maumu. Tapi satu... jangan tinggalkan aku Senja..."

Tak terasa peluh keringat dan tetes airmata hampir membasahi tempat istirahat terakhirnya. Segera aku keringkan tetes itu dengan kaos putihku yang lusuh meratapi nisanmu. Pada akhirnya aku kehilangan Senja selamanya, aku kehilanganmu. Dan aku berhasil menang dengan kecewaku, berkat ego konyolku. Aku kalah telak, Senja. 

Aku menjauh pergi. Menentang tas punggung yang berisi rencana pertemuan kita. Ternyata kau lebih mengejutkan dari yang aku duga, Senja. Iya, aku kalah telak. Kutinggalkan semua jiwa disana, suatu saat entah kapan akan ku jemput. Dengan kereta kencana, dengan malaikat di samping kiri dan kanan. Kan kubawa kamu jua kesana. Tunggu aku, Senja.

Jumat, 22 Maret 2013

Instrumen Penyaji Imajinasi


Sayup-sayup kudengarkan lagu instrument itu. Begitu romantis dan mematikan segala hal indah di dunia untuk sementara. Memancing air mataku untuk menunjukkan eksistensinya yang tak diragukan lagi. Membawaku melayang dan bebas untuk terbang. Membiarkanku terbuai dengan semua alunannya. Dan mendorongku untuk berani berangan-angan dengan bebas. Mengajakku untuk menyelam lebih dalam. Menggandengku menuju imajinasi yang liar tentang dia. Iya, liar! Aku lagi dan lagi, melamun, menyusun perlahan semua pertanyaan. Berharap suatu hari nanti, semua jawaban akan aku temukan, entah bagaimana caranya.

Dia! Siapa dia berani mengganggu pikiranku? Meracuni otakku dengan hanya dia dan dia. Mengasah otakku untuk lebih tajam dan peka tentang dia. Menghujaniku dengan berjuta-juta rasa penasaran. Siapa dia?!
Dan dia! Mengapa dia? Kenapa harus dia yang merangkak di hari-hariku? Perlahan tapi pasti meningkatkan intensitasnya untuk mencampuri setiap tindakanku. Dikit-dikit dia! Lagi-lagi ada dia!  Disetiap obrolan kecil terselip bayangan tentangnya. Dia! Mengapa harus dia?

Tuhan, makhluk seperti apakah dia? Bagaimana kau menciptakan hatinya yang kaya? Bagaimana kau menciptakan ekspresinya yang terbatas namun perlahan mampu berkembang? Bagaimana kau menciptakan fisiknya? Bagaimana kau menciptakan lingkungan keluarganya? Bagaimana kau menciptakan lingkungan sosialnya? Bagaimana? Bagaimana? Dan bagaimana? Selalu saja dia! Yang membuatku bertanya-tanya dan sering bercengkrama dengan Tuhan. Aku menjadi teramat rakus untuk mengetahui tentang dia. Ini akibat dari ulahmu hadir disetiap malamku, tahukah kamu?

Tuhan, apa kau menciptakan hatinya dari sebongkah es yang kau ambil dari planet Mars? Mungkinkah Tuhan? Dia hangat, amat hangat. Namun tak jarang dia juga menjadi teramat dingin. Hatinya Tuhan! Hatinya! Hati yang begitu unik, yang membentuk pribadinya seperti barang antik. Hatinya Tuhan! Yang membuatku jatuh simpati dan seperti disegarkan kembali. Membuang berkas-berkas lama yang membosankan. Sarang laba-laba yang menjadi rumah kemonotonan seperti disingkirkan, jauh! dan jauh! Dia, memperbaharui hari-hariku 3 bulan belakangan ini. Yah, walaupun malam dan pagi yang larut menjadi teman kami hampir setiap hari, aku tak merasa keberatan. Dan ya! Walaupun aku harus rela menambah kantung mata yang berubah warna. Semua hal itu menjadi membahagiakan, ya…karena dia!

Nah Tuhan! Ini hal yang membuatku mati penasaran. Terbaring koma dalam keheranan yang memuncak. Bagaimana dia bisa begitu ‘tanpa ekspresi’? Maksudku, bagaimana dia bisa menahan ekspresi-ekspresi yang sering aku ungkapkan? Seperti tertawa terbahak-bahak, dan… ah! Susah Tuhan, terlalu sudah dia untuk dituliskan. Terlalu rumit untuk digambarkan. Padahal, dia cukup sederhana dalam segala hal, menurutku. Lihat? Lagi-lagi aku tak mampu menyembunyikan rasa gemasku akan kecuekannya. Tapi…dia membuat aku koma. Lalu…bagaimana?

Aku terkadang terlumat dalam lamunan. Membayangkan seperti apa Tuhan menciptakan fisiknya. Apakah dia seorang pria yang perawakannya kurus? Dengan rambut yang sedikit ikal dan dibiarkan panjang menyentuh daun telinga. Lalu, seberapa tinggi dia? Apakah…dia melebihi tinggiku? Atau justru dia berada di bawahku? Mungkinkah dia…mempunyai tinggi badan yang sama denganku? Bagaimana dengan warna kulitnya? Perasaanku bilang kalau dia memiliki kulit berwarna kuning langsat, lebih cerah daripada aku. Benarkah? Mari kita bicarakan area wajah! Aku benci matanya, sungguh. Di dalam gambar kamera hitam putih itu, yang nampak amat menantang adalah matanya. Matanya yang tanpa ekspresi! Tuhan, sungguh dia menyiksa hatiku. Membuatnya kelelahan karena setiap hari harus berloncatan menatap matanya. Lihat! Lihatlah garis tulang pipinya, sedikit tirus, iya kan? Lalu…bagaimana dengan garis bibirnya? Melengkung ke atas atau ke bawah? Ah sudah-sudah! Makin aku merinci dia, makin aku tak dapat tidur nyenyak malam ini.
Jadi, dia anak pertama dari dua bersaudara. Dia memiliki adik yang seumuran denganku tapi sudah mulai masuk bangku kuliah semester pertama. Tak banyak yang aku ketahui tentang lingkungan keluarganya. Karena, ya memang dia bukan tipe yang mudah saja terbuka. Semua hal bertahap dan aku tak ingin memaksakan. Setiap pertanyaan yang tak terjawab adalah peringatan yang berkata, ‘belum, belum waktunya kamu tahu, nanti’. Jadi, ya aku maklumi saja. Tapi sungguh, aku bahagia diukur dari segi apapun aku mengenalnya.

Dia! Lagi-lagi pintar membuatku merasa bahagia. Dia! Malam ini menempelkan sejuta senyum zombie terbaikku pada timeline perkenalan kami. Ah dia itu memang! Teramat menggemaskan. Selalu memancing untuk dihujani rasa sebal karena sifatnya yang-iya-mematikan.

Dia, selamat pagi!

Inspired by : Kenny G-Innocence

Senin, 18 Maret 2013

Lonceng Kecil



Wanita itu duduk sendiri di bangku yang terbuat dari semen. Suasana taman peristirahatan yang sepi semakin membuatnya kalut. Semakin tenang ia akan semakin terhanyut, terlarut. Angin kecil menggerakkan lonceng perak kecil yang sedari tadi ia gantungkan di jari manis. Rambutnya yang lurus sebahu tertiup mesra oleh udara yang bergerak dan menutupi sebagian wajahnya. Pipinya basah, dihujani air mata yang sudah ia coba agar berhenti, namun ia gagal. Kedua bibirnya terlihat dipaksakan mengatup, memperjelas getaran yang ia tahan. Ia menyingkirkan rambut yang menutupi wajahnya kemudian mengambil nafas dalam-dalam. Sangat terlihat ia berusaha untuk benar-benar diam. Ia tarik lembar putih tipis terakhir di atas bangku. Ia seka air mata yang melunturkan bedak tipisnya.
“Maria…”,seorang lelaki paruh baya mendekatinya, mengusap lembut bahunya yang bergetar menahan tangis.
“Kau masih perduli juga ternyata!”,sahut si wanita.
“Tentu saja aku perduli, kalau tidak aku…”
“Perduli katamu?! Kemana saja kamu selama ini?!!!”
“Aku sama sekali tidak tahu jika…”
“Memang apa yang kamu tau?? Ha!! Selain menyakiti hati yang mencintaimu?!!”
“Maria, sungguh aku minta maaf. Aku berharap kamu mau memberiku…”
“Apa?! Kesempatan? Yang macam apa?!! Semua macam kesempatan sudah kau dapatkan! Sudah kami tawarkan! Tidakkah kau sadar?!!”
“Aku…sungguh menyesal sudah…”
“Ya! Hiduplah terus dalam penyesalanmu! Tenang saja, kau tak sendiri.”
“Maksudmu? Maria, kamu tidak…”
“Aku juga menyesal, telah memberikanmu kepercayaan untuk menjadi pengganti sosok ayah bagiku dan sosok suami bagi ibuku. Salahku! Percaya pada laki-laki sepertimu!”
Wanita itu pergi, meninggalkan pria yang membawa seikat mawar putih sendiri. Dia lari melewati gerbang pemakaman dengan hati hancur dan penuh penyesalan. Ia menyesal karena telah mengijinkan lelaki yang jauh lebih muda disbanding ibunya itu masuk ke kehidupan mereka. Pria bejat yang akhirnya membuat ibunya harus dirawat di rumah sakit jiwa.
Wanita it uterus berjalan hingga melewati tengah jembatan. Ia tatap air yang lebih tenang dari keadaannya sekarang. Ia semakin benci pada wanita yang tergambar di permukaan air sungai itu. Ia tatap lonceng kecilnya yang sedari tadi bergemerincing. Ia tak kuat mengingat cerita ayah ibunya. Ia terhanyut dalam kisah romantis orangtuanya. Bagi orangtuanya, kehidupan sama seperti lonceng. Hidup akan indah jika ada gejolak masalah yang menggetarkan hidup yang datar, seperti lonceng yang akan terlihat lebih indah saat suara nyaringnya muncul karena getaran dan gerakan. Semua hal akan indah jika ada perubahan.
                Untuk terakhir kalinya ia kecup lembut lonceng itu, ia menatapnya dan melemparkannya ke sungai. Dia tak pantas memiliki hal yang indah, batinnya. Ia pun melanjutkan langkahnya ke tengah keramaian kota. Mencoba mengubur masa lalunya, walau suara lonceng terus berdengung di telinganya.

 ♥  ♥

Lelaki itu menggeram dan menahan emosinya. Ia letakkan mawar putih di atas tanah merah yang masih basah. Ia renggangkan otot-ototnya yang kaku karena menahan jutaan emosi yang menerpa. Ia peluk batu nisan yang bertengger di atas gundukan tanah merah.
“Kanya…maaf aku tidak bisa menjadi suami yang baik untukmu. Entah apa maksud Tuhan mempertemukan kita. Maaf kehadiranku telah menghancurkan keluarga kecilmu. Tapi kau pernah berkata padaku, jika sesakit apapun kejujuran itu, kita harus berani mengungkapkannya. Dan, iya Kanya…aku menyayangi Maria! Kan, seharusnya kala itu aku tak jujur padamu, ya? Tapi sudah terlambat semua.”
                Tanpa lelaki itu sadari, air matanya sudah mengalir pada batu nisan, membasahinya, menambah beban wanita yang bersemayam di dalamnya. Ia pun berdiri kemudian melihat sekeliling yang tetap saja sepi. Hanya ada seorang pengurus makam yang sedang beristirahat di bawah pohon kamboja, sibuk dengan makan siangnya. Dengan langkah yang berat ia paksa kakinya beranjak. Terus melangkah dan berhenti di pinggir sungai yang jernih. Ia gulung lengan bajunya dan berjongkok mendekat. Ia tangkupkan kedua tangannya untuk mengambil air lalu mengusapkannya pada wajah yang sembab. Ia melongok ke permukaan air, melihat wajahnya yang semakin ia benci, ia jijik pada orang itu. Matanya terpaut pada benda kecil perak yang tersangkut di dasar sungai. Ia sangat mengenal benda itu. Ia melihat ke sekitar dan mengamati lagi benda itu.
“Maria…”

Jumat, 22 Februari 2013

Aku dan Malaikat Lift



Aku masih diam. Melihat lurus kedepan tanpa kedipan selama beberapa menit. Menatap lekat pada pintu besi yang berdiri kokoh sedari tadi aku berdiri. Aku terdiam dalam kengerian yang dihasilkan  imajinasi bayanganku sendiri. Aku menakut-nakuti diriku sendiri. Aku mencoba mencari seseorang untuk menemani. Tapi lagi-lagi aku harus menghela nafas kecewa karena aku harus benar-benar sendiri. Berharap Tuhan memberikan sedikit kebaikan, aku maju satu langkah ke depan. Karena Tuhan juga telah menunjukkan aku satu alasan. Dia, iya dia yang datang bagai sentilan kecil dari belakang. Tak mau tampak, tak mau menemani. Hanya sentilan kecil.
            Jika “n” adalah tempat aku berdiri memulai atau sama dengan nol, “m” adalah banyak langkah aku menuju “X” yaitu akhir dari langkahku ke depan. Maka X=n+m. Dan X merupakan hasil pencapaian keberanianku menghadapi dunia dan kehidupan yang “keras”. Maka  X sekaligus menjadi awal mula aku bersiap untuk berada di atas, di bawah atau malah terjebak. X sebagai tolak ukur ketahananku dihempas dan dilepas. Sebagai tempat aku menangis, bersedih, terdiam, tersenyum bahkan tertawa. X adalah kotak kecil dari besi yang akhir-akhir ini sering menguntit di belakangku. X adalah lift.
            Pintu itu tidak menunjukkan kehidupan sama sekali. Tak ada yang datang maupun pergi melewati. Aku penasaran, bagaimana bisa dia begitu tenang? Menambah hawa dingin yang memeluk tubuhku saja. Menambah jelas bahwa aku sedang sendirian dengan sebuah ketakutan yang mungkin cukup besar. Angin baru saja berlari kecil di sekitarku, saat Tuhan mengirimkan malaikat yang tak banyak bicara. Jelas terasa hangat saat malaikat itu datang dan menyelimuti tubuhku dengan kata-kata indah yang terangkai manis. Tapi tetap saja, dia tak banyak bicara. Kata-katanya besar dan cukup tebal untuk aku gunakan sendiri. Aku hanya tersenyum kecil kepadanya dan berharap ia tak melihat wajahku yang pucat seperti tanpa daya. Iya, hanya seperti tanpa daya. Karena aku tahu aku punya daya hanya saja aku tak tahu dimana. Kupikir dia akan melihatku tersenyum berterima kasih. Jauh dari harapan. Dia bahkan tak bergeming setelah menyelimutiku. Dia diam dan menjadi setenang si lift.
            Aku masih diam. Aku masih berdiri di tempat yang sama,n+1. Masih dengan selimut yang malaikat itu beri. Malaikat itu pun masih saja terus menemani. Aku pandangi dia dari atas ke bawah, lalu dari bawah ke atas. Mungkin jika ia tahu aku memandanginya, ia akan berkata padaku, “Kau sedang mengamati atau menelanjangiku?”. Tatapan mata ini begitu tajam dan teliti. Mencari tahu siapakah malaikat yang berdiri di sampingku ini. Setiap detail kecil yang bisa aku cermati pasti akan aku pelototi hingga beberapa menit. Dan hal itu terus berulang setiap 19 menit sekali.
            Semua hal yang aku lakukan kepada malaikat tersebut tak nampak membuatnya risih. Aku semakin penasaran. Entah ini sudah 19 menit yang keberapa. Belum banyak yang aku dapatkan dari pengamatan sekaligus penelanjangan identitas diri ini. Ah Tuhan memang paling mengerti isi hatiku! Tiba-tiba saja angin jahil memutari tubuhnya. Menerbangkan kertas usang kecil yang terlipat. Dengan sigap aku raih kertas itu. Aku tak perlu ijin kepadanya, toh dia tak menunjukkan reaksi apapun saat kertas yang keluar dari saku kemejanya terbang ke arahku.
            Saat membuka lipatan kertas usang tersebut, malaikat itu menggenggam tangan kananku. Dia menarikku sehingga aku berjalan satu langkah lebih dekat lagi dengan pintu besi. Aku sedikit terkejut dengan tindakannya. Bukan karena dia menyakiti tanganku. Tapi karena dia berhasil membuatku melangkah tanpa pemberontakan. Dan bahkan dia hanya memerlukan tenaga minimal untuk melakukan hal tersebut. Membuatku sedikit lupa ingatan tentang imajinasi ngeri akan ruangan besi dengan dua opportunities. Aku tatap wajahnya. Tidak dari depan, mana mungkin aku berani. Hanya dari samping dan melirik kecil. Eh tidak, terkadang aku juga melirik besar sehingga mungkin akan lebih mirip dengan melongok ke samping kanan. Dia terlihat sangat-sangat tidak keberatan. Ingin sekali rasanya aku menonjok dia dengan sejuta omelan. Tapi kesunyian ini mengurungkan niat usilku itu.
            Hampir saja aku lupa dengan si kertas usang karena terlalu banyak melongok si malaikat. Aku buka perlahan namun dengan perasaan yang jelas tidak sabar…(membaca,diam,tersenyum kecil, melipat kertas kembali,menyimpannya)
            Hanya nama. Dan itu adalah nama yang begitu berarti untuk keadaan seperti ini. Tuhan mau aku memecah keheningan dengan memanggil namanya mungkin? Aku berada di n+2. Entah harus berapa “m” lagi agar aku sampai ke X.
            Aku buka mulutku perlahan dan pelan-pelan memanggil nama malaikat itu. Sangat pelan hingga mungkin angin malas membawa pesan itu agar terdengar oleh si malaikat. Tapi tidak. Malaikat itu mengalihkan pandangannya dari pintu besi yang mungkin sudah mati. Mati karena ditatap tanpa henti oleh malaikat ini. Aku yakin. Iya, aku yakin pintu itu ketakutan sama seperti aku yang ketakutan karenanya. Aku tertawa kecil dalam hati, menertawai si lift. Tapi tidak lama-lama, aku tak mau terlarut dan berkutat pada pintu besi. Aku kembali dalam tatapan hangat sang malaikat. Dan dia masih melihat mataku dengan tepat.
(Depapepe with Kazamidori is now playing)
            Entah bagaimana waktu, langkah dan angin menuntunku dan malaikat tersebut di X. Iya, aku sudah berada dalam ruang besi ini. Hangat masih menjalari tubuh kami. Malaikat itu tanpa ragu dan dengan sadar masih melingkarkan tangannya pada tubuhku, begitu pun aku. Ada rasa ketidakrelaan untuk melepas tangan mungilku dari tubuhnya. Dan ada rasa keyakinan dan kemantapan yang aku rasakan dari sang malaikat. Dia begitu yakin berada di dalam ruang besi ini. Seperti tak takut dan sudah biasa jika harus naik-turun mengikuti kata Tuhan. Sudah biasa jika kadang bosan menjemput dengan segudang godaan. Menawarkan “penyerahan diri” atas keterjebakan. Dia, sang malaikat, tak bergeming dan khawatir. Membuatku berani dan lebih berani bahkan jika aku harus sendiri lagi nantinya.
            Aku masih memeluknya, menenggelamkan kepalaku di dadanya. Kadang aku terlelap dalam peluknya dan kembali lagi membuka mata dan masih saja dalam peluknya. Dan dia? Dia hanya memelukku. Sepintar mungkin mengatur detak jantungnya agar tak membangungkanku saat aku tertidur. Sebisa mungkin menguatkan tumpuan kakinya untuk menahan semua beban yang aku berikan. Sepintar mungkin mengatur kekuatan tangannya untuk memelukku. Kadang aku bisa merasakan dia kelelahan menahanku saat aku tertidur. Tapi dia tak pernah mengeluh di depanku. Walau kadang pelukannya harus merenggang, ia tak akan lama-lama membiarkanku merasakan perubahan.
            Kami belum sampai tujuan yang sebenarnya. Kami masih memeluk satu sama lain. Dan mungkin kami sedang sama-sama berdoa kepada Tuhan untuk memiliki satu tujuan, yang sama tentunya.
(kembali ke depan pintu besi yang sepi)

Aku dan Malaikat Lift, tak nampak dan tak menemani.
Aku sendiri adalah apa yang terlihat
Dan aku bersamanya adalah apa yang aku rasakan
Ketjil : maaf ya yosi jelek gambarnya. anggep aja lift. *malu


Selasa, 19 Februari 2013

Cerita Dalam Satu Malam


Malam itu Bintang kembali mengganjal pipinya dengan kepalan jemari tangan kiri. Tidak mengantuk, ia mencari inspirasi seperti biasanya. Tak hanya ditemani malam,  bahkan pagi pun ikut perduli dengan apa yang ia lakukan.

Tiba-tiba Bintang sesak dihadapan laptop kesayangannya. Ia tak kuasa menahan rasa gemas karana membela sang tokoh dalam lift yang Layang tulis. Ia memutar otak berkali-kali. Menyaring kata demi kata agar ia tak salah membela sang tokoh. Tiap karakter yang menyusun kalimat argument dan pembelaan si Bintang bagai pisau bermata dua. Kalau ia tepat atau mendekati benar bisa saja Layang mempertimbangkan nasib sang tokoh yang Layang tulis. Tapi kalau ia meleset, ia akan melukai dirinya sendiri dengan rasa malu yang mungkin mampu membakar otak. Tak hanya melukai dirinya sendiri, ia akan tambah meyakinkan Layang kalau nasib sang tokoh di lift memang pantas demikian adanya.

Semuanya berjalan alot, Layang tak begitu saja menerima dan membenarkan apa yang Bintang katakan. Layang  justru semakin membuat gila si Bintang walau hanya dengan beberapa suku kata. Bintang merasa seperti sedang diuji. Nyalinya hampir benar-benar menciut saat ia mampu meraih kembali kehidupan nyata dan keluar dari emosi cerita yang Layang tulis. Sesak. Tiba-tiba sesak yang biasanya Bintang rasakan karena penyakit lama pun berubah alasan. Sesak datang karena Bintang merasakan hawa lift yang terasa begitu sempit dan semakin sempit seiring berjalannya waktu. Bintang makin tak mampu meneruskan. Tapi ia tak mau menyerah, ia terus menjungkir-balikkan otak agar ia dapat menemukan kelemahan lift.

Emosi. Kali ini Bintang merasa emosi yang lebih dari gemas. Siapa yang membicarakan cinta? Batin Bintang. Daritadi ia hanya berkutat pada tiap kata yang Layang sampaikan. Berusaha hampir mati-matian agar nasib sang tokoh bisa sedikit beruntung. Setidaknya jangan tewas ditempat, pinta Bintang. Berikan sang tokoh alasan untuk tersenyum senang, bukan senyum miris. Senyum yang ditujukan untuk Sang Maha Adil karena mampu melihat kembali cahaya dan udara kebebasaan.

Lega. Bintang mulai menarik nafas panjang kembali dan menghebuskannya ke depan layar laptop. Sedikit embun di layar membuat Bintang tersadar bahwa pagi sudah menemaninya sejak 60 menit yang lalu. Memang dingin, tapi tertutupi hangatnya bayangan udara di lift. Layang memberikan Bintang “lega” karena sang tokoh nantinya akan tewas di tempat namun sembari tersenyum, senyum senang. Bintang penasaran, berapa lama waktu yang sang tokoh dapatkan untuk tersenyum sebelum akhirnya tewas di tempat? Apakah cukup untuk berkata maaf pada Tuhan? Apakah cukup untuk menitipkan salam kepada orang-orang yang ia kasihi? Apakah pinta Bintang itu terlalu duniawi? Entahlah, Bintang belum menanyakan pada Layang.

Bintang kembali berpikir namun dengan perasaan yang lebih tenang. Ia sedikit bingung. Memangnya siapakah para tokoh dalam kisah yang Layang tuliskan? Kenapa Bintang repot-repot memperjuangkan nasib mereka? Sang karyawan kantor yang pemabuk, namun tak sedang mabuk saat terjebak di lift. Ia tewas di tempat dalam kebosanan. Kebosanan karena berusaha untuk keluar dari lift itu. Kasihan. Bahkan seseorang yang berusaha untuk hidupnya dengan keras saja tak diberi kesempatan untuk hidup lebih lama oleh Layang. Sadis. Lalu, sang wanita karir yang kata Layang ia adalah seorang wanita yang spesial. Mempunyai modal untuk keluar dari lift tersebut, pisau lipat dan handphone. Tapi tetap saja, Layang tidak memberikan ia hidup. Bahkan Bintang bingung, kenapa Layang seperti tak ingin memberikan kesan jika mereka dapat keluar bersama-sama? Apakah karena Layang takut nantinya kalau hidup mereka akan jatuh cinta? Seperti tergambar di atas air. Bintang tahu, Layang memang tak seperti yang lainnya. Bintang diam namun tetap berusaha mengobrol dengan Layang.

Malam sudah terlarut. Bintang dan Layang larut dalam malam yang makin terhanyut waktu. Pagi menyambut sedari tadi. Namun antara Bintang atau pun Layang seperti perduli tapi tidak perduli. Saling mengingatkan dan saling membayangi. Bintang merasakan atom menggantung dan menggelayuti matanya namun ada perasaan ingin sekali menemani Layang dalam hati. Jadi Bintang bertahan dengan keras hati.

Layang kembali menemukan kekuatan dan kelemahan si lift berkat si Bintang. Ada sedikit perasaan tersipu malu karna Layang mengatakan hal tersebut. Bintang seperti merasakan ada suntikan materi Planet Venus yang membuat ia merasa terang dan lebih terang dari mentari pagi kala itu. Bintang tetap mencoba kalem dan diam.

Pagi cepat sekali berlari menjemput Bintang dan Layang. Akhirnya Layang menutup percakapan dengan “Selamat pagi lagi Bintang”. Off.

Senin, 21 Januari 2013

Matahari Desembruari


Matahari Desembruari
Yang Pertama
            Obrolan kecil dan hangat dari pagi membuka mata dan malam saat mengistirahatkan mata serta hati. Tapi hatiku tak berhenti untuk selalu mengingat canda dan obrolan yang kita ciptakan hari demi hari. Namun hatiku tak mati, hatiku terus berdetak untuk menghidupkan apa yang telah kita lalui. Kamu, seseorang yang mampir di mimpiku dalam beberapa bulan ini. Kamu, seorang yang membuatku lebih perduli untuk membagi semangat dan hari. Kamu, seorang yang membuatku lebih peka terhadap sikap dan kelakuaan orang lain. Kamu, yang mengajarkanku untuk selalu berusaha menjadi lebih baik hari demi hari. Kamu, seorang yang mengaturku agar menjadi kuat dan tidak bersandar pada si manja. Dan kamu, seorang yang bermulut besar dan otoriter. Kamu, seorang yang dapat mengajari namun tak dapat mengajarkan pada diri sendiri. Kamu, seseorang yang melakukan sesuatu dengan setengah hati. Kamu, seseorang yang jarang menuntaskan apa yang telah kau mulai. Kamu, adalah pembuat bara api yang akan menarik orang-orang untuk mengetahui, tentang kita. Dan aku, adalah seorang biasa yang selalu berusaha sabar, memaklumi serta mendinginkan bara api yang kau buat. Aku, adalah seorang yang tutup mata, telinga namun tak hati demi kamu.
            Masih terekam jelas, obrolan kita mengenai film Cinta Tapi Beda yang disutradari oleh Hanung B. Film tersebut  dituliskan oleh Dwitasari dengan apik dan simple. Film tersebut, banyak sedikit mewakili kita, yang berbeda. Panjang jika harus aku ungkapkan bagaimana kita bisa sejauh ini. Yang jelas jalan panjang tersebut bukanlah jalan yang tanpa batu, kerikil, lubang maupun genangan. Jalan tersebut lurus namun penuh tantangan sama seperti jalan yang harus dilalui pasangan dalam film Cinta Tapi Beda.
            Hampir saja bosan dan emosi menggerogotiku karena sikapmu beberapa hari sebelum Cinta Tapi Beda tayang perdana. Sikapmu itu sangatlah bukan kamu, seorang Robertus Ciko Wicaksono yang aku kenal. Memang wajar jika kamu menyebalkan, tapi kali ini kamu bukan menyebalkan. Ada sesuatu yang hilang dan melayang entah kemana dan karena apa. Aku coba merasakan apa yang hilang, apa yang biasanya ada dan merangkul hatiku. Dan iya, itu adalah jiwamu. Rangkulan hangat dari jiwamu itu melemah dan membuatku merasa dingin serta asing bahkan saat aku tau namamu tetap Robertus Ciko Wicaksono.
            Kali ini aku tak tahan, perasaan penasaran yang menggelitik itu makin menjadi. Siap dengan segala kemungkinan, aku tetap nekat.
“Kamu kenapa? Kamu beda Ko.”
Ngga kenapa-kenapa kok.”
“Berusaha aja bohong terus, tapi aku nggak akan percaya.”
Kita diam. Diam membuatku berfikir bahwa aku diizinkan untuk menyelidikimu, lagi.
“Kamu lagi ada masalah?”
“Aku nggak tahu, aku bosen aja di rumah.”
Wajar kalau Ciko merasa bosan. Liburan semester I dikelas XII ini memang tak banyak yang bisa dilakukan. Jawaban Ciko itu membuatku merasa bahwa rinduku akan segera dijawab olehnya.
“Ko, mau main? Batalin aja nonton Cinta Tapi Bedanya, kita bisa nonton besok-besok kok kalau kamu mau.”
“Tapi lagi kere...”
“Nggak usah ketempat yang mahal-mahal, ngga usah beli-beli, yang penting main.”
“Oke Bin, besok aku jemput jam empat sore ya! Kita ke Pantai Depok aja.”
“Oke Ko!”
Bahagia itu sederhana mungkin sedang berlaku. Aku tak ingin pergi ke tempat mewah, megah ataupun minim barang murah. Bagiku, pilihan tempat main darimu sudah cukup dan amat cukup untuk menghabiskan waktu berdua. Sudah aku bayangkan betapa senangnya aku ke pantai di sore hari ditemani kamu. Membagi canda tawa serta meleburkan rindu untuk sementara, karena aku tahu rinduku ini rakus dan tak pernah puas. Rinduku ini terlalu sering datang untukmu.
Aku sudah siap pergi, tepat di hari Cinta Tapi Beda tayang perdana. Aku merelakan film tersebut, lagipula aku bukanlah seorang yang sangat menyukai kegiatan “menonton”. Kau datang dengan teman setiamu, sang motor hitam bergaris kuning yang biasanya aku sebut Bumblebee. Walaupun Bumblebee dominasi besar warna tubuhnya adalah kuning, tetap saja motor dia itu Bumblebee dan tak bisa diganggu gugat. Aku suka Bumblebee, tapi aku tak suka motornya. Aku lebih suka orang yang mengendalikannya dan kadang nekat menggunakan “autopilot”.
Aku tak tahu kamu bodoh atau sengaja bodoh agar perjalanan kita menjadi lebih lama dan jauh. Sebenarnya kamu bisa saja langsung mengambil jalan ke selatan dari persimpangan rumahku. Tapi kamu justru mengambil ke utara lalu ke barat dan barulah ke selatan. Tapi aku tak perduli, asal denganmu aku tak keberatan untuk ikut menjadi bodoh karena lupa memberitahumu.
            Dalam perjalanan yang baru memakan 30 menit itu kamu bilang kalau lapar. Akhirnya kita berhenti untuk makan di sebuah warung bakso. Masuk warung tersebut aku sedikit aneh dengan pemandangan tepat depan mataku. Disitu terduduk jelas seorang bapak-bapak paruh baya yang badannya berlumuran semen, bahkan wajahnya. Mungkin itu hiburan, pikirku. Hingga akhirnya bapak tersebut bangun dari duduknya dan berpamitan pergi. Lucu, dan hal tersebut aku alami hanya denganmu, tak akan akan ada yang sama.
Kita duduk berseberangan, bagus batinku. Aku bisa melihatmu dengan lebih jelas, lebih jelas untuk melihat matamu yang tertutup kacamata itu misalnya. Kau selalu terlihat biasa dan sederhana, selalu terlihat seperti yang aku suka. Termasuk sederhana yang sampai terlihat lebih gembel daripada Bruno, anjingmu. Dan lagi-lagi itu bukanlah suatu masalah bagiku, asal jiwamu tetap denganku. Beberapa menit setelah kita duduk dan menyantap bakso, aku baru sadar kalau disitu tertera tulisan “Bakso Pak Tupar”. Hal kecil itu menjadi lucu bagiku karena nama ayah si Eka, teman karibku adalah Pak Tupar. Dan karena kamu juga hobi jahil ke Eka, kamu pun memotret tulisan tersebut dan mengirimkannya kepada Eka via chat smartphone. Mencoba menaikkan darah Eka, kamu justru bosan sendiri karena Eka membahas hal lain. Dan kita masih bercanda hingga perut sudah tak terlalu kenyang. Kita pun beranjak dari tempat tersebut dan aku mencoba merekam semuanya dengan alami, entahlah denganmu.
Sebelumnya aku tak pernah ke pantai melihat matahari terbenam dengan seorang yang aku anggap beda. Kamu menjadi yang pertama, dan akan selalu begitu. Apalagi melihat matahari di bulan Desember, ah mana mungkin aku akan begitu. Tapi denganmu, hal itu menjadi mungkin, iya denganmu.
Perjalanan sudah terasa akan berakhir dan sampai di tempat tujuan saat aku melihat jembatan itu. Ya, aku kenal jembatan itu. Aku pernah melewatinya, sekali. Tak sabar ingin segera menginjak pasir pantai, aku hanya mampu menikmati pemandangannya. Kamu memarkir motor dan aku turun dengan perasaan lega. Ya walaupun menyenangkan berada di belakangmu dan menggodamu, tapi badanku tak dapat munafik bahwa ia sangat pegal dan menggerutu lesu.
Pasir pantai yang hitam, kerumunan orang, bising motor ATV, deru ombak, angin laut, uap air asin, aroma khas laut, bersihnya langit, ah biasa saja. Coba kalau aku perbaiki, Pasir pantai yang hitam, kerumunan orang, bising motor ATV, deru ombak, angin laut, uap air asin, aroma khas laut, bersihnya langit dan KAMU, ah indahnya. Kamu mengoceh mengenai alasan memakai sepatu dan blablabla, buatku itu hanyalah salah satu cara agar aku selalu mengingat aksen bicaramu, suaramu dan yang terpenting, kamu. Kita duduk di pinggir pantai, seringkali bergurau dan bercanda mengenai “sesuatu” yang kau buat dari pasir. Dan kamu masih jadi Ciko yang mengesalkan. Kamu menaburi permen yang aku tawarkan dengan pasir agar aku tak memakannya, sedangkan kamu? Kamu sungguh terlalu, kamu masih memakan permen tersebut dengan lahabnya. Dan lagi-lagi hanya KAMU yang mampu begitu, KAMU yang pertama mempertontonkan padaku betapa permen yang ditaburi pasir pantai masih terasa enak dan menggiurkan.
Ombak seperti iri pada kita, kurasa. Ia menyingkirkan kita dengan ombaknya yang sampai ke pinggir terjauh dari pantai. Kita pun akhirnya beranjak dari tempat tersebut dan berjalan ke arah timur menyusuri pantai sembari mencari toilet yang bersih. Saat kamu berada di toilet, aku mencuri-curi untuk membalas chat dari teman-temanku. Bukannya apa-apa, hanya kurasa tidak adil jika aku berjalan denganmu namun fokus untuk handphoneku. Selesai dari toilet aku meyingkirkan handphone dan segera berjalan menyusul di sampingmu. Kita kembali duduk berdua, namun kali ini pantai lebih sepi. Dan seperti yang kita lihat, sepertinya tempat tersebut menjadi tempat favorit bagi para pasangan. Jadi, apakah kita pasangan? Ah aku tak tahu, dan tak mau tahu. Yang aku tahu adalah, hari ini, sore ini, di kala sunset ini, kamu ada untukku.
Kita menunggu hingga matahari tenggelam dan memperlihatkan eloknya. Namun kau seperti melihat gurat tanda tanyaku, mengapa mataharinya samar dan malu-malu? Kamu dengan angkuhmu, yang selalu aku sukai entah kenapa, menjelaskan padaku.
“Bintang, ini bulan Desember, mataharinya lagi ngga disini, mataharinya lagi rada serong kesana.”
Kamu melihatku sambil menunjuk-nunjuk matahari dan sesekali membenarkan kacamata.
“Emangnya gitu? Kata siapa? Ilmu sok tahu darimana itu?”
“Dikasih tahu ngga percaya. Ya maklum sih anak IPS, ngga tahu ya? Ck, low level.”
“Percaya sih yang anak IPA. Emangnya harusnya kalo pas posisinya disini itu kapan?”
“Harusnya bulan Februari. Itu posisi mataharinya bagus buat liat sunset.”
“Oooh gitu ya, hm yayaya.”
“Ciko, aku mau tanya sesuatu. Tapi aku takut kalo kamu ngga suka terus marah.”
“Tanya apaan emangnya?”
“Emm, sebenernya aku ngga mau tanya hal ini ke kamu. Tapi aku risih dengerin kata orang.”
“Oh iya aku tahu …”
Dan percakapan kita berlanjut hingga titik puncak. Aku menikmati semua kejujuranmu dan keterbukaanmu. Aku larut dalam melodi suaramu yang bercerita banyak tanpa aku harus berkata banyak pula. Aku luluh dalam pundakmu, dan aku masih mencium aroma yang khas dari tubuhmu, persis dengan apa yang aku suka. Aku merasa, jiwamu telah kembali merangkulku. Selamat datang kembali kamu, selamat menjadi Ciko yang aku kenal lagi. Banyak hal yang kita bicarakan termasuk sifatmu yang otoriter dan kebiasaan jelekmu yang suka mengerjakan sesuatu dengan setengah-setengah. Mengenai bagaimana kamu memiliki konsep namun tak benar-benar sukses mengaplikasikannya. Aku suka dengan keterbukaan ini, tapi ini adalah harimu belum hariku. Berharap nantinya aku akan memiliki kesempatan yang sama, untuk bercerita tentangku.
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Kau mengajakku pulang. Walau berat, tapi kita harus beranjak dari dudukan. Kita berjalan ke parkiran dan keluar dari area wisata Pantai Depok. Sebisa mungkin aku harus berani memelukmu, mana mungkin aku tega membiarkanmu kedinginan tanpa jaket dan dalam keadaan sedikit migraine? Saat kita mengobrol mengenai orang-orang yang pernah berjalan di hatimu, aku semakin ingin memeluk erat kamu. Tapi aku ingat, betapa bukan siapa-siapanya aku buatmu. Tapi, apa aku tega membiarkanmu kedinginan tanpa pelukan dari belakang? Sepertinya iya, aku tega. Hingga perjalanan yang jauh dan melelahkan itu berakhir di depan rumah, aku masih saja belum memelukmu. Pengecutkah atau benar keputusanku itu? Aku tak tahu, hingga kini masih saja ingin memelukmu tanpa alasan dan ini sungguh menyiksa, terkadang.
Aku masuk kamar, berbaring dan segera mengucapkan terimakasih untukmu lewat chat. Memberi pesan agar kau hati-hati di jalan. Hari itu, tak semena-mena kita kembali menemukan passion untuk bersama. Ada beberapa hal yang masih berbeda mengenaimu. Kamu bukanlah Ciko yang suka otoriter kepada Bintang seperti biasanya. Tapi aku, tak perduli. Aku tahu aku telah kau beri kepercayaan untuk menjagamu dan apa yang kamu katakan. Hari itu, aku tutup cerita kita dengan “Selamat Malam” dan “Sleep tight”.
Satu, dua, dan tiga hari kita masih dapat memperbaiki diri dan kembali menemukan passion untuk bersama lagi. Berjalan setelah itu, rasio up and down “hubungan” kita mulai tak tentu. Kadang aku dan kamu berada di titik puncak rindu bertemu, tiap ada kesempatan bagiku, selalu kuluangkan waktu untuk bersamamu. Berbagai cara kita sama-sama mencoba dan berusaha. Namun makin lama aku merasa berjalan sendirian untuk menuntun arah kita berdua. Aku merasa tak mampu dan kuat untuk berdiri, berjalan serta mengais-ais “kita” lagi.
Aku menyerah, aku mencoba ikhlas dengan melihat realita. Aku tak suka memaksa. Walau begitu aku tetaplah Bintang dan aku selalu bintang karena kamu yang mengatakannya. Mungkin aku redup, mungkin aku menjadi lebih buruk dan mungkin bintang ini nantinya akan mati termakan usia dan ganasnya persaingan di galaksi. Tapi kamu dan aku tahu, kita pernah memiliki satu bintang yang sama. Aku dan kamu memiliki banyak cerita bersama. Tak sedih dan menangis, karena kau tak suka aku menjadi demikian. Namun, tak munafik dan tak dapat kutampik, kalau setiap kenangan yang manis maupun pahit memiliki sisi sensitifnya tersendiri, spontan airmatamu akan membuktikan seberapa berartinya kisah itu dalam perjalanan pencarianmu.

Aku memang bukan yang paling terang
Aku mungkin bukan yang paling besar
Tapi pasti aku kamu adalah hubungan paling manis yg bukan dalam konteks “kita” , buatku