Tampilkan postingan dengan label cinta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cinta. Tampilkan semua postingan

Rabu, 25 Februari 2015

Silent

Menampilkan Meja  kita masih bersi...Meja kita masih bersih, tak seperti biasanya. Pagiku begitu sepi tanpa bunyi porselen yang bertemu dengan alumunium. Tanpa dentingan gelas yang tak sengaja terpaut antara kau dan aku. Dan aku hanya diam menatap ruang kosong, putih dan bersih di depanku. Menghirup nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan ke arah angin yang menggoyangkan bunga segar dalam vas putih hadiah natal darimu tahun lalu.

Tubuhku lemas tapi hatiku memberontak, meronta walau masih saja tak berdaya. Aku pikir, teman hidup yang lama kunantikan itu kamu. Aku pikir lelaki yang akan membantuku membesarkan anak-anakku nanti adalah kamu. Tapi aku salah besar.

Dugaanku makin salah tat kala kulihat kau dengan kopermu rapi berjajar menunggu jawabanku. Mobil sudah kau nyalakan sedari tadi untuk memanaskan mesinnya dan agar kau siap pergi.

"Tak apa. Kalau memang kau pikir perjuangan kita selama bertahun-tahun ini sudah tak ada artinya. Aku tak akan memaksa, untuk apa harus kupaksa. Tapi, aku hanya ingin kau tahu satu hal. Hatiku mungkin terluka, tapi pintu maafku tidak. Menurutku, apa yang sudah kita perjuangkan selama ini layak untuk mendapatkan kesempatan melihat kita memperbaiki semua dan memakai kesempatan kedua. Sekarang, maukah kau mengembalikan kopermu ke dalam dan mematikan mesin mobil itu?
Lalu cepatlah kau susul aku duduk di meja ini dan berdiskusi. Mari kita bekerja keras bersama-sama lagi untuk saling memaafkan dan menyayangi."

Kau diam sejenak, memutar bola mata menelanjangi seluruh ruangan dan berjalan mendekatiku.
Api yang semula kulihat berkobar dimatamu perlahan padam. Dahi yang berkerut dan alis yang terangkat beranjak normal.

Kau peluk aku, erat.
"Maafkan aku."
Kata maaf yang kau bisikkan padaku sekejap mengobati luka-lukaku semalam karna egomu begitu liar.
Aku hanya dapat tersenyum lega dan memeluknya lembut.
"Tak apa, bahkan seorang pemimpin negara Adidaya juga butuh pelukan teman hidupnya sayang. Maafkan aku juga."

Selasa, 24 Februari 2015

Open My Heart.

                                         


Pukul lima sore di bandara internasional Adisucipto Yogyakarta, seorang pria gagah dengan tampang yang rupawan menghampiriku. Ia berjalan sedikit cepat sambil terus mendorong trolley yang penuh dengan barang bawaan. Mungkin itu buah tangan dari negeri Paman Sam atau mungkin setumpuk kenangan lama yang aku biarkan tersisa walau tinggal maya.

"Hai!". Tangannya melambai cepat ke arahku dan tersenyum merekah seperti orang yang baru pertama kali bertemu dengan kekasihnya setelah lama berkelana.

"Hai, Tom! Sepertinya Amerika sangat ramah kepadamu."
"Hah? Memangnya kenapa?"
"Kau tidak sadar? Kau sekarang terlihat lebih segar dan yaaa makin menawan..."

Dia diam menatap mataku lama dan dalam. Mungkin dia hampir tenggelam di sana atau malah sengaja menyelam untuk menarik aku balik.

"Kau ini! Hahaha."

Seketika jantungku berdegub kencang kala ia mendaratkan tangannya ke kepalaku, dan mengusap-usap rambutku dengan cara lama. Tak puas mendebarkan jantungku, ia kini membuat aliran darahku berhenti karena mendekapku lembut dalam tubuhnya.

"Aku rindu sekali padamu, Laras."

Sebuah kecupan manis berhasil merontokkan seluruh amarahku karena kebodohannya dulu; pergi tanpa pamit dan sempat takkan kembali.

"Lalu, apa kau masih Laras yang dulu?"
"Hehe masih Tom. Hanya sekarang aku mempunyai rumah baru, pintu baru dan halaman baru."
"Kau... membeli sebuah rumah baru?"
"Hahahaha kau ini! Bukan. Bukan itu.."
"Lalu? Emmm... aku tak mengerti.."
"Aku berbicara tentang hatiku Tom..."

Dia hanya diam dan aku lebih diam darinya.

"Dapatkah aku pulang kembali?"
"Tentu..."
"Kalau aku ketuk sekarang, maukah kamu membukanya untukku, lagi?"
"Tergantung."
"Maksudnya?"
"Kau tak akan mencintaiku dengan cara lama, iya kan?", "Seperti, melambungkanku dan lalu meninggalkan aku jauh-jauh dan sempat tak mau kembali."
"Aku..."
"Kalau kau tidak mencintaiku dengan cara yang baru dan hati yang masih sama, maaf aku tidak bisa."
"Laras...aku..."
"Tom, kau tahu hatiku membuncah riang hari ini namun hatiku lebih tahu, esok ia akan mati suri kembali."

Anak kecil dengan balon warna jingga mengalihkan pandangan kami. Ia berjalan mendekat ke arahku lalu memeluk kakiku.

"Mama, kan Rasla udah request tadi jangan lama-lama...". Wajahnya berkerut-kerut sambil menahan tangis di bibirnya. Aku menunduk dan mencium keningnya, "Bentar ya Rasla cantik... Mama lima menit lagi deh nyusul ke mobil."
"Bener ya. Kalo mama bohong?"
"Emmm Rasla masih suka ice cream coklat kan?"
"Asiikkk! Okay Mom!", Rasla mencium pipiku lalu berlari kecil menuju mobil yang ku parkir tak jauh dari tempatku berdiri.

"Kenapa hanya diam, Tom?"
Aku melanjutkan..
"Umurnya besok April sudah 5 tahun. Kurasa kau dan dia harus berkenalan secepatnya. Dan segeralah membuat keputusan, sadarkan dirimu sendiri apa yang selama ini kau tinggalkan. Siapa saja yang sudah kau tinggalkan. Tentu saja sebelum kau berkelana kembali dan meninggalkan kami."
"Laras, kau tak pernah bilang tentang semua ini."
"Aku pulang, Tom. Sisanya kurasa kau sudah bisa menjawab sendiri. Bye!", "eh... see you?"

Aku pun melangkah pergi.

Kamis, 28 November 2013

HAK

Semua orang, tidak terkecuali, berhak untuk menentukan siapa yang ia cintai dan siapa yang ia ijinkan mencintainya. Sangat berhak untuk memutuskan bagaimana cara ia meraih bahagianya.
Beberapa memilih untuk dengan mudah melepas orang yang tak membahagiakannya, yang menyakitinya. Dan beberapa lagi memilih untuk bertahan dengan orang yang menyakitinya dan yang tiap malam menguras airmatanya. Semua orang berhak.

Kau berhak untuk kembali padanya. Mencoba kembali mencari bersama titik komitmen yang akan kalian capai. Kau berhak untuk merasa sakit dan terhuyung-huyung untuk mempertahankannya selagi kau mampu. Kau berhak mengabaikan semua kata-kataku. Namun satu, kau tak berhak dikurung bagai merpati dalam sangkar emas. Kau tak berhak merasakan sakit dan airmata yang sama denganku. Tidak, kau berhak lebih bahagia dari aku. Carilah jalanmu.

Kau berhak sekali untuk mengatakan aku egois, aku bodoh dan aku... aku berhak untuk menyetujui semua kata-katamu. Aku melarangmu tersakiti namun aku bertahan dengan kesakitan. Bahkan aku sangat menyayangi kesakitan ini. Aku berhak mempertahankannya walau aku sesungguhnya tak mampu. Aku berhak merasa lelah dan kelelahan karenanya.

Aku... berhak tersungkur karenanya. Semua orang berhak tersungkur.

Rabu, 27 November 2013

Gila dan Terhuyung-huyung

Aku mempertahankan langkah yang terhuyung-huyung dengan usaha yang sampai terhuyung-huyung pula. Aku berusaha tegap dan sigap, namun aku hanyalah manusia biasa. Terkadang terpa angin panas mengeringkan usahaku untuk kembali berdiri. Untuk kembali melanjutkan langkah ini. Semua ini aku lakukan bukan semata-mata hanya untukku, aku yakin kau lebih tahu.

Pelangi itu tepat di depan mataku. Aku melihatmu disana, tertawa dan bahagia bersama mimpi dan cita yang pasti akan kau gapai. Dan aku...masih di seberang sisi yang lain. Menikmati kursi penonton sambil ikut berbahagia dan tertawa. Walau sering sekali di akhir hari, di detik terakhirku menuju terpejam, aku membasahi pipi dengan tetes yang aku sendiri tak mengerti. Aku bingung, mengapa cinta dan perasaan begitu mudahnya mempermainkanku. Membuatku dengan mudah mengijinkan sakit dan rindu memberi kesan. Dan di ujungnya, telah menunggu gentong air mata yang siap mengucur. 

Membayangkanmu bahagia dengan atau tanpaku, aku menangis.
Membayangkanmu terluka karena dan bukan karenaku, aku juga menangis.
Hampir tak habis pikir aku, apa yang dapat membuatku tertawa dan tersenyum bahagia selain berada di sampingmu. Selain membiarkan kepalaku yang berat disangga oleh bahu dan dadamu. Selain mendengar tenangnya suaramu. Selain menyimak tiap detak jantungmu berbisik. Selain merasa aman tiap jemarimu merangkul jemari dan tubuhku. 

Aku gila? Bisa saja, tak ada yang tak mungkin. 
Dan aku masih (serta) akan selalu terhuyung-huyung. Menyedihkan sekaligus menyenangkan sekali terhuyung-huyung karenamu, cinta.