Tampilkan postingan dengan label cerita kecil. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerita kecil. Tampilkan semua postingan

Rabu, 25 Februari 2015

Silent

Menampilkan Meja  kita masih bersi...Meja kita masih bersih, tak seperti biasanya. Pagiku begitu sepi tanpa bunyi porselen yang bertemu dengan alumunium. Tanpa dentingan gelas yang tak sengaja terpaut antara kau dan aku. Dan aku hanya diam menatap ruang kosong, putih dan bersih di depanku. Menghirup nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan ke arah angin yang menggoyangkan bunga segar dalam vas putih hadiah natal darimu tahun lalu.

Tubuhku lemas tapi hatiku memberontak, meronta walau masih saja tak berdaya. Aku pikir, teman hidup yang lama kunantikan itu kamu. Aku pikir lelaki yang akan membantuku membesarkan anak-anakku nanti adalah kamu. Tapi aku salah besar.

Dugaanku makin salah tat kala kulihat kau dengan kopermu rapi berjajar menunggu jawabanku. Mobil sudah kau nyalakan sedari tadi untuk memanaskan mesinnya dan agar kau siap pergi.

"Tak apa. Kalau memang kau pikir perjuangan kita selama bertahun-tahun ini sudah tak ada artinya. Aku tak akan memaksa, untuk apa harus kupaksa. Tapi, aku hanya ingin kau tahu satu hal. Hatiku mungkin terluka, tapi pintu maafku tidak. Menurutku, apa yang sudah kita perjuangkan selama ini layak untuk mendapatkan kesempatan melihat kita memperbaiki semua dan memakai kesempatan kedua. Sekarang, maukah kau mengembalikan kopermu ke dalam dan mematikan mesin mobil itu?
Lalu cepatlah kau susul aku duduk di meja ini dan berdiskusi. Mari kita bekerja keras bersama-sama lagi untuk saling memaafkan dan menyayangi."

Kau diam sejenak, memutar bola mata menelanjangi seluruh ruangan dan berjalan mendekatiku.
Api yang semula kulihat berkobar dimatamu perlahan padam. Dahi yang berkerut dan alis yang terangkat beranjak normal.

Kau peluk aku, erat.
"Maafkan aku."
Kata maaf yang kau bisikkan padaku sekejap mengobati luka-lukaku semalam karna egomu begitu liar.
Aku hanya dapat tersenyum lega dan memeluknya lembut.
"Tak apa, bahkan seorang pemimpin negara Adidaya juga butuh pelukan teman hidupnya sayang. Maafkan aku juga."

Surat Cinta Seribu Suara



Wajahnya terlihat tenang, dalam kesunyian dia membayangkan hal yang indah. Sangat terlihat bagaimana matanya berbinar-binar;menegaskan betapa bahagianya dia walau hanya ada dalam isi kepalanya. Bibirnya bergerak mengikuti lirik musik yang ia jejelkan dalam otaknya. Telinganya buntu oleh alat pendengar yang menyajikan seribu mimpi untuknya. Kepalanya ramai, hatinya bahagia walau yang lain tak dapat ikut merasakannya.

Perlahan-lahan ia beranjak dari kursi dimana ia terpaku oleh hujan lembut yang menenangkan. Gaun pendek berwarna merah muda lembutnya tersapu angin, menari kesana-kemari dengan sopan. Langkah demi langkah ia ikuti menuju tempat aku berada kini. Ia tersenyum, amat manis dan hal itu sediki membuat matanya menyipit lucu. Secarik kertas kecil mendarat pada telapak tanganku yang terbuka. Membekukan segala usahaku untuk tak terlihat kaget dan kegirangan walau hanya dalam batin.

"Aku memang tak dapat mendengar, namun apa yang aku ketahui dari sorot matamu sudahlah cukup. Aku memang tak dapat berbicara, namun kuharap secarik kertas ini dapat menunjukkan padamu bahwa aku juga mampu membuatmu terpukau dengan suaraku walau dalam diam. Namaku Shenoa, ada alasan aku tak jatuh hati pada orang yang sudah memandangiku tiap sore enam bulan belakangan ini; dan membuatku menulis surat cintaku yang pertama lalu menjadikan diriku sendiri kurir?"

Lalu ia duduk berjejer denganku. Setelah itu merapikan duduknya agar gaun pendeknya tak kusut. Aku tersenyum dan mulai menjadi pujangga yang sangat amatir menulis surat cinta untuknya.

***

Hanya aku dan dia yang tahu bagaimana akhirnya kami dapat berjejer di depan pendeta dalam rumah Tuhan yang suci kini. Dia dengan gaun pengantinnya yang berwarna putih dan aku dengan setelan pengantin pria berwarna hitamku. Gugup dan berbahagia luar biasa. Kau tak akan tahu bagaimana kekuatan cinta bekerja, bukan?

Shilam Chilam The Snowbird

Menampilkan Shilam ( Chilam or Sno... 


"Meski ku memohon dan meminta hatimu, jangan pernah tinggalkan dirinya... untuk diriku..."

Wajahnya dihiasi sejuta luka yang coba ia tutupi setelah selesai menyanyikan lagu yang di populerkan oleh Rossa tadi. Seluruh penonton yang duduk di sofa merah bludru maupun di bangku hitam biasa berdiri memberikan tepuk tangan yang meriah, tak terkecuali aku.
Ia membungkukkan badannya tanda mengucap terima kasih dan tersenyum. Matanya berjalan di antara ratusan penonton dan berhenti pada suatu titik. Ia terpaku dan senyumya yang manis perlahan luntur, dengan segera ia berjalan ke belakang panggung dan enggan melihat ke belakang lagi.
Aku yang sadar telah melunturkan senyumnya, segera keluar dari barisan kursi penonton VVIP dan mencari-cari jalan menuju belakang panggung. Dengan modal nekat dan niat yang tulus aku berusaha keras untuk mendapatkan akses masuk ke belakang panggung.
Dengan sedikit negosiasi dengan panitia acara, akhirnya aku pun dapat masuk ke area talent. Seikat mawar merah dan putih di tanganku kutatap sejenak lalu aku tarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Kakiku mulai masuk ke ruangan ia berada. Seorang wanita dengan gaun warna hitam dan rambut yang di gerai berantakan duduk di depan meja rias. Matanya menatap ke arahku lewat kaca rias besar di depannya. Ia palingkan wajah dan mulai mengemasi barang-barang yang ada di meja tersebut.

"Shilam, jangan buru-buru. Tolong ijinkan aku untuk berlama-lama denganmu barang sepuluh menit."
Dia mengernyitkan dahinya dan menghela nafas perlahan
"Aru, aku harus pergi sekarang. Aku minta maaf."

Ia menjinjing tas merahnya dan beranjak keluar ruangan. Aku tarik lembut tangan yang bebas dari tas dan memutar balik tubuhnya menjadi di hadapanku.

"Setidaknya...ambillah bunga ini. Tanda terimakasihku karena kau telah bernyanyi dengan sempurna tadi."

Dia diam dan berusaha untuk pergi.

"Kau tahu, kau selalu luar biasa. Kau makin hebat malah, setelah tiga tahun tak bertemu."

Aku melanjutkan karena dia masih diam dan memberiku kesempatan untuk banyak bicara setelah tiga tahun terakhir kami saling tak bicara dan jauh terpisah.

"Shilam, aku rindu padamu. Aku muak berada jauh darimu selama ini. Aku bertahan dan mencoba bertahan, aku pikir aku akan berhasil tanpamu di sampingku. Ternyata aku salah. Itulah alasan terbesarku untuk berada disini sekarang."

Matanya mulai memerah dan berair. Bibirnya ia gigit agar tak terlihat kalau ia sedang menangis kencang dalam batinnya. Tangannya yang aku genggam makin lemas. Tubuhnya akhirnya jatuh dalam lingkaran tanganku. Aku peluk pujaan hatiku yang bodohnya lama sekali aku tinggalkan. Aku mulai berbisik pelan di telinganya,

"Kau lapar? Aku yakin kau masih suka mampir di restoran favorit kita walau tanpa adanya aku disana. Masih suka pesan beer walaupun kau sangat amatir dalam hal itu?"

Dia menajamkan matanya ke arahku dan memukul dadaku dengan manja, seperti dulu. Lalu ia melepas pelukanku dan sibuk dengan sesuatu dalam tasnya -yang ternyata sedang berusaha keras mengambil tissiu-.

"Kau tidak perlu itu kalau ada aku. Biarkan aku yang menghapus airmatamu."

Dia lagi-lagi hanya diam seribu bahasa dan menuruti perkataanku. Ia naikkan wajahnya seolah berkata, "kalau begitu segera hapus airmataku ini bodoh!".

Aku hapus airmatanya yang tak sempat merusak make-up yang ia kenakan dengan ibu jariku. Wajahnya tersenyum manis padaku dan aku hanya membalas dengan mengusap kepalanya lembut.

"Aru, entah apa maksudmu datang kembali seperti ini. Aku tahu tak lama lagi aku akan terluka kembali olehmu. Tapi, terimakasih kau telah datang hari ini. Aku tak menyangka kau masih ingat tiap tanggal 18 September aku selalu pentas disini."

Baru aku akan menjawab kata-katanya, ia sudah menutup mulutku dengan tangannya.

"Jangan sela aku dulu. Aku tak menyelamu sedikit pun tadi. Iyakan?"

Aku mengangguk sambil menggandeng tangannya pergi dari tempat itu. Menggiringnya keluar dan berjalan bersama menuju restoran favorit kami yang tak jauh dari kawasan tersebut.

Sepanjang perjalanan menuju restoran aku tak menyelanya sedikit pun. Aku mendengarkannya dan menanggapi hal-hal yang ia katakan. Ia suka dihargai maka aku tak pernah berani tak menghargainya. Karena, tanpa kuminta ia pasti akan sangat mengahargai tiap hal kecil yang aku lakukan untuknya dan untuk orang lain yang ia sayangi.

Aku tak mengerti mengapa orangtuaku masih tak dapat menerimanya, hingga mengirimku bekerja di Sydney demi menjauhkan aku dan dia. Bahkan mereka sampai menjodohkanku dengan seorang wanita yang tak pernah bisa menghargai aku, sehingga dengan modal nekat yang sedari tadi masih penuh, aku kabur di malam pernikahan kami.

Sungguh aku tak perduli. Aku sangat mencintaimu, Shilam.

Selasa, 24 Februari 2015

Open My Heart.

                                         


Pukul lima sore di bandara internasional Adisucipto Yogyakarta, seorang pria gagah dengan tampang yang rupawan menghampiriku. Ia berjalan sedikit cepat sambil terus mendorong trolley yang penuh dengan barang bawaan. Mungkin itu buah tangan dari negeri Paman Sam atau mungkin setumpuk kenangan lama yang aku biarkan tersisa walau tinggal maya.

"Hai!". Tangannya melambai cepat ke arahku dan tersenyum merekah seperti orang yang baru pertama kali bertemu dengan kekasihnya setelah lama berkelana.

"Hai, Tom! Sepertinya Amerika sangat ramah kepadamu."
"Hah? Memangnya kenapa?"
"Kau tidak sadar? Kau sekarang terlihat lebih segar dan yaaa makin menawan..."

Dia diam menatap mataku lama dan dalam. Mungkin dia hampir tenggelam di sana atau malah sengaja menyelam untuk menarik aku balik.

"Kau ini! Hahaha."

Seketika jantungku berdegub kencang kala ia mendaratkan tangannya ke kepalaku, dan mengusap-usap rambutku dengan cara lama. Tak puas mendebarkan jantungku, ia kini membuat aliran darahku berhenti karena mendekapku lembut dalam tubuhnya.

"Aku rindu sekali padamu, Laras."

Sebuah kecupan manis berhasil merontokkan seluruh amarahku karena kebodohannya dulu; pergi tanpa pamit dan sempat takkan kembali.

"Lalu, apa kau masih Laras yang dulu?"
"Hehe masih Tom. Hanya sekarang aku mempunyai rumah baru, pintu baru dan halaman baru."
"Kau... membeli sebuah rumah baru?"
"Hahahaha kau ini! Bukan. Bukan itu.."
"Lalu? Emmm... aku tak mengerti.."
"Aku berbicara tentang hatiku Tom..."

Dia hanya diam dan aku lebih diam darinya.

"Dapatkah aku pulang kembali?"
"Tentu..."
"Kalau aku ketuk sekarang, maukah kamu membukanya untukku, lagi?"
"Tergantung."
"Maksudnya?"
"Kau tak akan mencintaiku dengan cara lama, iya kan?", "Seperti, melambungkanku dan lalu meninggalkan aku jauh-jauh dan sempat tak mau kembali."
"Aku..."
"Kalau kau tidak mencintaiku dengan cara yang baru dan hati yang masih sama, maaf aku tidak bisa."
"Laras...aku..."
"Tom, kau tahu hatiku membuncah riang hari ini namun hatiku lebih tahu, esok ia akan mati suri kembali."

Anak kecil dengan balon warna jingga mengalihkan pandangan kami. Ia berjalan mendekat ke arahku lalu memeluk kakiku.

"Mama, kan Rasla udah request tadi jangan lama-lama...". Wajahnya berkerut-kerut sambil menahan tangis di bibirnya. Aku menunduk dan mencium keningnya, "Bentar ya Rasla cantik... Mama lima menit lagi deh nyusul ke mobil."
"Bener ya. Kalo mama bohong?"
"Emmm Rasla masih suka ice cream coklat kan?"
"Asiikkk! Okay Mom!", Rasla mencium pipiku lalu berlari kecil menuju mobil yang ku parkir tak jauh dari tempatku berdiri.

"Kenapa hanya diam, Tom?"
Aku melanjutkan..
"Umurnya besok April sudah 5 tahun. Kurasa kau dan dia harus berkenalan secepatnya. Dan segeralah membuat keputusan, sadarkan dirimu sendiri apa yang selama ini kau tinggalkan. Siapa saja yang sudah kau tinggalkan. Tentu saja sebelum kau berkelana kembali dan meninggalkan kami."
"Laras, kau tak pernah bilang tentang semua ini."
"Aku pulang, Tom. Sisanya kurasa kau sudah bisa menjawab sendiri. Bye!", "eh... see you?"

Aku pun melangkah pergi.

Selasa, 04 Februari 2014

Samurai Lelakiku

Siang begitu gelap
Aku menyibukkan diri sendiri pada suatu sudut di suatu ruang
Di luar hujan sedang berpesta, ramai sekali
Hingga musik hujan memenuhi ruanganku

Tak ada penerangan yang mampu menyorot air mataku
Perlahan namun pasti pipiku basah
Dan dadaku sesak\
Emosi membumbung dalam jemariku
Meledakkannya dan mengeluarkannya melalui tumpahan material sejuta kata

Aku rindu padamu, lelakiku...

Saat aku sedang menghayal indah tentang kisah kita yang dulu
Kau datang memberi pupuk dan menyuburkan angan indahku
Lalu sekejab!
Kau hilang,
setelah menebaskan samuraimu pada kepala mimpi yang kau suburkan

Dan aku... terpuruk dalam kuburan mimpi di siang bolong itu
Bahkan menaburkan bunga mawar dan melati tanda kematian pun kau tidak.


Sampai jumpa, pada masa yang berbeda lelakiku...

Senin, 30 Desember 2013

Cerita Untukmu-Part I

Duduk, pada bangku kesayangan kita dahulu. Meja marmer warna hitam, halus dan mengkilap masih sama seperti dulu. Ornamen The Beatles dimana-mana, membawa kita pada jamannya.

Hari ini aku ingin membagi cerita denganmu. Oh iya, sebelumnya aku ingin bilang bahwa... aku sangat merindukanmu. Andai kau masih milikku, tak semudah itu juga menenggerkan kepalaku pada bahumu. Tidak seperti awal kau dan aku bertemu.

Selama aku sendiri...





*to be continue*

Rabu, 09 Oktober 2013

Peron 3

kembali, aku mencoba menguatkan hatiku sendiri dihadapanmu. kau meraih tanganku dan memegangnya erat. kurasakan berat langkah kita menyusuri peron 3 ini. kau memilih pergi, bukan untuk pergi jauh dari hatiku, namun dari pandangan mataku, dari tubuhku yang selalu rindu akan pelukmu. dan kau, memang harus pergi. perjalananmu nanti jauhnya belum seberapa, kau hanya pergi ke kota Batavia dari kota Jogja. beasiswa tersebut membawamu jauh dariku, mendekatkan hasratmu pada impian-impianmu. aku mau tak mau harus dapat mengerti dan mengalah. aku bahagia, bila kau bahagia. kata-kata yang sangat pasaran, namun hanya sedikit orang yang mampu membuatnya berharga dan istimewa. 
"keretaku sudah tiba."
"aku tau, dan kau harus segera pergi. aku tau."
"aku ingin bertanya padamu.."
"lalu aku akan bersedia menjawabnya.."
kau tersenyum kecil melihat mataku yang penuh rayu untuk menahanmu.
"sungguh maukah kamu menungguku? beberapa bulan sekali kau akan selalu beradu hati dengan kereta itu. untuk melepaskanku kembali dan melepaskanku lagi untuk yang kesekian kali."
"hm.", aku tersenyum sinis. "katakan padaku wanita mana yang sungguh-sungguh mau? kau tau, aku sungguh berat melepasmu. harus membenci kereta itu untuk berulang kali mengantarmu, tak masalah, sungguh. aku... aku...hanya benci bila terkadang aku berpikir suatu hal yang buruk tentangmu."
"kau percaya aku, benarkan?"
"tentu. aku akan berusaha untukmu."
"terimakasih.."
"iya. pergilah kalau begitu, lihat masinis itu mulai melirik sinis pada kita? apakah itu sebabnya ia dinamakan masinis?" mataku membelalak menatap wajahmu.
kau tiba-tiba memelukku dan menempelkan kepalamu pada bahuku. seketika bahu kita sama-sama bahas dan bergetar.
"kau cengeng!", kataku memukul lembut pundaknya.
"aku pergi dulu. jaga diri baik-baik dan jangan sampai menghilang dari sonarku." kau kecup mesra keningku dan berlalu menuju kereta biru.
kereta pun perlahan mulai bergerak dan segera menjauh pergi dari stasiun. sedetik kemudian telepon genggamku berdering, kamu.
"iya? ada yang kau lupakan?"
"tidak, aku tidak lupa. aku menolak lupa untuk berkata, aku sayang kamu..."
"kau ini...aku juga sayang kamu.."
"jadi, kau siap mengayuh kanomu sendiri untuk sementara waktu? dan kita kan bertemu pada dermaga rindu yang sama?"
"aku siap. kau udah melengkapiku dengan semua peralatan yang aku butuhkan. kau nahkoda kano terbaik yang pernah aku punya. teruslah menjadi navigasi utamaku."
"aku tau. tentu! dan tetaplah menjadi asisten nahkoda terbaik untukku. sampai jumpa."
"sampai jumpa..rindu."
klek.
sambungan terputus. dan aku harus berjalan keluar stasiun dengan senyum mengembang. perjalanan kita baru saja dimulai, rindu.

9%

gadis itu menatap lekat pada komputer lipat kesayangannya. bukan yang terbaik dari jenisnya, tapi sudah cukup menjadi yang terbaik bagi si gadis. ia sibuk, amat sibuk. ia sengaja menyibukkan dirinya sendiri untuk sejenak melupakan sedihnya, setidaknya hingga dewa kantuk meninabobokkan dirinya. ia menatap kembali seisi ruang tidurnya, mecoba mencari-cari apalagi yang bisa ia lakukan. kenyataan memberikan jawaban, tak ada. ia hanya butuh duduk dan memainkan jarinya diatas papan huruf komputer lipatnya. menggerakkan kembali sendi-sendi idenya yang hampir saja keropos kalau tak ia asupi dengan pencerahan. beruntung, sendi idenya selamat akibat pelumas semangat menghilangkan sedih dan sepi yang ia suling terus sedari tadi.

si gadis masih sibuk bermain dan bercinta dengan ide yang mulai lincah bergerak dalam otaknya. sampai pada akhirnya ia memutuskan untuk melihat dan memantau frekuensi pembaca blognya. ia terhenyak, diam membisu.

tarikan nafas yang dalam menyadarkan dirinya kembali. membawa tubuh dan pikirannya dalam kenyataan. ia sudah pergi, dan tak mungkin kembali sekeras apapun kau menjerit dan memintanya berjalan kebelakang. mendatangi dan mengetuk seisi rumah hati kembali, seperti dulu. mendebarkan dan membuat gejolak hebat, seperti dulu. iya, dulu. 

"mungkinkah 9% itu kamu? mungkinkah kau memantauku? sekarang, apakah aku sedang membaca pikiranmu? kalau begitu, selamat malam. kau tahu, aku merindukanmu."

Jumat, 09 Agustus 2013

Apakah Kita Sebuah Dongeng?

Dear, Sahabat Penaku...

kau tahu, hal apa yang paling menyakitkan dari sebuah hubungan yang kau kira membahagiakan? iya, hal yang paling menyakitkan itu adalah; mengetahui bahwa sesungguhnya pasanganmu tak lagi bahagia denganmu. saat pasanganmu berkata bahwa segala bentuk perhatianmu adalah rasa yang biasa padahal, tiap kali kau memberikan perhatian padanya, memberikan pelukan hangat padanya, dadamu segala bergejolak riang, menabuhkan genderang bahagia.

kau tahu, tidak semua hal berjalan sesuai yang kita mau. ah, ini kata-kata mainstream, siapa yang tak pernah mendengar atau pun membacanya. bahkan, kau saja sudah membacanya.
banyak hal di kehidupanku yang tak sesuai pengharapanku, bahkan aku saja lupa, kapan memangnya aku berharap sesuatu, dan kapan terakhir kali aku berharap akan sesuatu... tapi aku ingat, aku pernah berharap dia akan selalu bahagia, denganku. egois ya? memang. aku memang egois, lalu kau bisa apa?

apakah kau pernah mendengar cerita tentang seorang pangeran yang sangat mencintai putrinya, pasangannya? iya, cerita yang itu. pangeran berkuda dengan tahta kerajaan dan harta yang berlimpah, datang ke desa kecil pinggir hutan untuk menemukan cintanya. akhirnya, di sebuah sungai ia menemukan cintanya-yang sekarang menjadi pasangannya-, seorang gadis desa biasa dengan pembawaan yang lemah gemulai. iya, putri yang itu, gadis yang selalu baik hati itu.
karena rasa cintanya pada si putri yang sangat dan terlalu besar, sang pangeran melarang ada pegawai kerajaan yang berjenis kelamin pria. ia pecat semua rakyat kecil yang bekerja di istana, mereka dibiarkan lontang-lantung tak jelas di pinggiran hutan, kembali ke desa kecil si gadis berasal. ia kawal putrinya kemana-mana, bahkan hanya untuk bercengkrama kepada bunga-bunga di taman istana.
ada yang salah dari ceritaku? tidak, tidak ada. dongeng tak pernah salah, benarkan?
lalu, apakah kita ini sebuah dongeng?


Salam Penuh Cinta dari Negeri Dongeng
   
   Putri

Selasa, 16 Juli 2013

Mana Fokusmu? Aku atau Kera Betina Itu?

Pagi ini aku memulai hidup dengan menatap cahaya matahari yang curi-curi pandang dari balik dedaunan pohon raksasa. Pohon itu tumbuh menjulang mengejar awan. Dihiasi tumbuhan merambat yang menggantung di atas sana, indah memanjakan mata. Udara segar khas daerah pegunungan memelukku, mencuri kesempatan masuk dan menyelip lewat jaket yang aku kenakan, menyentuhkan dinginnya. 

Sinar matanya menatapku, mencuri jemariku dan merapatkannya dengan jemari miliknya. Ia menggandengku lembut, mengajakku masuk ke dalam sana. Langkahku sedikit tertinggal dari langkahnya tapi ia sadar lalu memperlambat langkahnya. Dia milikku. Aku miliknya.

Kami sama-sama tersenyum dan saling menatap dalam diam, dalam kesunyian pagi pegunungan. Ada hal yang kami pendam, namun kami sama-sama tak mengerti apakah hal yang kami pendam itu. Kami diam dan diam, hanya suara ayunan yang berkarat serta serangga kecil yang mengisi sunyi kami.

"kamu cemburu?"
"tidak."
"lalu?"
"aku tak suka merasa seperti ini. aku tidak suka harus merasa cemburu."
"kamu cemburu karena apa? karena hal yang kau baca?"
"iya, tapi aku tau aku tidak seharusnya cemburu seperti itu..."
"wajar. tapi kamu tahu, kamu tidak akan ada habisnya cemburu bila terus membacanya. kau tau aku tidak berkomunikasi lagi dengannya. dan aku milikmu sekarang."
"sebenarnya hanya dua kali aku membacanya..."
"kamu takut aku kembali lagi padanya?"
"bukan..."
"kamu kenapa tak bisa percaya padaku?"
"aku percaya kamu tapi..."
"itu namanya belum percaya. apa yang tidak kamu percayai dari aku?"
"aku juga tak tahu mengapa aku masih belum dapat percaya padamu. hal itu buruk, dan aku mau menghilangkannya."
"yasudah, lalu, kita harus apa untuk menyelesaikan masalah ini?"
"aku harus percaya kamu."
"lalu?"
"untuk percaya, aku harus belajar lebih keras lagi."
"baiklah kalau begitu... kamu tau, mau sekeras apa seorang pria menggoda, asalkan wanitanya tak menanggapi, maka tak akan ada yang terjadi."
"iya... hanya, aku takut memikirkan, bagaimana bila nanti akan ada pria yang lebih baik dari aku dan bertemu denganmu."
"hahaha kalau begitu itu lucu.. mengapa tak kau balik saja, coba kau pikirkan bagaimana perasaanku juga. jika aku memiliki ketakutan yang sama, kamu bertemu dengan wanita yang lebih baik dari aku."
"...."
"cemburu? pasti. tapi aku hanya sepintas saja, rasa cemburu berlebihan hanya akan menimbulkan masalah diantara kita. dan itu sangat membuang waktu."
"..."
"aku sayang kamu..."
"aku juga sayang kamu..."

Lalu kera betina yang sedari tadi mengamati kami membuang muka saat kami memberikan perhatian padanya. Kami berjalan pergi dan dia mengikuti, tampak jejak air mata pada wajahnya, dia sedang bersedih hati. Mungkinkah dia diusir dari kelompoknya?





note : aku tahu, kau bukanlah semestaku, dan jangan mencoba untuk menjadi semestaku. cukup menjadi milikku yang memiliki aku, maka kau rajai aku dan duniaku, jadikan aku ratumu serta duniamu. 

Selasa, 11 Juni 2013

Kala Aku (waktu itu) Suka Barbie

Hai anak Tuhan yang tercipta dari tanah, begitu pula aku. Telah dihembuskan nyawa dari-Nya untukmu dan untukku agar dapat menikmati sejenak dunia, maka syukurilah. Telah mengalir darah segar penuh kehidupan dari-Nya untukmu dan untukku agar kau dan juga aku dapat merasakan sirkulasi semesta, maka berterimakasihlah.


Untuk tulisan seterusnya ke bawah, kalau ada kamu pasti ada aku, jadi jangan kira kamu sendirian. Aku ada di sampingmu, ikut menyimak apa yang kamu simak. Memperhatikan wajahmu sesekali yang terlihat serius. Menggeletakkan kepalaku ke meja yang berbantalkan tanganku sendiri. Berharap kau akan memperhatikanku, karna aku sedang mencuri perhatianmu. Mungkin kau akan bersikap manis lalu membelai lembut rambutku, karna kau lihat aku cemberut, padahal aku sedang pura-pura. Oh iya, aku sedang bersikap manja, aku harap kau juga mengerti. *ketcup*

❤❤

Mungkin pernah suatu ketika kau mengingat kembali apa yang kau lakukan di masa lalu, walaupun itu baru terjadi satu hari yang lalu, mari sebutlah masa lalu. Karena itu memang masa atau waktu yang sudah berlalu, maka dia disebut kemarin, bukan sekarang.

Di masa lalu, aku mempercayai diriku adalah gadis kecil yang sangat cinta pada semua hal yang berbau, berwarna, dan ber-yang -lainnya yang lucu, manis, merah muda dan pita. Aku membeli sebuah karakter boneka yang amat akrab dengan gadis kecil seumuranku (kala itu).  Aku rawat kulitnya, iya, sungguh, walaupun ia hanya boneka. Kira-kira satu bulan pertama aku merawat  kulitnya dengan cara membersihkan. Aku sikat kulitnya yang mulai berdaki karna sering aku mainkan. Setelah itu memolesnya dengan sentuhan lotion. Wah, cantik lagi, kataku (saat itu).

Bulan berikutnya, aku masih menghabiskan waktu dengan dia, bonekaku. Aku jarang memainkan dia dengan boneka yang lain, kurang aku ajari sosialisasi kala itu, kasihan ya. Tapi, dia punya aku, apalagi yang dia butuhkan.(?)

Bulan berikutnya lagi, ada suatu acara televisi yang membahas tentang kecantikan. Mereka menggunakan ramuan herbal untuk meluluri kulitnya. Aku mau juga! Aku ambil lulur mama yang notabennya berwarna kuning. Aku luluri tangan-kaki-perut bahkan wajah. Saat itu, si boneka ada di sampingku, hanya diam walau aku sibuk begitu. Akhirnya, setelah sedikit kering, aku bersihkan lulurku dan mulai meluluri yang lainnya. Iya, yang lainnya itu si boneka. Aku diamkan lulurnya membaluti kulit boneka hingga kering. Aku cuci bersih. Eh tidak, eh kenapa ini, eh kok gini, iiih kok gitu. Hih! Hasil lulurku terpampang nyata di kulitnya. Warna kuningnya tak mau hilang, sudah meresap sepertinya. Bonekaku yang aslinya berkulit wanita Eropa, berubah menjadi wanita Asia. Hebat? Iya kalau sekarang, dulu? Aku buang bonekanya, walau tak murah.


Sejujurnya, aku masih sangat ingin bercerita tentang boneka kesayanganku itu. Sayang, setelah aku buang, aku tak tahu apa yang harus aku ceritakan. Akibat lulur kuning tradisional ! Haaaa! Lupakan!

Dia menjadi kesayangan karna harganya tak murah (ini penting saat kamu mempunyai barang, ingat harganya, maka kau akan menghargainya) dan buatku, dia sempurna (waktu itu). Dia cantik, terlihat manis, terlihat tahu segalanya, terlihat memiliki segalanya (asal kita mampu membelinya), dan dia ter-setting sangat sangat sempurna. Dia diciptakan memang untuk kepuasan mata juga kepuasan batin yang mungkin tak bisa kita dapatkan di dunia nyata. Pacar yang sempurna, misalnya. Seperti yang kita tahu, nobody perfect. Just a doll have it, and its happen for-ever.


So, we are not a doll. Our live knows limit. We can’t live for-ever and ever. And just for you to know, cause we are never-ever-ever gonna back together (re:sing), eh not that one! I mean, we will never-ever-ever gonna be the perfect one. There’s will be a person beside us who make it perfect, like family or … yeah you know. So, have a good live! And be alive. Be thankful and love yourself-also another. *xoxo*

Rabu, 22 Mei 2013

Gaun Lumpur Wanita dan Gereja

Maka berkatalah seorang wanita pada langit, "apakah Tuhan-ku mau aku merasa cukup? Menyudahi apa yang telah Ia pertemukan?". Runtuhlah tanggul kokoh yang ia gunakan untuk menghalangi matanya membanjir. Ia hela nafas dalam-dalam, mencoba menahan airmatanya meluap semua. Mencegah matanya kering. "apakah hati yang Tuhan pertemukan ini lagi-lagi tak diizinkan mencoba? Aku masih mau! Walau tertatih menujunya, Tuhan". 


Duduk tersungkur pada rumput yang berembun, lagi-lagi ia lakoni. Tak perduli dingin udara pagi menjeratnya. Ia tetap disana, sendiri.



Lama, terlalu lama ia terdiam. Tak mengucapkan satu pun kata hingga ia tertidur di atas pulau hijau penuh lumpur. Ia dekapkan kedua tangannya di depan dada, menahan dingin. Susah payah dia bangunkan dirinya sendiri. Melawan lemahnya, melawan egonya. 



Ia duduk, dengan mata berkantung hitam dan membengkak. Rambutnya basah, bekas hujan. Gaun putihnya kotor dimana-mana. Lumpur telah mengambil alih kecantikan gaun putih suci tersebut. Dadanya sesak, merindukan seseorang. Hatinya penuh luka, menantikan kehadiran seorang manusia. Bibirnya yang tipis dengan balutan lipstik warna peach telah pudar. Makin eratlah pelukan tangannya kepada gaun tersebut. Ia tak perduli sedikit pun pada lumpur yang basah itu. Ia remas kuat-kuat kakinya. Ia paksakan berdiri, walau menggigil dan sesekali terjatuh keras.



Lonceng gereja berdentang, suaranya memanggil manusia dimana-mana. Ia naikkan kepalanya yang sedari menunduk, memerhatikan kakinya yang telanjang. Ia lupa dimana dan kapan terakhir kali mengenakan sepatunya. "Tuhan, hati manusia yang akan kau satukan sedang sendiri, biarkan ia sendiri."
Sang wanita berjalan anggun, seperti yang seharusnya ia lakukan. Ia sambut dengan senyum wajah-wajah yang mengkhawatirkannya. Ia gandeng ayahnya, membisikkan kata untuk mengantarkannya sampai di pelataran gereja. Tanpa satu pun kata, mereka jalan perlahan. Melewati manusia-manusia yang penuh dengan mimik terheran-heran. Ia makin erat memegang tangan ayahnya, lalu pintu gereja ramai, oleh seorang pria.

Senin, 13 Mei 2013

Peraduan Cinta Wanita dan Gadis

Dia terlihat seperti wanita yang lain. Sorot matanya tajam. Pipinya tirus menyatu dengan bentuk wajahnya yang bulat telur. Rambutnya yang pendek seleher ia kuncir kuda berantakan. Tak ada sedikit pun poni yang ia tinggalkan untuk menutupi dahinya. 

Dia duduk di teras luar sebuah cafe. Ia memilih meja kecil dengan tiga kursi yang menghadap jalan raya. Lilin yang bergelas, remang-remang memberi cahaya pada senyumannya yang hambar pada seorang gadis. Gadis itu membawakannya buku menu yang sebesar buku tulis biasa. Menawarkan menu spesial untuk makan malam pada hari itu. Si gadis mendengarkan dengan baik tiap kata yang wanita itu ucapkan. Ia tulis sedikit berantakan pada CO yang ia genggam di tangan kiri. Dengan senyum yang ramah ia mengambil kebali buku menu dan berterimakasih. Si gadis pergi, membiarkan si wanita kembali sendiri.

Syal yang melilit lembut pada leher wanita itu sepertinya tidak mampu menghalangi angin malam. Ia rapatkan kembali jaket jins hitam yang ia kenakan. Sebentar-sebentar, ia dekap kedua tangannya di depan dada. Ia tatap lurus ke depan.

Sebotol besar beer dingin menyambutnya, bersamaan dengan senyum ramah si gadis. Ia ucapkan terimakasih sembari menuangkan beer pada gelas kosong. Lalu si wanita kembali diam dan sang gadis hanya dapat berlalu pergi. 

Sang gadis menatap wanita itu dari kejauhan. Dibalik kaca yang membatasi ruang dalam dan teras, si gadis terus menatap setiap gerakan kecil yang wanita itu lakukan. Si gadis berharap dapat menemani sang wanita menenggak minuman beralkhohol tersebut. Menghangatkan tubuh dan melumerkan kekakuan yang tercipta diantara mereka. Tapi tidak, ia tidak bisa. Ia tidak bisa membantu sang wanita menciptakan dentingan gelas yang bertautan. Maka diamlah si gadis. Ia tatap meja kosong di utara, mengalihkan pandangan ke segala arah.

Mata sang gadis berhenti menerawang ke segala arah. Berhenti pada seorang wanita lain yang datang menghampiri wanita berjaket jins hitam. Mereka mengadu pipi dan memeluk satu sama lain. Ia raih ponsel yang ada di sakunya. Ia ketikkan sebuah pesan singkat lalu pergi meninggalkan semuanya. Benar-benar semua hal.

"Jelaslah sudah, aku tidaklah lagi ada disitu, disampingmu, dipikiranmu. Kupikir kau akan mengajakku bercengkrama, memintaku untuk membuat denting gelas walau bukan beer yang berada pada gelasku, namun hanya lemon tea dingin. Dia cantik, dan terlihat lebih mampu menjagamu. Selamat."





note: cerita ini terinspirasi oleh seorang wanita yang selalu datang dan duduk meramaikan sebuah cafe di Yogyakarta. Terimakasih.

Sabtu, 04 Mei 2013

Sang Gadiskusi Hati

Pernah suatu ketika seorang gadis menantang kemampuannya sendiri. Dalam segala hal ia coba, ia belah-belah dan pisah-pisah semua perbedaan membentuk pattern baru yang mungkin asing untuk dirinya sendiri. Ia mencoba bertahan, demi sebuah alasan, demi sebuah fakta yang tak bisa ia hindari. 

Lalu sampai ia mendengar sebuah kata-kata dari seorang pria paruh baya, "Saat kau berjalan dalam ruang gelap, jadilah cahaya yang terang dan menerangi. Jangan justru kamu terlena dan redup akhirnya menjadi satu dengan gelap". Ia ingat, semenit yang lalu tepat ia akan menyerah akan semua tantangan yang tidak ia bayangakan. Tidak lagi kini, ia tersenyum, hampir menangis karenanya. Ia memang tak begitu menyukai pria paruh baya ini, tapi apa ia katakan benar adanya. Tentu saja pria ini sudah pernah berkali-kali tenggelam dalam lautan garam pengalaman. Ia tulis keyakinan dan kepercayaannya pada selembar kecil kertas. Ia pilih tinta warna merah sembari membayangkan mimpinya, ambisinya, yang tak pernah memaksa. 

Malam ini, sang gadis sedang memikirkan yang lain. Memikirkan seorang lelaki yang sekitar lima tahun lebih tua secara umur darinya. Isi otaknya yang misterius selalu menjadi favorit sang gadis. Tak pernah si gadis mampu menerka apa yang ada dalam pikiran lelaki itu. Sangat tidak bisa, selalu sekaligus kadang terlalu out of the box. Sang gadis terkungkung dan menikmati ada dalam tengah-tengah otaknya. Sang gadis jatuh cinta.

Sang gadis terkadang merasa sangat ingin menyambut si lelaki di pelukannya. Kalau perlu, saat si lelaki lelah akan panggung yang digarapnya, si gadis akan memijat lembut tiap jengkal lelahnya. Melemaskan kembali otot yang muak akan keramaian dunia. Menenggelamkan si lelaki dalam syahdu sepi cintanya. Memeluknya hangat dan menenangkan otaknya dari keriuhan yang tak ia harapkan. Sang gadis ingin si lelaki menganggapnya rumah. Si lelaki bisa kembali kapan saja, hatinya terbuka tiap waktu hanya untuk dia.

Kamis, 11 April 2013

Hanya Cerita Kecil, sungguh.

Pagi ini aku dibangunkan oleh suara ketukan pelan di pintu kamar. Oh sudah pukul enam lebih sepuluh menit pagi. Segera aku bekerja keras untuk membuka mata dan menyadarkan diri. Sembari menata bantal yang berserakan, aku coba ingat-ingat percakapan kita semalam. Hanya sekedar memeriksa ulang, apakah yang aku ucapkan semalam dengan atau tanpa sadar. Aku matikan laptop yang ternyata dari semalam masih menyala. Kasian sekali dia, tak istirahat seharian. Ditambah canduku yang tak bisa jauh darinya. Jariku selalu saja ingin mengetik tentang seseorang walau pagi buta sekalipun. 

Aku kesiangan dan ini hari terakhir aku mendapatkan tumpukan kertas soal bimbingan intensif dari sekolah. Dan menjadi awal rasa khawatir pada yang lain. Iya, ujian nasional. Ah, tidak kamu tidak ujian sekolah sama saja. Memenuhi otakku. 

Seperti biasa, aku pasang dua kabel di telinga. Melantunkan hanya dua lagu dari Tulus (re:nama orang). Akhir-akhir ini, dua lagunya yang berjudul Sewindu dan Teman Hidup gemar sekali membuat telingaku jatuh cinta. Semacam narkoba untuk telinga-hingga entah kapan. 

Sun bathing! Tumben sekali hari ini mentari berkilauan lebih cerah dari biasanya. Lebih jingga dari yang seharusnya. Aku sengaja menikmati cahayanya berlama-lama. Aku pelankan kecepatan motor yang aku setir. Sembari menatap mentari di timurku dan melantunkan lagu Sewindu. Untung saja hanya jalan kecil tanpa keraiman kota jalan yang aku lalui. Sehingga aku bebas merasa aman walau pikirannya melayang, berimajinasi. 

Jalan 'mandi matahari'ku hampir berakhir. Susah payah aku kembalikan lagi konsentrasi ke jalanan. Meliuk-liuk menghindari lubang-lubang yang bervariasi dalam dan lebarnya. Payah, aku terjebak satu lubang. Lumayan terasa menyakitkan dan berisik, apalagi dengan motor ini-yang shock breakernya tak bisa diandalkan. Maklum sajalah, motor tua. 

Kembali aku memacu kecepatan di jalan raya, di lingkar selatan kota Jogja. Selayaknya wanita yang lebih persis pria, aku fokuskan mata pada kaca. Aku lirik kanan, memastikan jalanan aman dan bebas kendaraan. Begitu seterusnya hingga aku sampai di tempar parkir sekolah. Kira-kira hari ini aku menghabiskan dua puluh menit di pagi hari untuk menyusuri jalanan dari rumah menuju sekolah. Lain kali harus lebih cepat, biar lebih terlihat pria, bisa jadi.

Aku matikan mesin motor dan pelan-pelan melepaskan pelindung kepala. Kenapa pelan-pelan? Ya karena hari ini aku sedang bertingkah layaknya wanita. Aku memakai bandana berwarna biru di kepala. Entah, sedang kerasukan ratu demit darimana. Aku tak mau menjadi berantakan, jadi aku harus perlahan melepasnya.

Kunci sudah terlepas dari tempatnya, aku lempar keatas dan aku tangkap lagi lalu aku masukkan di saku rok samping, seperti biasanya. Penutup hidung masih terpasang, begitu pula kabel handsfree. Sesampainya depan pintu kelas, aku lepas sepatu, seperti yang seharusnya. Kulangkah kakiku dan segera menuju tempat duduk favoritku, meja kesayanganku. Hari ini aku tidak terlalu banyak bicara, lebih mirip cuek pada segala hal. Aku lepas penutup hidung. Lalu kulepas handsfree yang memutar lagu Sewindu, hilanglah dunia kecilku.

Tanganku mencari-cari suatu benda bergerigi, berwarna biru dan panjang. Aku merasa sudah meletakkannya di dalam tas tadi, hanya sedikit kesulitan untuk menemukan. Akhirnya, sisir! 

Aku sudah bilang, aku seperti sedang dirasuki ratu demit. Aku menenteng sisir itu ke kaca yang ada di dalam kelas. Aku tata rambutku sebegitu rupa hingga menurutku sudah cukup rapi. Tak terlewatkan, bandana biru tentu saja aku benahi. 

Aku masih tak tahu apa yang ingin aku lakukan selagi menunggu bel berdentang. Berat hati akhirnya aku keluarkan map biru bertuliskan 'Matematika' di depannya. Kuputuskan untuk menyelesaikan soal-soal yang tak sempat aku jamah di hari sebelumnya.

Bel pun berbunyi nyaring, speaker kelas dengan volume keras menginstruksikan untuk menyiapkan diri. Iya, tiap pagi kami harus berdiri dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Dasar mental nasionalisme yang ala kadarnya, aku pun cuek, aku masih duduk sambil menatap soal terakhir. 

Sekolah dimulai, dan aku harus berhenti berdongeng. Untuk kali ini cukup sekian, see ya! soon.

###