Jumat, 19 September 2014

HELAI-HELAI KENANGAN


Tahukah kau sayang
Pernah pujaan hatiku yang dulu... hilang
Ia segan untuk kembali pulang
Walaupun sudah ku paksa sayap rapuh ini terbang
Ia enggan kembali datang
Dia meninggalkan ku bersama ribuan helai kenangan
Sosoknya memilih menjadi bayang
Dan aku hanya dapat berandai serta berangan

Masih saja sayang

Aku pernah mencoba untuk tetap tenang
Aku yakin ia kan menemukan pulang
Aku percaya Tuhan akan beri kami terang
Namun,
Aku harus rela terbatuk-batuk oleh berjuta-juta tentang
Semua langit biru cerah seketika menjadi petang
Ia tak akan pulang, sayang..

Kembali lagi pada tubuh rapuh dan hati yang belum sembuh; Aku.

Padamu dan Khusus Untukmu

Pada mulut yang memiliki banyak anak
Tak mampu berdiri pada akarnya sendiri
Dan bergantung menyusahkan makhluk lain,
bagai benalu...

Pada hati yang tak mampu membuat pengakuan diri
Terpenjara dalam ruang sepi kemunafikan
Dan lalu menunggu hingga ajal menguburkan,
ribuan dosa manusia tanpa pendirian..

Pada wajah yang selalu menutup diri kala kalah
Dan berpesta pora kala memenangkan salah
Bertumpuk-tumpuk jenis dan macam manusia dalam satu tubuh
Jengah yang kau puja-puja dan kau anggap indah

Padamu dan hanya untukmu wahai manusia tanpa pendirian
Pernahkah kau berfikir untuk tiba pada satu haluan?
Yang sama?

Dan kepada wajah tanpa arah,
Perkenalkanlah dirimu pada salah.


Sepatu Boots Merahku

Seorang pria paruh baya lewat tepat di depanku. Entah sadar atau tidak, ia sedang menutupi pandangan mata kameraku untuk merekam langit siang ini. Sosoknya tak terlalu kekar namun ia tak jua kurus. Badannya diselimuti kulit berwarna coklat gelap dengan berhiaskan keringat yang membuat kulitnya nampak bersinar. Wajahnya terlihat masih rupawan walau banyak kerut membaluti, kerut yang bercerita tentang kehidupannya selama di bumi. Kepalanya yang botak di depan membuat mataku sedikit silau dan berimajinasi tentang sosok pria tangguh berpikir ala professor.

Aku matikan kameraku sejenak sambil duduk diatas rongsokan televisi yang tergeletak disana. Wajah tua itu mencari-cari sesuatu, matanya menelisik kesana kemari. Dengan lembut dan mata sedikit menyipit ia lambaikan tangan ke arah anak laki-laki yang sedang bermain dengan tumpukan botol bekas.

"Jo, Bejo! Ayo bali! Bapak sudah dapat yang kamu mau Jo!"
"Iya to pak? Asiiikkk!!"

Anak laki-laki itu dengan segera melempar semua mainan botol bekasnya. Berlari kencang diatas timbunan sampah yang sedikit menyulitkannya.

"Mana pak pesenanku?", wajahnya girang dan berbinar-binar menunggu.
"Nyoooh kiiii. Koe ki cen bejo tenan kok!". Pria itu tertawa sembari mengambil sesuatu di balik kaos lusuh warna putih yang ia kenakan. Sebuah sepatu boots yang sedikit kusam namun masih bagus berwarna merah menggemparkan tempat pembuangan akhir itu. Si anak laki-laki berteriak senang dengan kencang dan berlari kesana kemari dan berakhir pada gendongan di pundak sang ayah.

"Pak, terimakasih ya! Aku sueeeneng tenan loh pak! Aku janji aku bakal kerjo sing ruajin, mbantu bapak ngumpulke botol bekas wes!"

Ayahnya tertawa terbahak-bahak bersama sang anak dan melangkah pergi, meninggalkan aku yang sibuk sendiri; entah sadar atau tidak, aku menangkap mereka dalam kameraku.

Ternyata, banyak hal yang tak aku ketahui. Seperti, betapa berartinya sepatu boots bekas berwarna merah yang sudah aku buang kemarin hari.