Rabu, 23 Januari 2013

ANTONIM



Antonim Satu
Saat aku ingin melihat indahnya matahari terbenam dari atas gunung, maka aku harus berusaha NAIK dengan segala cara. Aku tak boleh menyerah apapun rintangan dan resikonya. Sekalipun belum tentu matahari memberi garansi ia akan menyembunyikan diri dengan indah dibalik gunung, aku harus siap akan segala hasil yang aku dapatkan. Karena sebenarnya dalam perjalanan menuju ke atas, aku telah melalui banyak hal. Dan hal-hal tersebut telah mengajarkanku untuk menjadi seseorang yang lebih baik. Tiba saatnya aku menikmati kerjakeras, matahari enggan bersahabat denganku. Tak apa, aku akan TURUN esok hari dengan keadaan yang lebih baik. Tak dipungkiri sore itu aku terbawa emosi karena lelah dengan perjuangan. Aku akan menangis, merintih dan mengeluh namun aku berjanji hanya pada sore itu, dan aku akan tidur untuk melenyapkan mimpi lama dengan mimpi yang baru. Kusambut pagi dengan senyum, bukan karena matahari muncul dengan indah, namun semua hal yang aku lihat indah. Semua menjadi lebih baik saat aku sudah menyudahi emosi itu. Aku menuruni gunung (masih) dengan senyum. Akan kubawa berita bahagia ini sesampainya di bawah. Aku akan mengajarkan pada mereka yang belum pernah NAIK agar siap tak mendapatkan hasil yang diinginkan di atas. Setelah itu akan aku ajarkan mereka untuk turun dengan hati-hati agar berita yang ingin mereka sampaikan terjaga dengan baik di bawah. Takecare Matahari Desembruari! Aku tak akan mencarimu lagi, karena aku sudah pernah menemukanmu, dan aku tahu kau tak abadi untukku. Karena kamu, (hanya)lah Matahari yang aku tunggu dalam bulan Desember dan Februari. Yang aku tahu, kalau aku mencintaimu, aku akan menunggumu tiap waktu. Jadi, lekaslah kau mencari penggemar baru. Aku (pernah) menyayangimu! :*

Antonim Dua
Dua hati yang sedang (terlalu) terbuai rasa. Entahlah rasa itu sebagai apa, mungkin kamu iya kamu yang sedang membaca ini bisa membantuku dengan berimajinasi sesuai yang kamu mau. Tambahkan cinta, sayang atau nafsu di belakang dan selalu mengikuti kata “rasa”. Rasa itu semakin menggebu, membuat dua sejoli tersebut menjadi amat bodoh dan amat pintar. Mereka menjadi amat bodoh saat rasa yang menjalar tak mereka control bahkan saat mereka tak tahu arti dari rasa itu sendiri dan apa yang mengikat mereka untuk tetap begini, nyaman-kah? Oh cukup kata nyaman untuk mengikat rasa tersebut, miris, tragis. Yang mereka tahu hanyalah TAWA dan canda yang mereka taburkan kemana-mana. Seakan apa yang mereka jalani atas dasar rasa tersebut adalah sebuah lelucon,kasihan. Tapi  mereka juga amat pintar, sayangnya saat  mereka atau salah satu dari mereka menyadari bahwa ada sesuatu yang salah dengan rasa yang mereka gunakan sebagai papan untuk mendasari. Akhirnya pun mereka atau salah satu dari mereka MENANGISI rasa yang sudah terlanjur tercipta namun kini terasa sia-sia. Pupuslah sudah harapan mereka atau salah satu dari mereka untuk melanjutkan rasa. Padahal, mereka belum sampai pada kata komitmen yang pasti. Ah, kasian sekali salah satu dari mereka. Pasti yang satu sudah lebih berusaha dan mendominasi untuk menjadi sabar dan penuh pengertian. Tak mungkin dua-duanya, karena kalo memang rasa yang kamu tambahkan itu benar, mereka sudah pada tali komitmen sekarang. Ya seharusnya kita dulu belajar antonym bersama untuk melihat kemungkinan apa yang aku hadapi saat memperjuangkan kamu, kita. Iya, ini bukan lagi soal mereka atau salah satu dari mereka. Tapi ini soal kamu dan kita. Ah setidaknya (pernah) menjadi kita yang abu-abu juga tak buruk. Terima kasih atas semua kenangannya. Aku (pernah) menyayangimu! :*

Antonim Tiga
Kali ini aku lelah bermain kata denganmu. Aku lelah kau selalu bertahan dengan argumenmu. Tiap detik dari hubungan yang menggantung ini aku selalu mencoba untuk memahami keadaanmu. Aku lelah bermain dengan pilihan dua jawaban. Aku lelah kau berfikir yang tidak sejalan denganku. Aku memilih untuk mengambil jalan belok ke KANAN, disana aku lihat ada papan yang bertuliskan “menuju kita”. Betapa girangnya aku membaca papan tersebut. Dengan kecepatan rata-rata yang aman dan standar, aku setir ke kanan. Namun tiba-tiba dengan cekatan kamu mengambil alih kemudi dan memutar balik, ke arah KIRI. Disana tak kulihat ada sesuatu yang menarik. Disana hanya berjejer kata “nyaman seperti ini” berulang-ulang. Tiap pemberhentian kita selalu rebut dan berarkhir di depan papan “nyaman seperti ini”. Oh tidak! Kali ini kita berhenti berjalan dan parkir di depan papan yang lain, yaitu “saatnya keputusan”. Dengan sedikit menahan ego dan emosi yang hampir membanjiri jalanan itu, aku turun. Tak mungkin dalam satu “wahana” itu akan ada dua supir yang saling mengeluarkan taring untuk meminta putar balik. Aku mengalah, aku akan menjadi penumpang, yang duduk di samping supir, sayangnya bukan dengan “wahana”mu. Aku masih menunggu, seseorang yang berkendara menuju arah kanan bagiku dan bagi kami nantinya. Dan sungguh, aku tak perduli denganmu. Walau kau sudah meningkatkan level wahanamu. Walau kau sudah menemukan pendamping saat kau menyetir. Walau kau akhirnya akan berhenti pada suatu papan “karma” dan karena suatu hal mau tak mau kau harus berhenti di depan papan tersebut. Aku ucapkan selamat mencari dan menunggu wanita yang mau merangkak demi kamu. Karena demi menyelamatkanmu dari papan “karma” tersebut, wanita itu harus merangkak dan meraih “kesempatan” yang tersembunyi dalam karma itu sendiri. Selamat mencari, kamu yang (pernah) aku sayangi! :*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar