Antonim Satu
Saat aku ingin melihat indahnya
matahari terbenam dari atas gunung, maka aku harus berusaha NAIK dengan segala
cara. Aku tak boleh menyerah apapun rintangan dan resikonya. Sekalipun belum
tentu matahari memberi garansi ia akan menyembunyikan diri dengan indah dibalik
gunung, aku harus siap akan segala hasil yang aku dapatkan. Karena sebenarnya
dalam perjalanan menuju ke atas, aku telah melalui banyak hal. Dan hal-hal
tersebut telah mengajarkanku untuk menjadi seseorang yang lebih baik. Tiba
saatnya aku menikmati kerjakeras, matahari enggan bersahabat denganku. Tak apa,
aku akan TURUN esok hari dengan keadaan yang lebih baik. Tak dipungkiri sore
itu aku terbawa emosi karena lelah dengan perjuangan. Aku akan menangis,
merintih dan mengeluh namun aku berjanji hanya pada sore itu, dan aku akan
tidur untuk melenyapkan mimpi lama dengan mimpi yang baru. Kusambut pagi dengan
senyum, bukan karena matahari muncul dengan indah, namun semua hal yang aku
lihat indah. Semua menjadi lebih baik saat aku sudah menyudahi emosi itu. Aku
menuruni gunung (masih) dengan senyum. Akan kubawa berita bahagia ini
sesampainya di bawah. Aku akan mengajarkan pada mereka yang belum pernah NAIK
agar siap tak mendapatkan hasil yang diinginkan di atas. Setelah itu akan aku
ajarkan mereka untuk turun dengan hati-hati agar berita yang ingin mereka
sampaikan terjaga dengan baik di bawah. Takecare Matahari Desembruari! Aku tak
akan mencarimu lagi, karena aku sudah pernah menemukanmu, dan aku tahu kau tak
abadi untukku. Karena kamu, (hanya)lah Matahari yang aku tunggu dalam bulan
Desember dan Februari. Yang aku tahu, kalau aku mencintaimu, aku akan
menunggumu tiap waktu. Jadi, lekaslah kau mencari penggemar baru. Aku (pernah)
menyayangimu! :*
Antonim Dua
Dua hati yang sedang (terlalu)
terbuai rasa. Entahlah rasa itu sebagai apa, mungkin kamu iya kamu yang sedang
membaca ini bisa membantuku dengan berimajinasi sesuai yang kamu mau. Tambahkan
cinta, sayang atau nafsu di belakang dan selalu mengikuti kata “rasa”. Rasa itu
semakin menggebu, membuat dua sejoli tersebut menjadi amat bodoh dan amat
pintar. Mereka menjadi amat bodoh saat rasa yang menjalar tak mereka control
bahkan saat mereka tak tahu arti dari rasa itu sendiri dan apa yang mengikat
mereka untuk tetap begini, nyaman-kah? Oh cukup kata nyaman untuk mengikat rasa
tersebut, miris, tragis. Yang mereka tahu hanyalah TAWA dan canda yang mereka
taburkan kemana-mana. Seakan apa yang mereka jalani atas dasar rasa tersebut
adalah sebuah lelucon,kasihan. Tapi
mereka juga amat pintar, sayangnya saat
mereka atau salah satu dari mereka menyadari bahwa ada sesuatu yang
salah dengan rasa yang mereka gunakan sebagai papan untuk mendasari. Akhirnya
pun mereka atau salah satu dari mereka MENANGISI rasa yang sudah terlanjur
tercipta namun kini terasa sia-sia. Pupuslah sudah harapan mereka atau salah
satu dari mereka untuk melanjutkan rasa. Padahal, mereka belum sampai pada kata
komitmen yang pasti. Ah, kasian sekali salah satu dari mereka. Pasti yang satu
sudah lebih berusaha dan mendominasi untuk menjadi sabar dan penuh pengertian.
Tak mungkin dua-duanya, karena kalo memang rasa yang kamu tambahkan itu benar,
mereka sudah pada tali komitmen sekarang. Ya seharusnya kita dulu belajar
antonym bersama untuk melihat kemungkinan apa yang aku hadapi saat
memperjuangkan kamu, kita. Iya, ini bukan lagi soal mereka atau salah satu dari
mereka. Tapi ini soal kamu dan kita. Ah setidaknya (pernah) menjadi kita yang
abu-abu juga tak buruk. Terima kasih atas semua kenangannya. Aku (pernah)
menyayangimu! :*
Antonim Tiga
Kali ini aku lelah bermain kata
denganmu. Aku lelah kau selalu bertahan dengan argumenmu. Tiap detik dari
hubungan yang menggantung ini aku selalu mencoba untuk memahami keadaanmu. Aku
lelah bermain dengan pilihan dua jawaban. Aku lelah kau berfikir yang tidak
sejalan denganku. Aku memilih untuk mengambil jalan belok ke KANAN, disana aku
lihat ada papan yang bertuliskan “menuju kita”. Betapa girangnya aku membaca
papan tersebut. Dengan kecepatan rata-rata yang aman dan standar, aku setir ke
kanan. Namun tiba-tiba dengan cekatan kamu mengambil alih kemudi dan memutar
balik, ke arah KIRI. Disana tak kulihat ada sesuatu yang menarik. Disana hanya
berjejer kata “nyaman seperti ini” berulang-ulang. Tiap pemberhentian kita
selalu rebut dan berarkhir di depan papan “nyaman seperti ini”. Oh tidak! Kali
ini kita berhenti berjalan dan parkir di depan papan yang lain, yaitu “saatnya
keputusan”. Dengan sedikit menahan ego dan emosi yang hampir membanjiri jalanan
itu, aku turun. Tak mungkin dalam satu “wahana” itu akan ada dua supir yang
saling mengeluarkan taring untuk meminta putar balik. Aku mengalah, aku akan
menjadi penumpang, yang duduk di samping supir, sayangnya bukan dengan
“wahana”mu. Aku masih menunggu, seseorang yang berkendara menuju arah kanan
bagiku dan bagi kami nantinya. Dan sungguh, aku tak perduli denganmu. Walau kau
sudah meningkatkan level wahanamu. Walau kau sudah menemukan pendamping saat
kau menyetir. Walau kau akhirnya akan berhenti pada suatu papan “karma” dan
karena suatu hal mau tak mau kau harus berhenti di depan papan tersebut. Aku
ucapkan selamat mencari dan menunggu wanita yang mau merangkak demi kamu.
Karena demi menyelamatkanmu dari papan “karma” tersebut, wanita itu harus
merangkak dan meraih “kesempatan” yang tersembunyi dalam karma itu sendiri.
Selamat mencari, kamu yang (pernah) aku sayangi! :*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar