Matahari Desembruari
Yang Pertama
Obrolan kecil dan hangat dari pagi membuka mata dan malam
saat mengistirahatkan mata serta hati. Tapi hatiku tak berhenti untuk selalu
mengingat canda dan obrolan yang kita ciptakan hari demi hari. Namun hatiku tak
mati, hatiku terus berdetak untuk menghidupkan apa yang telah kita lalui. Kamu,
seseorang yang mampir di mimpiku dalam beberapa bulan ini. Kamu, seorang yang
membuatku lebih perduli untuk membagi semangat dan hari. Kamu, seorang yang
membuatku lebih peka terhadap sikap dan kelakuaan orang lain. Kamu, yang
mengajarkanku untuk selalu berusaha menjadi lebih baik hari demi hari. Kamu,
seorang yang mengaturku agar menjadi kuat dan tidak bersandar pada si manja. Dan
kamu, seorang yang bermulut besar dan otoriter. Kamu, seorang yang dapat
mengajari namun tak dapat mengajarkan pada diri sendiri. Kamu, seseorang yang
melakukan sesuatu dengan setengah hati. Kamu, seseorang yang jarang menuntaskan
apa yang telah kau mulai. Kamu, adalah pembuat bara api yang akan menarik
orang-orang untuk mengetahui, tentang kita. Dan aku, adalah seorang biasa yang
selalu berusaha sabar, memaklumi serta mendinginkan bara api yang kau buat.
Aku, adalah seorang yang tutup mata, telinga namun tak hati demi kamu.
Masih terekam jelas, obrolan kita mengenai film Cinta
Tapi Beda yang disutradari oleh Hanung B. Film tersebut dituliskan oleh Dwitasari dengan apik dan
simple. Film tersebut, banyak sedikit mewakili kita, yang berbeda. Panjang jika
harus aku ungkapkan bagaimana kita bisa sejauh ini. Yang jelas jalan panjang
tersebut bukanlah jalan yang tanpa batu, kerikil, lubang maupun genangan. Jalan
tersebut lurus namun penuh tantangan sama seperti jalan yang harus dilalui
pasangan dalam film Cinta Tapi Beda.
Hampir saja bosan dan emosi menggerogotiku karena sikapmu
beberapa hari sebelum Cinta Tapi Beda tayang perdana. Sikapmu itu sangatlah
bukan kamu, seorang Robertus Ciko Wicaksono yang aku kenal. Memang wajar jika
kamu menyebalkan, tapi kali ini kamu bukan menyebalkan. Ada sesuatu yang hilang
dan melayang entah kemana dan karena apa. Aku coba merasakan apa yang hilang,
apa yang biasanya ada dan merangkul hatiku. Dan iya, itu adalah jiwamu.
Rangkulan hangat dari jiwamu itu melemah dan membuatku merasa dingin serta
asing bahkan saat aku tau namamu tetap Robertus Ciko Wicaksono.
Kali ini aku tak tahan, perasaan penasaran yang
menggelitik itu makin menjadi. Siap dengan segala kemungkinan, aku tetap nekat.
“Kamu
kenapa? Kamu beda Ko.”
“Ngga kenapa-kenapa kok.”
“Berusaha
aja bohong terus, tapi aku nggak akan percaya.”
Kita diam. Diam membuatku
berfikir bahwa aku diizinkan untuk menyelidikimu, lagi.
“Kamu
lagi ada masalah?”
“Aku
nggak tahu, aku bosen aja di rumah.”
Wajar
kalau Ciko merasa bosan. Liburan semester I dikelas XII ini memang tak banyak
yang bisa dilakukan. Jawaban Ciko itu membuatku merasa bahwa rinduku akan
segera dijawab olehnya.
“Ko,
mau main? Batalin aja nonton Cinta Tapi Bedanya, kita bisa nonton besok-besok
kok kalau kamu mau.”
“Tapi
lagi kere...”
“Nggak
usah ketempat yang mahal-mahal, ngga usah beli-beli, yang penting main.”
“Oke
Bin, besok aku jemput jam empat sore ya! Kita ke Pantai Depok aja.”
“Oke
Ko!”
Bahagia
itu sederhana mungkin sedang berlaku. Aku tak ingin pergi ke tempat mewah,
megah ataupun minim barang murah. Bagiku, pilihan tempat main darimu sudah
cukup dan amat cukup untuk menghabiskan waktu berdua. Sudah aku bayangkan
betapa senangnya aku ke pantai di sore hari ditemani kamu. Membagi canda tawa
serta meleburkan rindu untuk sementara, karena aku tahu rinduku ini rakus dan
tak pernah puas. Rinduku ini terlalu sering datang untukmu.
Aku
sudah siap pergi, tepat di hari Cinta Tapi Beda tayang perdana. Aku merelakan
film tersebut, lagipula aku bukanlah seorang yang sangat menyukai kegiatan
“menonton”. Kau datang dengan teman setiamu, sang motor hitam bergaris kuning
yang biasanya aku sebut Bumblebee. Walaupun Bumblebee dominasi besar warna
tubuhnya adalah kuning, tetap saja motor dia itu Bumblebee dan tak bisa
diganggu gugat. Aku suka Bumblebee, tapi aku tak suka motornya. Aku lebih suka
orang yang mengendalikannya dan kadang nekat menggunakan “autopilot”.
Aku
tak tahu kamu bodoh atau sengaja bodoh agar perjalanan kita menjadi lebih lama
dan jauh. Sebenarnya kamu bisa saja langsung mengambil jalan ke selatan dari
persimpangan rumahku. Tapi kamu justru mengambil ke utara lalu ke barat dan
barulah ke selatan. Tapi aku tak perduli, asal denganmu aku tak keberatan untuk
ikut menjadi bodoh karena lupa memberitahumu.
Dalam perjalanan yang baru memakan 30 menit itu kamu
bilang kalau lapar. Akhirnya kita berhenti untuk makan di sebuah warung bakso.
Masuk warung tersebut aku sedikit aneh dengan pemandangan tepat depan mataku.
Disitu terduduk jelas seorang bapak-bapak paruh baya yang badannya berlumuran
semen, bahkan wajahnya. Mungkin itu hiburan, pikirku. Hingga akhirnya bapak
tersebut bangun dari duduknya dan berpamitan pergi. Lucu, dan hal tersebut aku
alami hanya denganmu, tak akan akan ada yang sama.
Kita
duduk berseberangan, bagus batinku. Aku bisa melihatmu dengan lebih jelas,
lebih jelas untuk melihat matamu yang tertutup kacamata itu misalnya. Kau
selalu terlihat biasa dan sederhana, selalu terlihat seperti yang aku suka.
Termasuk sederhana yang sampai terlihat lebih gembel daripada Bruno, anjingmu.
Dan lagi-lagi itu bukanlah suatu masalah bagiku, asal jiwamu tetap denganku.
Beberapa menit setelah kita duduk dan menyantap bakso, aku baru sadar kalau
disitu tertera tulisan “Bakso Pak Tupar”. Hal kecil itu menjadi lucu bagiku
karena nama ayah si Eka, teman karibku adalah Pak Tupar. Dan karena kamu juga
hobi jahil ke Eka, kamu pun memotret tulisan tersebut dan mengirimkannya kepada
Eka via chat smartphone. Mencoba menaikkan darah Eka, kamu justru bosan sendiri
karena Eka membahas hal lain. Dan kita masih bercanda hingga perut sudah tak
terlalu kenyang. Kita pun beranjak dari tempat tersebut dan aku mencoba merekam
semuanya dengan alami, entahlah denganmu.
Sebelumnya
aku tak pernah ke pantai melihat matahari terbenam dengan seorang yang aku
anggap beda. Kamu menjadi yang pertama, dan akan selalu begitu. Apalagi melihat
matahari di bulan Desember, ah mana mungkin aku akan begitu. Tapi denganmu, hal
itu menjadi mungkin, iya denganmu.
Perjalanan
sudah terasa akan berakhir dan sampai di tempat tujuan saat aku melihat
jembatan itu. Ya, aku kenal jembatan itu. Aku pernah melewatinya, sekali. Tak
sabar ingin segera menginjak pasir pantai, aku hanya mampu menikmati
pemandangannya. Kamu memarkir motor dan aku turun dengan perasaan lega. Ya
walaupun menyenangkan berada di belakangmu dan menggodamu, tapi badanku tak
dapat munafik bahwa ia sangat pegal dan menggerutu lesu.
Pasir
pantai yang hitam, kerumunan orang, bising motor ATV, deru ombak, angin laut,
uap air asin, aroma khas laut, bersihnya langit, ah biasa saja. Coba kalau aku
perbaiki, Pasir pantai yang hitam, kerumunan orang, bising motor ATV, deru
ombak, angin laut, uap air asin, aroma khas laut, bersihnya langit dan KAMU, ah
indahnya. Kamu mengoceh mengenai alasan memakai sepatu dan blablabla, buatku
itu hanyalah salah satu cara agar aku selalu mengingat aksen bicaramu, suaramu
dan yang terpenting, kamu. Kita duduk di pinggir pantai, seringkali bergurau
dan bercanda mengenai “sesuatu” yang kau buat dari pasir. Dan kamu masih jadi
Ciko yang mengesalkan. Kamu menaburi permen yang aku tawarkan dengan pasir agar
aku tak memakannya, sedangkan kamu? Kamu sungguh terlalu, kamu masih memakan
permen tersebut dengan lahabnya. Dan lagi-lagi hanya KAMU yang mampu begitu,
KAMU yang pertama mempertontonkan padaku betapa permen yang ditaburi pasir
pantai masih terasa enak dan menggiurkan.
Ombak
seperti iri pada kita, kurasa. Ia menyingkirkan kita dengan ombaknya yang
sampai ke pinggir terjauh dari pantai. Kita pun akhirnya beranjak dari tempat
tersebut dan berjalan ke arah timur menyusuri pantai sembari mencari toilet
yang bersih. Saat kamu berada di toilet, aku mencuri-curi untuk membalas chat
dari teman-temanku. Bukannya apa-apa, hanya kurasa tidak adil jika aku berjalan
denganmu namun fokus untuk handphoneku. Selesai dari toilet aku meyingkirkan
handphone dan segera berjalan menyusul di sampingmu. Kita kembali duduk berdua,
namun kali ini pantai lebih sepi. Dan seperti yang kita lihat, sepertinya tempat
tersebut menjadi tempat favorit bagi para pasangan. Jadi, apakah kita pasangan?
Ah aku tak tahu, dan tak mau tahu. Yang aku tahu adalah, hari ini, sore ini, di
kala sunset ini, kamu ada untukku.
Kita
menunggu hingga matahari tenggelam dan memperlihatkan eloknya. Namun kau
seperti melihat gurat tanda tanyaku, mengapa mataharinya samar dan malu-malu?
Kamu dengan angkuhmu, yang selalu aku sukai entah kenapa, menjelaskan padaku.
“Bintang,
ini bulan Desember, mataharinya lagi ngga disini, mataharinya lagi rada serong
kesana.”
Kamu melihatku sambil
menunjuk-nunjuk matahari dan sesekali membenarkan kacamata.
“Emangnya
gitu? Kata siapa? Ilmu sok tahu darimana itu?”
“Dikasih
tahu ngga percaya. Ya maklum sih anak IPS, ngga tahu ya? Ck, low level.”
“Percaya
sih yang anak IPA. Emangnya harusnya kalo pas posisinya disini itu kapan?”
“Harusnya
bulan Februari. Itu posisi mataharinya bagus buat liat sunset.”
“Oooh
gitu ya, hm yayaya.”
“Ciko,
aku mau tanya sesuatu. Tapi aku takut kalo kamu ngga suka terus marah.”
“Tanya
apaan emangnya?”
“Emm,
sebenernya aku ngga mau tanya hal ini ke kamu. Tapi aku risih dengerin kata
orang.”
“Oh
iya aku tahu …”
Dan
percakapan kita berlanjut hingga titik puncak. Aku menikmati semua kejujuranmu
dan keterbukaanmu. Aku larut dalam melodi suaramu yang bercerita banyak tanpa
aku harus berkata banyak pula. Aku luluh dalam pundakmu, dan aku masih mencium
aroma yang khas dari tubuhmu, persis dengan apa yang aku suka. Aku merasa,
jiwamu telah kembali merangkulku. Selamat datang kembali kamu, selamat menjadi
Ciko yang aku kenal lagi. Banyak hal yang kita bicarakan termasuk sifatmu yang
otoriter dan kebiasaan jelekmu yang suka mengerjakan sesuatu dengan
setengah-setengah. Mengenai bagaimana kamu memiliki konsep namun tak
benar-benar sukses mengaplikasikannya. Aku suka dengan keterbukaan ini, tapi
ini adalah harimu belum hariku. Berharap nantinya aku akan memiliki kesempatan
yang sama, untuk bercerita tentangku.
Jam
sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Kau mengajakku pulang. Walau berat, tapi
kita harus beranjak dari dudukan. Kita berjalan ke parkiran dan keluar dari
area wisata Pantai Depok. Sebisa mungkin aku harus berani memelukmu, mana
mungkin aku tega membiarkanmu kedinginan tanpa jaket dan dalam keadaan sedikit
migraine? Saat kita mengobrol mengenai orang-orang yang pernah berjalan di
hatimu, aku semakin ingin memeluk erat kamu. Tapi aku ingat, betapa bukan
siapa-siapanya aku buatmu. Tapi, apa aku tega membiarkanmu kedinginan tanpa
pelukan dari belakang? Sepertinya iya, aku tega. Hingga perjalanan yang jauh
dan melelahkan itu berakhir di depan rumah, aku masih saja belum memelukmu.
Pengecutkah atau benar keputusanku itu? Aku tak tahu, hingga kini masih saja
ingin memelukmu tanpa alasan dan ini sungguh menyiksa, terkadang.
Aku
masuk kamar, berbaring dan segera mengucapkan terimakasih untukmu lewat chat.
Memberi pesan agar kau hati-hati di jalan. Hari itu, tak semena-mena kita
kembali menemukan passion untuk bersama. Ada beberapa hal yang masih berbeda
mengenaimu. Kamu bukanlah Ciko yang suka otoriter kepada Bintang seperti
biasanya. Tapi aku, tak perduli. Aku tahu aku telah kau beri kepercayaan untuk
menjagamu dan apa yang kamu katakan. Hari itu, aku tutup cerita kita dengan
“Selamat Malam” dan “Sleep tight”.
Satu,
dua, dan tiga hari kita masih dapat memperbaiki diri dan kembali menemukan
passion untuk bersama lagi. Berjalan setelah itu, rasio up and down “hubungan”
kita mulai tak tentu. Kadang aku dan kamu berada di titik puncak rindu bertemu,
tiap ada kesempatan bagiku, selalu kuluangkan waktu untuk bersamamu. Berbagai
cara kita sama-sama mencoba dan berusaha. Namun makin lama aku merasa berjalan
sendirian untuk menuntun arah kita berdua. Aku merasa tak mampu dan kuat untuk
berdiri, berjalan serta mengais-ais “kita” lagi.
Aku
menyerah, aku mencoba ikhlas dengan melihat realita. Aku tak suka memaksa.
Walau begitu aku tetaplah Bintang dan aku selalu bintang karena kamu yang
mengatakannya. Mungkin aku redup, mungkin aku menjadi lebih buruk dan mungkin
bintang ini nantinya akan mati termakan usia dan ganasnya persaingan di
galaksi. Tapi kamu dan aku tahu, kita pernah memiliki satu bintang yang sama.
Aku dan kamu memiliki banyak cerita bersama. Tak sedih dan menangis, karena kau
tak suka aku menjadi demikian. Namun, tak munafik dan tak dapat kutampik, kalau
setiap kenangan yang manis maupun pahit
memiliki sisi sensitifnya tersendiri, spontan airmatamu akan membuktikan
seberapa berartinya kisah itu dalam perjalanan pencarianmu.
Aku
memang bukan yang paling terang
Aku
mungkin bukan yang paling besar
Tapi
pasti aku kamu adalah hubungan paling manis yg bukan dalam konteks “kita” ,
buatku