Senin, 21 Januari 2013

Matahari Desembruari


Matahari Desembruari
Yang Pertama
            Obrolan kecil dan hangat dari pagi membuka mata dan malam saat mengistirahatkan mata serta hati. Tapi hatiku tak berhenti untuk selalu mengingat canda dan obrolan yang kita ciptakan hari demi hari. Namun hatiku tak mati, hatiku terus berdetak untuk menghidupkan apa yang telah kita lalui. Kamu, seseorang yang mampir di mimpiku dalam beberapa bulan ini. Kamu, seorang yang membuatku lebih perduli untuk membagi semangat dan hari. Kamu, seorang yang membuatku lebih peka terhadap sikap dan kelakuaan orang lain. Kamu, yang mengajarkanku untuk selalu berusaha menjadi lebih baik hari demi hari. Kamu, seorang yang mengaturku agar menjadi kuat dan tidak bersandar pada si manja. Dan kamu, seorang yang bermulut besar dan otoriter. Kamu, seorang yang dapat mengajari namun tak dapat mengajarkan pada diri sendiri. Kamu, seseorang yang melakukan sesuatu dengan setengah hati. Kamu, seseorang yang jarang menuntaskan apa yang telah kau mulai. Kamu, adalah pembuat bara api yang akan menarik orang-orang untuk mengetahui, tentang kita. Dan aku, adalah seorang biasa yang selalu berusaha sabar, memaklumi serta mendinginkan bara api yang kau buat. Aku, adalah seorang yang tutup mata, telinga namun tak hati demi kamu.
            Masih terekam jelas, obrolan kita mengenai film Cinta Tapi Beda yang disutradari oleh Hanung B. Film tersebut  dituliskan oleh Dwitasari dengan apik dan simple. Film tersebut, banyak sedikit mewakili kita, yang berbeda. Panjang jika harus aku ungkapkan bagaimana kita bisa sejauh ini. Yang jelas jalan panjang tersebut bukanlah jalan yang tanpa batu, kerikil, lubang maupun genangan. Jalan tersebut lurus namun penuh tantangan sama seperti jalan yang harus dilalui pasangan dalam film Cinta Tapi Beda.
            Hampir saja bosan dan emosi menggerogotiku karena sikapmu beberapa hari sebelum Cinta Tapi Beda tayang perdana. Sikapmu itu sangatlah bukan kamu, seorang Robertus Ciko Wicaksono yang aku kenal. Memang wajar jika kamu menyebalkan, tapi kali ini kamu bukan menyebalkan. Ada sesuatu yang hilang dan melayang entah kemana dan karena apa. Aku coba merasakan apa yang hilang, apa yang biasanya ada dan merangkul hatiku. Dan iya, itu adalah jiwamu. Rangkulan hangat dari jiwamu itu melemah dan membuatku merasa dingin serta asing bahkan saat aku tau namamu tetap Robertus Ciko Wicaksono.
            Kali ini aku tak tahan, perasaan penasaran yang menggelitik itu makin menjadi. Siap dengan segala kemungkinan, aku tetap nekat.
“Kamu kenapa? Kamu beda Ko.”
Ngga kenapa-kenapa kok.”
“Berusaha aja bohong terus, tapi aku nggak akan percaya.”
Kita diam. Diam membuatku berfikir bahwa aku diizinkan untuk menyelidikimu, lagi.
“Kamu lagi ada masalah?”
“Aku nggak tahu, aku bosen aja di rumah.”
Wajar kalau Ciko merasa bosan. Liburan semester I dikelas XII ini memang tak banyak yang bisa dilakukan. Jawaban Ciko itu membuatku merasa bahwa rinduku akan segera dijawab olehnya.
“Ko, mau main? Batalin aja nonton Cinta Tapi Bedanya, kita bisa nonton besok-besok kok kalau kamu mau.”
“Tapi lagi kere...”
“Nggak usah ketempat yang mahal-mahal, ngga usah beli-beli, yang penting main.”
“Oke Bin, besok aku jemput jam empat sore ya! Kita ke Pantai Depok aja.”
“Oke Ko!”
Bahagia itu sederhana mungkin sedang berlaku. Aku tak ingin pergi ke tempat mewah, megah ataupun minim barang murah. Bagiku, pilihan tempat main darimu sudah cukup dan amat cukup untuk menghabiskan waktu berdua. Sudah aku bayangkan betapa senangnya aku ke pantai di sore hari ditemani kamu. Membagi canda tawa serta meleburkan rindu untuk sementara, karena aku tahu rinduku ini rakus dan tak pernah puas. Rinduku ini terlalu sering datang untukmu.
Aku sudah siap pergi, tepat di hari Cinta Tapi Beda tayang perdana. Aku merelakan film tersebut, lagipula aku bukanlah seorang yang sangat menyukai kegiatan “menonton”. Kau datang dengan teman setiamu, sang motor hitam bergaris kuning yang biasanya aku sebut Bumblebee. Walaupun Bumblebee dominasi besar warna tubuhnya adalah kuning, tetap saja motor dia itu Bumblebee dan tak bisa diganggu gugat. Aku suka Bumblebee, tapi aku tak suka motornya. Aku lebih suka orang yang mengendalikannya dan kadang nekat menggunakan “autopilot”.
Aku tak tahu kamu bodoh atau sengaja bodoh agar perjalanan kita menjadi lebih lama dan jauh. Sebenarnya kamu bisa saja langsung mengambil jalan ke selatan dari persimpangan rumahku. Tapi kamu justru mengambil ke utara lalu ke barat dan barulah ke selatan. Tapi aku tak perduli, asal denganmu aku tak keberatan untuk ikut menjadi bodoh karena lupa memberitahumu.
            Dalam perjalanan yang baru memakan 30 menit itu kamu bilang kalau lapar. Akhirnya kita berhenti untuk makan di sebuah warung bakso. Masuk warung tersebut aku sedikit aneh dengan pemandangan tepat depan mataku. Disitu terduduk jelas seorang bapak-bapak paruh baya yang badannya berlumuran semen, bahkan wajahnya. Mungkin itu hiburan, pikirku. Hingga akhirnya bapak tersebut bangun dari duduknya dan berpamitan pergi. Lucu, dan hal tersebut aku alami hanya denganmu, tak akan akan ada yang sama.
Kita duduk berseberangan, bagus batinku. Aku bisa melihatmu dengan lebih jelas, lebih jelas untuk melihat matamu yang tertutup kacamata itu misalnya. Kau selalu terlihat biasa dan sederhana, selalu terlihat seperti yang aku suka. Termasuk sederhana yang sampai terlihat lebih gembel daripada Bruno, anjingmu. Dan lagi-lagi itu bukanlah suatu masalah bagiku, asal jiwamu tetap denganku. Beberapa menit setelah kita duduk dan menyantap bakso, aku baru sadar kalau disitu tertera tulisan “Bakso Pak Tupar”. Hal kecil itu menjadi lucu bagiku karena nama ayah si Eka, teman karibku adalah Pak Tupar. Dan karena kamu juga hobi jahil ke Eka, kamu pun memotret tulisan tersebut dan mengirimkannya kepada Eka via chat smartphone. Mencoba menaikkan darah Eka, kamu justru bosan sendiri karena Eka membahas hal lain. Dan kita masih bercanda hingga perut sudah tak terlalu kenyang. Kita pun beranjak dari tempat tersebut dan aku mencoba merekam semuanya dengan alami, entahlah denganmu.
Sebelumnya aku tak pernah ke pantai melihat matahari terbenam dengan seorang yang aku anggap beda. Kamu menjadi yang pertama, dan akan selalu begitu. Apalagi melihat matahari di bulan Desember, ah mana mungkin aku akan begitu. Tapi denganmu, hal itu menjadi mungkin, iya denganmu.
Perjalanan sudah terasa akan berakhir dan sampai di tempat tujuan saat aku melihat jembatan itu. Ya, aku kenal jembatan itu. Aku pernah melewatinya, sekali. Tak sabar ingin segera menginjak pasir pantai, aku hanya mampu menikmati pemandangannya. Kamu memarkir motor dan aku turun dengan perasaan lega. Ya walaupun menyenangkan berada di belakangmu dan menggodamu, tapi badanku tak dapat munafik bahwa ia sangat pegal dan menggerutu lesu.
Pasir pantai yang hitam, kerumunan orang, bising motor ATV, deru ombak, angin laut, uap air asin, aroma khas laut, bersihnya langit, ah biasa saja. Coba kalau aku perbaiki, Pasir pantai yang hitam, kerumunan orang, bising motor ATV, deru ombak, angin laut, uap air asin, aroma khas laut, bersihnya langit dan KAMU, ah indahnya. Kamu mengoceh mengenai alasan memakai sepatu dan blablabla, buatku itu hanyalah salah satu cara agar aku selalu mengingat aksen bicaramu, suaramu dan yang terpenting, kamu. Kita duduk di pinggir pantai, seringkali bergurau dan bercanda mengenai “sesuatu” yang kau buat dari pasir. Dan kamu masih jadi Ciko yang mengesalkan. Kamu menaburi permen yang aku tawarkan dengan pasir agar aku tak memakannya, sedangkan kamu? Kamu sungguh terlalu, kamu masih memakan permen tersebut dengan lahabnya. Dan lagi-lagi hanya KAMU yang mampu begitu, KAMU yang pertama mempertontonkan padaku betapa permen yang ditaburi pasir pantai masih terasa enak dan menggiurkan.
Ombak seperti iri pada kita, kurasa. Ia menyingkirkan kita dengan ombaknya yang sampai ke pinggir terjauh dari pantai. Kita pun akhirnya beranjak dari tempat tersebut dan berjalan ke arah timur menyusuri pantai sembari mencari toilet yang bersih. Saat kamu berada di toilet, aku mencuri-curi untuk membalas chat dari teman-temanku. Bukannya apa-apa, hanya kurasa tidak adil jika aku berjalan denganmu namun fokus untuk handphoneku. Selesai dari toilet aku meyingkirkan handphone dan segera berjalan menyusul di sampingmu. Kita kembali duduk berdua, namun kali ini pantai lebih sepi. Dan seperti yang kita lihat, sepertinya tempat tersebut menjadi tempat favorit bagi para pasangan. Jadi, apakah kita pasangan? Ah aku tak tahu, dan tak mau tahu. Yang aku tahu adalah, hari ini, sore ini, di kala sunset ini, kamu ada untukku.
Kita menunggu hingga matahari tenggelam dan memperlihatkan eloknya. Namun kau seperti melihat gurat tanda tanyaku, mengapa mataharinya samar dan malu-malu? Kamu dengan angkuhmu, yang selalu aku sukai entah kenapa, menjelaskan padaku.
“Bintang, ini bulan Desember, mataharinya lagi ngga disini, mataharinya lagi rada serong kesana.”
Kamu melihatku sambil menunjuk-nunjuk matahari dan sesekali membenarkan kacamata.
“Emangnya gitu? Kata siapa? Ilmu sok tahu darimana itu?”
“Dikasih tahu ngga percaya. Ya maklum sih anak IPS, ngga tahu ya? Ck, low level.”
“Percaya sih yang anak IPA. Emangnya harusnya kalo pas posisinya disini itu kapan?”
“Harusnya bulan Februari. Itu posisi mataharinya bagus buat liat sunset.”
“Oooh gitu ya, hm yayaya.”
“Ciko, aku mau tanya sesuatu. Tapi aku takut kalo kamu ngga suka terus marah.”
“Tanya apaan emangnya?”
“Emm, sebenernya aku ngga mau tanya hal ini ke kamu. Tapi aku risih dengerin kata orang.”
“Oh iya aku tahu …”
Dan percakapan kita berlanjut hingga titik puncak. Aku menikmati semua kejujuranmu dan keterbukaanmu. Aku larut dalam melodi suaramu yang bercerita banyak tanpa aku harus berkata banyak pula. Aku luluh dalam pundakmu, dan aku masih mencium aroma yang khas dari tubuhmu, persis dengan apa yang aku suka. Aku merasa, jiwamu telah kembali merangkulku. Selamat datang kembali kamu, selamat menjadi Ciko yang aku kenal lagi. Banyak hal yang kita bicarakan termasuk sifatmu yang otoriter dan kebiasaan jelekmu yang suka mengerjakan sesuatu dengan setengah-setengah. Mengenai bagaimana kamu memiliki konsep namun tak benar-benar sukses mengaplikasikannya. Aku suka dengan keterbukaan ini, tapi ini adalah harimu belum hariku. Berharap nantinya aku akan memiliki kesempatan yang sama, untuk bercerita tentangku.
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Kau mengajakku pulang. Walau berat, tapi kita harus beranjak dari dudukan. Kita berjalan ke parkiran dan keluar dari area wisata Pantai Depok. Sebisa mungkin aku harus berani memelukmu, mana mungkin aku tega membiarkanmu kedinginan tanpa jaket dan dalam keadaan sedikit migraine? Saat kita mengobrol mengenai orang-orang yang pernah berjalan di hatimu, aku semakin ingin memeluk erat kamu. Tapi aku ingat, betapa bukan siapa-siapanya aku buatmu. Tapi, apa aku tega membiarkanmu kedinginan tanpa pelukan dari belakang? Sepertinya iya, aku tega. Hingga perjalanan yang jauh dan melelahkan itu berakhir di depan rumah, aku masih saja belum memelukmu. Pengecutkah atau benar keputusanku itu? Aku tak tahu, hingga kini masih saja ingin memelukmu tanpa alasan dan ini sungguh menyiksa, terkadang.
Aku masuk kamar, berbaring dan segera mengucapkan terimakasih untukmu lewat chat. Memberi pesan agar kau hati-hati di jalan. Hari itu, tak semena-mena kita kembali menemukan passion untuk bersama. Ada beberapa hal yang masih berbeda mengenaimu. Kamu bukanlah Ciko yang suka otoriter kepada Bintang seperti biasanya. Tapi aku, tak perduli. Aku tahu aku telah kau beri kepercayaan untuk menjagamu dan apa yang kamu katakan. Hari itu, aku tutup cerita kita dengan “Selamat Malam” dan “Sleep tight”.
Satu, dua, dan tiga hari kita masih dapat memperbaiki diri dan kembali menemukan passion untuk bersama lagi. Berjalan setelah itu, rasio up and down “hubungan” kita mulai tak tentu. Kadang aku dan kamu berada di titik puncak rindu bertemu, tiap ada kesempatan bagiku, selalu kuluangkan waktu untuk bersamamu. Berbagai cara kita sama-sama mencoba dan berusaha. Namun makin lama aku merasa berjalan sendirian untuk menuntun arah kita berdua. Aku merasa tak mampu dan kuat untuk berdiri, berjalan serta mengais-ais “kita” lagi.
Aku menyerah, aku mencoba ikhlas dengan melihat realita. Aku tak suka memaksa. Walau begitu aku tetaplah Bintang dan aku selalu bintang karena kamu yang mengatakannya. Mungkin aku redup, mungkin aku menjadi lebih buruk dan mungkin bintang ini nantinya akan mati termakan usia dan ganasnya persaingan di galaksi. Tapi kamu dan aku tahu, kita pernah memiliki satu bintang yang sama. Aku dan kamu memiliki banyak cerita bersama. Tak sedih dan menangis, karena kau tak suka aku menjadi demikian. Namun, tak munafik dan tak dapat kutampik, kalau setiap kenangan yang manis maupun pahit memiliki sisi sensitifnya tersendiri, spontan airmatamu akan membuktikan seberapa berartinya kisah itu dalam perjalanan pencarianmu.

Aku memang bukan yang paling terang
Aku mungkin bukan yang paling besar
Tapi pasti aku kamu adalah hubungan paling manis yg bukan dalam konteks “kita” , buatku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar