Rabu, 19 Juni 2013

Berkenalan Dengan Tonil di Kamus Tua

Pada suatu dini hari, saya iseng mengambil kamus inggris-indonesia, indonesia-inggris milik mama saya yang tergeletak di samping kalender duduk. Covernya yang usang berwarna hitam dan hijau tosca pekat itu menarik saya untuk menentengnya ke kamar. Berhubung saya juga lumayan suka membaca kamus, saya baca-baca isinya dari halaman awal. Dimulai dari terjemahan inggris-indonesia. Awalnya saya biasa saja, membaca kata dan kalimat-kalimat tersebut. Namun, saya langsung berhenti membaca dan mengeja berulang-ulang pada suatu kalimat.

Pada halaman ke tujuh kolom kiri, saya menemukan arti kata actor yang-mana-sangat-asing bagi saya. Bukan terletak pada kata actornya, namun artinya. Disitu tertulis jika actor adalah laki-laki yang bermain tonil (pilem). Manakah bagian yang asing menurutmu? Iya, bagi saya, kata tonil adalah bagian yang rumpang. Karena disitu tertulis tonil atau sama dengan film, saya bertanya pada teman saya. Dia adalah lulusan salah satu perguruan tinggi seni jurusan perfilman di ibukota Jakarta. Awalnya dia sendiri juga terheran-heran, apa itu tonil. Lalu, rasa penasaran mendorongnya mencari tahu. Lalu dia mengirimkan bagan ini (dibawah) kepada saya.


Bagan ini sedikit banyak menjelaskan kepada saya apa itu tonil. Dalam pandangan saya, tonil itu merujuk pada sebuah pertujukkan, dan bentuknya dapat berupa teater, sandiwara, komedi bangsawan, lakon maupun drama. 
Namun, tidak cukup sampai disitu. Teman saya lalu mengirimkan link ( http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=9&jd=Kesenian+Tonil+Musnah+di+Jawa&dn=20121125174517 ) kepada saya. Artikel ini menambah luas wawasan saya, dan menajamkan pengetahuan saya mengenai tonil, walau tak setajam silet (oke lupakan).
Dalam artikel tersebut, dijelaskan bahwa tonil merupakan salah satu kesenian Jawa. Kesenian yang bagaimana? Kesenian yang ditampilkan di muka umum, dan konsepnya hampir sama seperti ludruk. Namun, pertunjukkan tonil ini memungut biaya dan lebih banyak memberikan 'moral value' pada alur ceritanya. Sehingga pertunjukkan ini tak hanya menarik karna lucu (berkonsep ludruk) namun juga mendidik. 
Nah, rasa penasaran saya pun ikut terpancing. Saya pada akhirnya mencari sendiri gambaran jelas tentang kesenian yang punah ini. Dan salah satu naskah tonil atau toneel-pada jaman dulu, yang cukup menarik adalah naskah yang memuat cerita seperti kisah Kartini. Kalau tidak salah judulnya "Satoe Akal". Berikut gambarnya ...




Nah, untuk sekedar informasi aja, bagi yang penasaran kaya apa sih kamusnya. Boleh dicari mungkin, ciri-cirinya covernya dua lapis. Lapisan luar warnanya hitam bahannya dari kertas sama kain, kaya kain perban tapi lebih tebel. Terus cover dalemnya hijau tosca tua, dari kertas yang sedikit tebal, mungkin karton. Besarnya kamus, berhubung ini pocket dictionary, jadi ukurannya kecil. Kira-kira sebesar bible yang ukuran kecil. Dan iya, yang paling penting ini adalah cetakan Angkasa Offset Press. 

Semoga berguna, jangan ada lagi seni-seni unik Indonesia yang hilang atau pun punah apalagi dicuri ya! See ya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar