Rabu, 25 Februari 2015

Shilam Chilam The Snowbird

Menampilkan Shilam ( Chilam or Sno... 


"Meski ku memohon dan meminta hatimu, jangan pernah tinggalkan dirinya... untuk diriku..."

Wajahnya dihiasi sejuta luka yang coba ia tutupi setelah selesai menyanyikan lagu yang di populerkan oleh Rossa tadi. Seluruh penonton yang duduk di sofa merah bludru maupun di bangku hitam biasa berdiri memberikan tepuk tangan yang meriah, tak terkecuali aku.
Ia membungkukkan badannya tanda mengucap terima kasih dan tersenyum. Matanya berjalan di antara ratusan penonton dan berhenti pada suatu titik. Ia terpaku dan senyumya yang manis perlahan luntur, dengan segera ia berjalan ke belakang panggung dan enggan melihat ke belakang lagi.
Aku yang sadar telah melunturkan senyumnya, segera keluar dari barisan kursi penonton VVIP dan mencari-cari jalan menuju belakang panggung. Dengan modal nekat dan niat yang tulus aku berusaha keras untuk mendapatkan akses masuk ke belakang panggung.
Dengan sedikit negosiasi dengan panitia acara, akhirnya aku pun dapat masuk ke area talent. Seikat mawar merah dan putih di tanganku kutatap sejenak lalu aku tarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Kakiku mulai masuk ke ruangan ia berada. Seorang wanita dengan gaun warna hitam dan rambut yang di gerai berantakan duduk di depan meja rias. Matanya menatap ke arahku lewat kaca rias besar di depannya. Ia palingkan wajah dan mulai mengemasi barang-barang yang ada di meja tersebut.

"Shilam, jangan buru-buru. Tolong ijinkan aku untuk berlama-lama denganmu barang sepuluh menit."
Dia mengernyitkan dahinya dan menghela nafas perlahan
"Aru, aku harus pergi sekarang. Aku minta maaf."

Ia menjinjing tas merahnya dan beranjak keluar ruangan. Aku tarik lembut tangan yang bebas dari tas dan memutar balik tubuhnya menjadi di hadapanku.

"Setidaknya...ambillah bunga ini. Tanda terimakasihku karena kau telah bernyanyi dengan sempurna tadi."

Dia diam dan berusaha untuk pergi.

"Kau tahu, kau selalu luar biasa. Kau makin hebat malah, setelah tiga tahun tak bertemu."

Aku melanjutkan karena dia masih diam dan memberiku kesempatan untuk banyak bicara setelah tiga tahun terakhir kami saling tak bicara dan jauh terpisah.

"Shilam, aku rindu padamu. Aku muak berada jauh darimu selama ini. Aku bertahan dan mencoba bertahan, aku pikir aku akan berhasil tanpamu di sampingku. Ternyata aku salah. Itulah alasan terbesarku untuk berada disini sekarang."

Matanya mulai memerah dan berair. Bibirnya ia gigit agar tak terlihat kalau ia sedang menangis kencang dalam batinnya. Tangannya yang aku genggam makin lemas. Tubuhnya akhirnya jatuh dalam lingkaran tanganku. Aku peluk pujaan hatiku yang bodohnya lama sekali aku tinggalkan. Aku mulai berbisik pelan di telinganya,

"Kau lapar? Aku yakin kau masih suka mampir di restoran favorit kita walau tanpa adanya aku disana. Masih suka pesan beer walaupun kau sangat amatir dalam hal itu?"

Dia menajamkan matanya ke arahku dan memukul dadaku dengan manja, seperti dulu. Lalu ia melepas pelukanku dan sibuk dengan sesuatu dalam tasnya -yang ternyata sedang berusaha keras mengambil tissiu-.

"Kau tidak perlu itu kalau ada aku. Biarkan aku yang menghapus airmatamu."

Dia lagi-lagi hanya diam seribu bahasa dan menuruti perkataanku. Ia naikkan wajahnya seolah berkata, "kalau begitu segera hapus airmataku ini bodoh!".

Aku hapus airmatanya yang tak sempat merusak make-up yang ia kenakan dengan ibu jariku. Wajahnya tersenyum manis padaku dan aku hanya membalas dengan mengusap kepalanya lembut.

"Aru, entah apa maksudmu datang kembali seperti ini. Aku tahu tak lama lagi aku akan terluka kembali olehmu. Tapi, terimakasih kau telah datang hari ini. Aku tak menyangka kau masih ingat tiap tanggal 18 September aku selalu pentas disini."

Baru aku akan menjawab kata-katanya, ia sudah menutup mulutku dengan tangannya.

"Jangan sela aku dulu. Aku tak menyelamu sedikit pun tadi. Iyakan?"

Aku mengangguk sambil menggandeng tangannya pergi dari tempat itu. Menggiringnya keluar dan berjalan bersama menuju restoran favorit kami yang tak jauh dari kawasan tersebut.

Sepanjang perjalanan menuju restoran aku tak menyelanya sedikit pun. Aku mendengarkannya dan menanggapi hal-hal yang ia katakan. Ia suka dihargai maka aku tak pernah berani tak menghargainya. Karena, tanpa kuminta ia pasti akan sangat mengahargai tiap hal kecil yang aku lakukan untuknya dan untuk orang lain yang ia sayangi.

Aku tak mengerti mengapa orangtuaku masih tak dapat menerimanya, hingga mengirimku bekerja di Sydney demi menjauhkan aku dan dia. Bahkan mereka sampai menjodohkanku dengan seorang wanita yang tak pernah bisa menghargai aku, sehingga dengan modal nekat yang sedari tadi masih penuh, aku kabur di malam pernikahan kami.

Sungguh aku tak perduli. Aku sangat mencintaimu, Shilam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar