Rabu, 25 Februari 2015

Surat Cinta Seribu Suara



Wajahnya terlihat tenang, dalam kesunyian dia membayangkan hal yang indah. Sangat terlihat bagaimana matanya berbinar-binar;menegaskan betapa bahagianya dia walau hanya ada dalam isi kepalanya. Bibirnya bergerak mengikuti lirik musik yang ia jejelkan dalam otaknya. Telinganya buntu oleh alat pendengar yang menyajikan seribu mimpi untuknya. Kepalanya ramai, hatinya bahagia walau yang lain tak dapat ikut merasakannya.

Perlahan-lahan ia beranjak dari kursi dimana ia terpaku oleh hujan lembut yang menenangkan. Gaun pendek berwarna merah muda lembutnya tersapu angin, menari kesana-kemari dengan sopan. Langkah demi langkah ia ikuti menuju tempat aku berada kini. Ia tersenyum, amat manis dan hal itu sediki membuat matanya menyipit lucu. Secarik kertas kecil mendarat pada telapak tanganku yang terbuka. Membekukan segala usahaku untuk tak terlihat kaget dan kegirangan walau hanya dalam batin.

"Aku memang tak dapat mendengar, namun apa yang aku ketahui dari sorot matamu sudahlah cukup. Aku memang tak dapat berbicara, namun kuharap secarik kertas ini dapat menunjukkan padamu bahwa aku juga mampu membuatmu terpukau dengan suaraku walau dalam diam. Namaku Shenoa, ada alasan aku tak jatuh hati pada orang yang sudah memandangiku tiap sore enam bulan belakangan ini; dan membuatku menulis surat cintaku yang pertama lalu menjadikan diriku sendiri kurir?"

Lalu ia duduk berjejer denganku. Setelah itu merapikan duduknya agar gaun pendeknya tak kusut. Aku tersenyum dan mulai menjadi pujangga yang sangat amatir menulis surat cinta untuknya.

***

Hanya aku dan dia yang tahu bagaimana akhirnya kami dapat berjejer di depan pendeta dalam rumah Tuhan yang suci kini. Dia dengan gaun pengantinnya yang berwarna putih dan aku dengan setelan pengantin pria berwarna hitamku. Gugup dan berbahagia luar biasa. Kau tak akan tahu bagaimana kekuatan cinta bekerja, bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar