Jumat, 22 Maret 2013

Instrumen Penyaji Imajinasi


Sayup-sayup kudengarkan lagu instrument itu. Begitu romantis dan mematikan segala hal indah di dunia untuk sementara. Memancing air mataku untuk menunjukkan eksistensinya yang tak diragukan lagi. Membawaku melayang dan bebas untuk terbang. Membiarkanku terbuai dengan semua alunannya. Dan mendorongku untuk berani berangan-angan dengan bebas. Mengajakku untuk menyelam lebih dalam. Menggandengku menuju imajinasi yang liar tentang dia. Iya, liar! Aku lagi dan lagi, melamun, menyusun perlahan semua pertanyaan. Berharap suatu hari nanti, semua jawaban akan aku temukan, entah bagaimana caranya.

Dia! Siapa dia berani mengganggu pikiranku? Meracuni otakku dengan hanya dia dan dia. Mengasah otakku untuk lebih tajam dan peka tentang dia. Menghujaniku dengan berjuta-juta rasa penasaran. Siapa dia?!
Dan dia! Mengapa dia? Kenapa harus dia yang merangkak di hari-hariku? Perlahan tapi pasti meningkatkan intensitasnya untuk mencampuri setiap tindakanku. Dikit-dikit dia! Lagi-lagi ada dia!  Disetiap obrolan kecil terselip bayangan tentangnya. Dia! Mengapa harus dia?

Tuhan, makhluk seperti apakah dia? Bagaimana kau menciptakan hatinya yang kaya? Bagaimana kau menciptakan ekspresinya yang terbatas namun perlahan mampu berkembang? Bagaimana kau menciptakan fisiknya? Bagaimana kau menciptakan lingkungan keluarganya? Bagaimana kau menciptakan lingkungan sosialnya? Bagaimana? Bagaimana? Dan bagaimana? Selalu saja dia! Yang membuatku bertanya-tanya dan sering bercengkrama dengan Tuhan. Aku menjadi teramat rakus untuk mengetahui tentang dia. Ini akibat dari ulahmu hadir disetiap malamku, tahukah kamu?

Tuhan, apa kau menciptakan hatinya dari sebongkah es yang kau ambil dari planet Mars? Mungkinkah Tuhan? Dia hangat, amat hangat. Namun tak jarang dia juga menjadi teramat dingin. Hatinya Tuhan! Hatinya! Hati yang begitu unik, yang membentuk pribadinya seperti barang antik. Hatinya Tuhan! Yang membuatku jatuh simpati dan seperti disegarkan kembali. Membuang berkas-berkas lama yang membosankan. Sarang laba-laba yang menjadi rumah kemonotonan seperti disingkirkan, jauh! dan jauh! Dia, memperbaharui hari-hariku 3 bulan belakangan ini. Yah, walaupun malam dan pagi yang larut menjadi teman kami hampir setiap hari, aku tak merasa keberatan. Dan ya! Walaupun aku harus rela menambah kantung mata yang berubah warna. Semua hal itu menjadi membahagiakan, ya…karena dia!

Nah Tuhan! Ini hal yang membuatku mati penasaran. Terbaring koma dalam keheranan yang memuncak. Bagaimana dia bisa begitu ‘tanpa ekspresi’? Maksudku, bagaimana dia bisa menahan ekspresi-ekspresi yang sering aku ungkapkan? Seperti tertawa terbahak-bahak, dan… ah! Susah Tuhan, terlalu sudah dia untuk dituliskan. Terlalu rumit untuk digambarkan. Padahal, dia cukup sederhana dalam segala hal, menurutku. Lihat? Lagi-lagi aku tak mampu menyembunyikan rasa gemasku akan kecuekannya. Tapi…dia membuat aku koma. Lalu…bagaimana?

Aku terkadang terlumat dalam lamunan. Membayangkan seperti apa Tuhan menciptakan fisiknya. Apakah dia seorang pria yang perawakannya kurus? Dengan rambut yang sedikit ikal dan dibiarkan panjang menyentuh daun telinga. Lalu, seberapa tinggi dia? Apakah…dia melebihi tinggiku? Atau justru dia berada di bawahku? Mungkinkah dia…mempunyai tinggi badan yang sama denganku? Bagaimana dengan warna kulitnya? Perasaanku bilang kalau dia memiliki kulit berwarna kuning langsat, lebih cerah daripada aku. Benarkah? Mari kita bicarakan area wajah! Aku benci matanya, sungguh. Di dalam gambar kamera hitam putih itu, yang nampak amat menantang adalah matanya. Matanya yang tanpa ekspresi! Tuhan, sungguh dia menyiksa hatiku. Membuatnya kelelahan karena setiap hari harus berloncatan menatap matanya. Lihat! Lihatlah garis tulang pipinya, sedikit tirus, iya kan? Lalu…bagaimana dengan garis bibirnya? Melengkung ke atas atau ke bawah? Ah sudah-sudah! Makin aku merinci dia, makin aku tak dapat tidur nyenyak malam ini.
Jadi, dia anak pertama dari dua bersaudara. Dia memiliki adik yang seumuran denganku tapi sudah mulai masuk bangku kuliah semester pertama. Tak banyak yang aku ketahui tentang lingkungan keluarganya. Karena, ya memang dia bukan tipe yang mudah saja terbuka. Semua hal bertahap dan aku tak ingin memaksakan. Setiap pertanyaan yang tak terjawab adalah peringatan yang berkata, ‘belum, belum waktunya kamu tahu, nanti’. Jadi, ya aku maklumi saja. Tapi sungguh, aku bahagia diukur dari segi apapun aku mengenalnya.

Dia! Lagi-lagi pintar membuatku merasa bahagia. Dia! Malam ini menempelkan sejuta senyum zombie terbaikku pada timeline perkenalan kami. Ah dia itu memang! Teramat menggemaskan. Selalu memancing untuk dihujani rasa sebal karena sifatnya yang-iya-mematikan.

Dia, selamat pagi!

Inspired by : Kenny G-Innocence

Tidak ada komentar:

Posting Komentar