Senin, 18 Maret 2013

Lonceng Kecil



Wanita itu duduk sendiri di bangku yang terbuat dari semen. Suasana taman peristirahatan yang sepi semakin membuatnya kalut. Semakin tenang ia akan semakin terhanyut, terlarut. Angin kecil menggerakkan lonceng perak kecil yang sedari tadi ia gantungkan di jari manis. Rambutnya yang lurus sebahu tertiup mesra oleh udara yang bergerak dan menutupi sebagian wajahnya. Pipinya basah, dihujani air mata yang sudah ia coba agar berhenti, namun ia gagal. Kedua bibirnya terlihat dipaksakan mengatup, memperjelas getaran yang ia tahan. Ia menyingkirkan rambut yang menutupi wajahnya kemudian mengambil nafas dalam-dalam. Sangat terlihat ia berusaha untuk benar-benar diam. Ia tarik lembar putih tipis terakhir di atas bangku. Ia seka air mata yang melunturkan bedak tipisnya.
“Maria…”,seorang lelaki paruh baya mendekatinya, mengusap lembut bahunya yang bergetar menahan tangis.
“Kau masih perduli juga ternyata!”,sahut si wanita.
“Tentu saja aku perduli, kalau tidak aku…”
“Perduli katamu?! Kemana saja kamu selama ini?!!!”
“Aku sama sekali tidak tahu jika…”
“Memang apa yang kamu tau?? Ha!! Selain menyakiti hati yang mencintaimu?!!”
“Maria, sungguh aku minta maaf. Aku berharap kamu mau memberiku…”
“Apa?! Kesempatan? Yang macam apa?!! Semua macam kesempatan sudah kau dapatkan! Sudah kami tawarkan! Tidakkah kau sadar?!!”
“Aku…sungguh menyesal sudah…”
“Ya! Hiduplah terus dalam penyesalanmu! Tenang saja, kau tak sendiri.”
“Maksudmu? Maria, kamu tidak…”
“Aku juga menyesal, telah memberikanmu kepercayaan untuk menjadi pengganti sosok ayah bagiku dan sosok suami bagi ibuku. Salahku! Percaya pada laki-laki sepertimu!”
Wanita itu pergi, meninggalkan pria yang membawa seikat mawar putih sendiri. Dia lari melewati gerbang pemakaman dengan hati hancur dan penuh penyesalan. Ia menyesal karena telah mengijinkan lelaki yang jauh lebih muda disbanding ibunya itu masuk ke kehidupan mereka. Pria bejat yang akhirnya membuat ibunya harus dirawat di rumah sakit jiwa.
Wanita it uterus berjalan hingga melewati tengah jembatan. Ia tatap air yang lebih tenang dari keadaannya sekarang. Ia semakin benci pada wanita yang tergambar di permukaan air sungai itu. Ia tatap lonceng kecilnya yang sedari tadi bergemerincing. Ia tak kuat mengingat cerita ayah ibunya. Ia terhanyut dalam kisah romantis orangtuanya. Bagi orangtuanya, kehidupan sama seperti lonceng. Hidup akan indah jika ada gejolak masalah yang menggetarkan hidup yang datar, seperti lonceng yang akan terlihat lebih indah saat suara nyaringnya muncul karena getaran dan gerakan. Semua hal akan indah jika ada perubahan.
                Untuk terakhir kalinya ia kecup lembut lonceng itu, ia menatapnya dan melemparkannya ke sungai. Dia tak pantas memiliki hal yang indah, batinnya. Ia pun melanjutkan langkahnya ke tengah keramaian kota. Mencoba mengubur masa lalunya, walau suara lonceng terus berdengung di telinganya.

 ♥  ♥

Lelaki itu menggeram dan menahan emosinya. Ia letakkan mawar putih di atas tanah merah yang masih basah. Ia renggangkan otot-ototnya yang kaku karena menahan jutaan emosi yang menerpa. Ia peluk batu nisan yang bertengger di atas gundukan tanah merah.
“Kanya…maaf aku tidak bisa menjadi suami yang baik untukmu. Entah apa maksud Tuhan mempertemukan kita. Maaf kehadiranku telah menghancurkan keluarga kecilmu. Tapi kau pernah berkata padaku, jika sesakit apapun kejujuran itu, kita harus berani mengungkapkannya. Dan, iya Kanya…aku menyayangi Maria! Kan, seharusnya kala itu aku tak jujur padamu, ya? Tapi sudah terlambat semua.”
                Tanpa lelaki itu sadari, air matanya sudah mengalir pada batu nisan, membasahinya, menambah beban wanita yang bersemayam di dalamnya. Ia pun berdiri kemudian melihat sekeliling yang tetap saja sepi. Hanya ada seorang pengurus makam yang sedang beristirahat di bawah pohon kamboja, sibuk dengan makan siangnya. Dengan langkah yang berat ia paksa kakinya beranjak. Terus melangkah dan berhenti di pinggir sungai yang jernih. Ia gulung lengan bajunya dan berjongkok mendekat. Ia tangkupkan kedua tangannya untuk mengambil air lalu mengusapkannya pada wajah yang sembab. Ia melongok ke permukaan air, melihat wajahnya yang semakin ia benci, ia jijik pada orang itu. Matanya terpaut pada benda kecil perak yang tersangkut di dasar sungai. Ia sangat mengenal benda itu. Ia melihat ke sekitar dan mengamati lagi benda itu.
“Maria…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar