Jumat, 05 April 2013

'Hai Maret' yang Terlambat


Senja kala itu tak seindah yang sudah-sudah. Matahari bersembunyi dibalik senyummu yang coba kuingat kembali. Mendung turun merangkak ke bumi dan menggelapkan senja. Senja tak pergi bersama si jingga. Kasian si jingga. Aku menatap keluar jendela masih dengan secangkir coklat panas, masih dengan minuman yang kamu suka. Entahlah mengapa sore ini lagi-lagi aku mengingatmu. Menerawang jauh ke kotamu dibalik jendela kamarku yang berembun. Ini Februari akhir yang cukup manis untuk merasa miris.

Aku masih menunggu suaramu yang nyaring di teleponku. Menanti dan terus menanti sedetik dua detik suara yang manis. Dan aku lagi-lagi terbuai dalam kenangan tentangmu. Aku yakin kita menatap atap yang sama namun dengan cara yang berbeda. Kemana kamu? Sudah hampir dua bulan berjalan, kau masih saja tinggal dalam rumah yang bernama diam.
"Kau sudah hampir satu jam hanya berdiri saja menatap hujan disitu."
"Eh mama..."
"Kano, kalau kau memang lelah menanti, lalu jemputlah dia nak."
"Mah..."
"Mama tahu perasaan dia. Dia juga sedang bingung. Percayalah mama, kalau kau datang ke kotanya, dia akan lebih mantab memutuskan."
"Aku sudah terlanjur berkata."
"Tak apa kalau kamu memang harus menjilat ludah sendiri. Lihatlah kamu pada kaca itu, itu bukan Kanoditya yang Mama kenal."
"Aku..."
"Kamu merindukannya, iya Mama tahu. Tapi kamu sudah terlanjur bilang tak akan menghubunginya hingga ia mendapatkan keputusan. Tapi, kalau Mama jadi dia, buat apa memperjuangkan kamu yang bahkan terlalu gengsi untuk mengucapkan rindu padanya?"

Aku hanya diam selagi Mama menuturkan kata-kata yang menyejukkan hati di depan pintu kamar. Aku letakkan cangkir yang masih berisi coklat dingin. Segera aku buka lemari dan aku tarik ransel hitam yang lama aku simpan, masih untung tak berjamur.

"Kamu mau kemana?"
"Jogja Mah."
"Kamu yakin? Naik apa?"
"Kereta, sekarang masih jam empat, masih ada kereta jam 5 Mah."
"Kamu bisa pergi besok pagi nak, kenapa harus terburu-buru?" Mamah mendekatiku dan duduk di kasur membantuku melipat baju-baju yang aku lemparkan tak teratur dalam koper.
"Karena sekarang akhir Februari."
"Lalu kenapa?"
"Aku berjanji padanya akan berhenti menunggu hingga awal Maret, lalu dia bisa benar-benar melupakan semuanya."
"Cinta mengenal batas waktu?"
"Tenggat mah, bukan waktu. Limit. Dan aku sedang mengejar si tenggat agar aku tak lebih lama lagi kehilangan dia." 

Aku bersimpuh di kaki Mama dan menggenggam tangannya.
"Mah, doakan aku. Pastikan mama terus memberkatiku. Aku jera menyiksa batin. Sudah cukup perbedaan kota dan cara kami memuji Tuhan datang sebagai cobaan."
"Tentu nak. Yasudah, kamu berhati-hatilah. Jangan terlalu emosi dalam perjalanan. Pastikan, perjalananmu nanti juga akan membawa suatu pembelajaran."
"Iya mah."

Aku tenteng koper dan beranjak pergi, aku tahu mamah sudah menyiapkan taksi. Aku langkahkan kaki sekali lagi. Aku tepat berada di luar sekarang, aku harus meninggalkan Jakarta dan menjemput cintaku di Jogja. Payung merah yang dulu ia berikan masih tersimpan rapi dan kini aku gunakan lagi. Aku akan mengembalikan semuanya, Senja. Kukembalikan semuanya! Kenangan kita, payung merahmu dan hatimu yang aku simpan dalam belenggu.
"Kano, tunggu"
"Ya mah?"
"Bawa serta kalung salib ini untuk menjagamu"
Aku raih kalung salib itu, aku simpan dalam genggaman dan segera menutup pintu taksi. Aku lambaikan tanganku kepada dia yang telah melahirkanku dan memberikan restunya yang tulus untuk mengerjar bahagiaku. Senja, aku dalam perjalanan, pastikan kamu menungguku dengan sabar, tak lama lagi Senja...tak lama.

***

Hai Maret! Kau telah datang pada kami disini. Menjuntaikan semua rangkaian manis yang tersusun rapi di hati. Kamu menjadi saksi, aku mampu membuktikan setia yang terjaga bahkan hingga...
Oh iya! Hai Senja! Kau terlihat sangat cantik hari ini. Senyum bahagiamu, masih sama seperti dulu. Senyum yang manis dan mengandung candu. Tapi kamu sedari tadi hanya diam. Memejamkan mata dan menghayati rasa. Kamu membiarkan aku berlama-lama duduk disini dan menatapmu lekat. Semoga aku tak dimarahi oleh malaikat.
"Senja, maafkan aku... Kau pasti sangat-sangat lelah menunggu."
 
"Senja, jangan hanya diam. Tolong ucapkan sesuatu padaku."
Aku diam, lalu mencoba dengan keras untuk melanjutkan...

"Senja! Bicaralah padaku!" aku peluk nisanmu sembari menahan isak tangisku.
"Senja! Lihatlah awan disana! Indah! Senja ini indah! Tapi aku lebih menyukaimu, Senja! Aku lebih memilihmu!"
"Senja! Pukul saja punggungku sama seperti dulu, saat kamu merasa kecewa padaku. Tampar aku kalau perlu, walau kau pernah melakukan hal itu. Senja! Marahlah se-marah maumu. Tapi satu... jangan tinggalkan aku Senja..."

Tak terasa peluh keringat dan tetes airmata hampir membasahi tempat istirahat terakhirnya. Segera aku keringkan tetes itu dengan kaos putihku yang lusuh meratapi nisanmu. Pada akhirnya aku kehilangan Senja selamanya, aku kehilanganmu. Dan aku berhasil menang dengan kecewaku, berkat ego konyolku. Aku kalah telak, Senja. 

Aku menjauh pergi. Menentang tas punggung yang berisi rencana pertemuan kita. Ternyata kau lebih mengejutkan dari yang aku duga, Senja. Iya, aku kalah telak. Kutinggalkan semua jiwa disana, suatu saat entah kapan akan ku jemput. Dengan kereta kencana, dengan malaikat di samping kiri dan kanan. Kan kubawa kamu jua kesana. Tunggu aku, Senja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar